Gerhana Matahari Kurang Sosialisasi, Antusiasme Warga Palembang Rendah
Antusiasme masyarakat Palembang mengikuti fenomena gerhana matahari tergolong rendah. Banyak di antara mereka yang tidak tahu fenomena itu terjadi pada Kamis (20/4/2023). Kurangnya sosialisasi dan alat menjadi penyebab.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Antusiasme masyarakat Palembang memantau fenomena gerhana matahari tergolong rendah. Banyak di antara mereka yang tidak tahu fenomena itu terjadi, Kamis (20/4/2023). Kondisi ini sangat berbeda jauh pada 2016 ketika gerhana matahari total berlangsung di Palembang dan ribuan orang menyaksikannya di atas Jembatan Ampera.
Mukhlas, salah satu warga Palembang, mengaku tidak tahu bahwa gerhana matahari melintas di Palembang. ”Saya baru saja tahu info ini,” ucap pria yang kesehariannya berkeliling di Benteng Kuto Besak menawari perahu kepada pengunjung.
Ketidaktahuannya itu terjadi akibat tidak adanya sosialisasi dari pemerintah mengenai fenomena ini. ”Padahal, jika diadakan festival seperti 2018 lalu, tentu akan banyak yang tertarik,” ujarnya.
Pada 2018, Palembang termasuk kota yang beruntung bisa menyaksikan gerhana matahari penuh. Momen tersebut sekaligus menjadi pendongkrak pariwisata. Kala itu, ratusan orang berkumpul di atas Jembatan Ampera untuk menyaksikan fenomena langka tersebut.
Saat itu, mereka kecewa gerhana matahari tidak bisa mereka lihat sepenuhnya karena tertutup asap dari Pabrik PT Pupuk Sriwijaya. Meskipun begitu, masyarakat masih terlihat antusias karena ketika matahari tertutup, suasana yang tadinya terang tiba-tiba menjadi gelap. Selang beberapa detik, langit menjadi terang kembali.
Nandang Pangaribowo, Koordinator Bidang Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Sumatera Selatan, mengatakan, pada fenomena gerhana matahari kali ini, BMKG Sumsel tidak melakukan pemantauan secara langsung. ”Proses pemantauan dilakukan terpusat di Jakarta dan beberapa daerah di timur Indonesia,” ujarnya.
Faktor lain adalah keterbatasan alat lantaran untuk melakukan pemantauan dibutuhkan peralatan geofisika, sedangkan BMKG Palembang tidak memilikinya.
Hal serupa dialami oleh Badan Riset dan Inovasi di Palembang yang juga terkendala karena tidak memiliki ahli/peneliti di bidang itu. ”Di Palembang tidak punya penelitinya, semua kembali ke LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) di Jakarta,” ujar Ketua Perhimpunan Periset Indonesia (PPI) Sumsel Nazaruddin.
Meskipun begitu, masyarakat Sumatera Selatan bisa menyaksikan gerhana matahari walau tidak penuh. Beberapa fotografer di Sumsel mengabadikan momen ini di sejumlah tempat, yakni di Pelataran Benteng Kuto Besak dan Masjid Agung.
Di sana, mereka sudah menyiapkan sejumlah alat, seperti kaca filter dan kacamata yang khusus digunakan untuk bisa mengabadikan momen langka tersebut.
Sekretaris Pewarta Foto Indonesia (PFI) Sumsel Awaludin Fajri mengatakan, untuk mendokumentasikan gerhana matahari, perlu persiapan yang matang. Persiapa itu mulai dari alat hingga posisi mengambil gambar.
Walau demikian, dirinya sedikit kecewa karena tidak bisa menyaksikan gerhana matahari secara total karena di Sumsel gerhana hanya terjadi sekitar 20 persen. ”Bahkan, fenomena ini tidak bisa kita lihat sampai akhir lantaran tertutup awan tebal,” ucapnya.
Kondisi ini hampir serupa dengan dari gerhana matahari total pada 2016, banyak fotografer atau komunitas foto yang harus kecewa karena gerhana matahari tertutup asap pabrik PT Pusri. Padahal, jika dilihat dari tempat lain, gerhana matahari akan tetap tampak jelas.
Menurut dia, mengabadikan fenomena gerhana matahari adalah momen langka karena tidak setiap tahun fenomena ini ada. Mungkin puluhan tahun lagi, fenomena ini akan kembali ke Indonesia dan belum tentu Palembang beruntung mendapatkannya.