Menyambut Hari Bumi di ”Negeri Majapahit” yang Sakit
Hari raya Idul Fitri bersamaan dengan Hari Bumi 22 April 2023 dengan harapan, terutama bagi warga Jawa Timur, untuk tidak mengabaikan pelestarian alam dan keragaman hayati demi kelangsungan kehidupan.
Tiga kloset duduk diletakkan di atas kain putih di trotoar depan Monumen Gubernur Suryo, Taman Apsari, seberang Gedung Negara Grahadi atau Rumah Dinas Gubernur Jawa Timur di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Senin (17/4/2023) siang.
Di setiap bagian bawah kloset putih itu tertulis Bumi Jatim. Di penutup jamban untuk buang air itu ada yang tertulis Lakardowo Sumobito, Kali Brantas, dan Markas TNI. Kloset itu berhias bercak kuning kecokelatan dari adonan kunyit, tepung, dan air yang mengibaratkan sebagai kotoran manusia. Di mulut kloset yang tengah dijejalkan sampah plastik terutama kemasan mi instan.
Di seberang atau depan gerbang timur Grahadi, sekelompok mahasiswa dan mahasiswi berdemonstrasi. Mereka membawa bendera Merah Putih dan poster berisi pesan, gugatan, kecaman tentang kerusakan alam.
Poster bertuliskan ”Bumi Jatim Bukan Toilet”, ”Sumobito Markas TNI Lakardowo Tropodo Patian Rowo Kali Brantas Bengawan Solo Tercemar Limbah B3”, ”Rakyat Ancur Pesenna Tellor”, ”Pemerinta Kareppah Dhibbi’ Man Menyaman”. Mereka aktivis Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton).
Baca juga: Ramadhan, Momentum Pantang Cemari Kali Surabaya
Unjuk rasa itu untuk menyambut peringatan Hari Bumi 22 April. Tahun ini, Hari Bumi bertepatan dengan Lebaran. Dalam pandangan aktivis, bulan suci Ramadhan sepatutnya menjadi gerbang bagi masyarakat khususnya di Jatim untuk mengekang hawa nafsu mencemari dan merusak lingkungan. Namun, perusakan alam Negeri Majapahit tak terhindari, tak terbendung, dan tak tertangani.
”Serasa terus menelan pil pahit menjadi warga keturunan Majapahit,” kata Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi di sela demonstrasi.
Ecoton berpengalaman dalam mendampingi kelompok-kelompok masyarakat terdampak pencemaran akibat kebijakan aparatur negara dan atau swasta (perusahaan). Lakardowo di Mojokerto, Sumobito di Jombang, dan area militer di Surabaya, Sidoarjo, Jombang, Kediri, dan Tulungagung merupakan lokasi temuan kasus pembuangan atau penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan penanganan sejak 2017 tetapi hingga kini dianggap belum tuntas.
Baca juga: Jalan Panjang Pencemaran Lakardowo
Ecoton rutin mengecek kualitas air terutama Kali Surabaya, terusan Bengawan Brantas. Selain itu, terlibat dalam ekspedisi sungai nusantara dan menginvestigasi kasus-kasus pencemaran lingkungan. Mereka juga menggugat Pemprov Jatim hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena aparatur negara kurang peduli dengan penanganan pencemaran.
Iqbal Fauzi, koordinator aksi sekaligus mahasiswa Universitas 17 Agustus Surabaya, menyatakan, ungkapan Jatim Bukan Toilet didasari kenyataan pencemaran alam yang hebat. Dari penelitian Ecoton dan kajian kualitas air konsumsi keluarga oleh Kementerian Kesehatan 2022, setidaknya 70 persen sumber air minum warga Jatim tercemar bakteri Escherichia coli.
Kepadatan tertinggi bakteri itu yakni 50.000 per 100 mililiter air ada dari sampel air Kali Surabaya di Karang Pilang. Bakteri ini dapat memicu penyakit serius, misalnya meningitis, infeksi saluran kemih, dan usus.
Bahkan, data Badan Pusat Statistik 2022 menyebutkan, ada 1.152 desa/kelurahan yang mengalami pencemaran air. Jumlah itu menjadikan Jatim sebagai provinsi urutan ketiga dengan desa/kelurahan terbanyak tercemar.
Baca juga: Tiga Gubernur di Jawa Disomasi atas Krisis Air Sungai dan Sampah
Situasi ini diperkuat riset Ekspedisi Sungai Nusantara 2022 bahwa kontaminasi mikroplastik di sungai-sungai Jatim ternyata tertinggi. Sampah plastik yang tidak terkelola di Jatim mencapai 2,5 juta ton per tahun yang akan menjadi mikroplastik dan mencemari sungai-sungai.
Kandungan mikroplastik rata-rata 636 partikel per 100 liter air sungai. Bahkan, 40 persen sampel feses warga Jatim mengandung mikroplastik meliputi fragmen, fiber, filamen, dan granul yang berisiko memicu kanker dan penyakit dalam.
Penelitian kurun 2019-2022 oleh Ecoton menyebutkan, warga terpapar pencemaran pada udara yang dihirup dari emisi kendaraan bermotor, aktivitas industri, dan pembakaran sampah. Pernyataan itu lagi-lagi dikuatkan data BPS 2022 bahwa terdapat 777 desa/kelurahan yang mengalami pencemaran udara akibat emisi kendaraan dan industri. Jumlah itu menjadikan Jatim urutan kedua provinsi dengan desa/kelurahan terbanyak tercemar udaranya.
Dari penelitian Ecoton dan kajian kualitas air konsumsi keluarga oleh Kementerian Kesehatan 2022, setidaknya 70 persen sumber air minum warga Jatim tercemar bakteri E coli.
Setidaknya, 40 tahun terakhir, Jatim menjadi salah satu lokasi pembuangan atau penimbunan ilegal limbah B3. Prigi meyakini, lebih dari 100 juta ton abu slag aluminium telah dibuang sembarangan di lahan terbuka, sawah, kebun, sempadan sungai di Jombang, Nganjuk, Kediri, dan Tulungagung. ”Dulu kita berkelakar Jatim itu toserba pencemaran dan semakin diperparah menjadi toilet,” katanya.
Baca juga: Makin Nyata, Pencemaran Sungai di Jatim dan Kalsel
Ketika pandemi Covid-19 menyerang sejak Maret 2020, setidaknya sampai akhir tahun tersebut aktivitas manusia, termasuk di Jatim, benar-benar berkurang. Prigi juga menyadari, pandemi ibarat waktu teramat singkat bagi alam untuk sekadar ”istirahat” dan memulihkan diri. Udara dan langit seolah menjadi lebih bersih. Namun, roda kehidupan termasuk pencemaran alam kembali menggelinding sejak awal 2021 dan menghebat seiring pandemi tertangani.
Sepekan setelah dilantik sebagai Gubernur Jatim pada 13 Februari 2019, Khofifah Indar Parawansa merasakan letihnya menjaring sampah di Kali Surabaya. Ia berjanji setidaknya setiap pekan akan turun atau menginstruksikan aparatur untuk secara rutin mengawasi dan melaksanakan kegiatan bersih sungai. Di awal pemerintahannya, mantan Menteri Sosial itu berjanji akan tegas dan keras terhadap kasus-kasus pencemaran.
Namun, kegiatan menjaring sampah itu hanya bertahan satu kali setelah kehadiran sang gubernur. Di pekan-pekan berikutnya sampai kini, tidak terdengar lagi ada aparatur yang mau bersama-sama kelompok masyarakat memulung sampah di sungai. Aparatur juga memilih menjadi pihak yang berseberangan dengan pegiat lingkungan dalam perkara hukum tentang pencemaran.
Teriakan menggugat para aktivis itu bisa jadi sekadar menguap ke udara bersama deru bising kendaraan yang lalu lalang. Kesadaran bahwa bumi masih tidak baik-baik bisa jadi kalah dengan kegembiraan menyongsong Lebaran dengan bepergian mudik ke kampung halaman. Selamat menyambut hari raya Idul Fitri dan Hari Bumi.