Pasokan Terbatas, Harga Kopi di Sumsel Melonjak Tajam
Produksi kopi milik petani di Sumsel turun signifikan. Kondisi ini disebabkan oleh anomali iklim yang terus terjadi sejak dua tahun terakhir. Akibatnya, harga kopi pun melonjak pesat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Produksi kopi milik petani di Sumatera Selatan turun signifikan. Kondisi ini disebabkan oleh anomali iklim yang terus terjadi sejak dua tahun terakhir. Akibatnya, harga kopi pun melonjak pesat dan pengiriman kopi ke sejumlah daerah pun dihentikan akibat kurangnya pasokan kopi.
Pendamping petani kopi dari Hutan Kita Institut, Aidil Fikri, Jumat (31/3/2023), menuturkan, saat ini produksi petani di sejumlah wilayah sentra kopi turun tajam, bahkan sampai 70 persen. ”Rata-rata produksi lahan kopi di Sumsel sekitar 300 kilogram (kg), jauh dari produksi saat normal, yakni mencapai 1 ton,” ujarnya.
Penurunan produksi kopi diduga terjadi akibat anomali iklim karena hujan yang terus-menerus mengguyur sehingga membuat pertumbuhan biji kopi tidak optimal. ”Padahal, saat ini permintaan biji kopi meningkat pesat,” ujarnya.
Harga pupuk melonjak akibatnya petani tidak sanggup memupuk tanamannya.
Karena terbatasnya pasokan kopi, Aidil tidak bisa memenuhi permintaan pasar. ”Bahkan, khusus untuk arabika, per Desember 2022, pengiriman ke sejumlah kota besar di Jawa dihentikan lantaran pasokan sudah habis,” ucapnya.
Sementara untuk robusta, dirinya tinggal mengandalkan produksi kopi dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan. Adapun untuk pasokan dari Muara Enim dan Pagar Alam telah habis.
Keterbatasan pasokan ini membuat harga biji kopi meningkat signifikan. Untuk jenis robusta, biasanya biji kopi dihargai Rp 18.000-Rp 20.000 per kg. Adapun sekarang meningkat menjadi Rp 30.000 per kg. Begitupun dengan arabika, meroket dari Rp 75.000 per kg menjadi Rp 110.000 per kg.
Analis Madya Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Alpian menduga, anjloknya produksi kopi ini tidak hanya terjadi di Sumsel, tetapi juga terjadi di beberapa sentra produksi kopi di Indonesia. ”Bahkan, di Brasil pun, produksi kopi juga anjlok. Kondisi inilah yang membuat harga kopi kian mahal,” tuturnya.
Selain akibat anomali cuaca, turunnya produksi kopi di Sumsel juga disebabkan oleh kebiasaan petani yang tidak memupuk kebun kopinya. ”Harga pupuk melonjak akibatnya petani tidak sanggup memupuk tanamannya,” ujar Rudi.
Sebagian besar petani memilih menggunakan pupuk organik dari kulit biji kopi dan kotoran hewan. ”Hanya saja, hasilnya tidak signifikan,” ucapnya. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, dirinya khawatir akan berpengaruh pada menurunnya konsumsi kopi akibat meroketnya harga kopi di pasaran.
Menurunnya produksi kopi di Sumsel tentu akan berdampak besar pada industri kopi karena Sumsel merupakan penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia dengan luas lahan mencapai 260.000 hektar. ”Banyak pabrik kopi yang sebagian besar beroperasi di Lampung juga mengambil biji kopi dari beberapa daerah di Sumsel,” ujarnya.
Menanggapi masalah ini, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas ataupun kuantitas biji kopi Sumsel dengan menggalakkan program 1 juta stek batang pucuk kopi di sejumlah sentra kopi di Sumsel. ”Dengan cara ini diharapkan jumlah kopi di Sumsel bisa meningkat,” ujarnya.
Di sisi lain, Herman berharap agar masyarakat juga memanfaatkan lahan-lahan telantar untuk menanam kopi jenis liberika agar bisa menambah pasokan kopi ketika permintaan pasar meningkat. ”Cara ini juga bisa menekan risiko kebakaran lahan yang selalu menjadi bencana tahunan di Sumsel.
Direktur Utama PT Sriwijaya Agro Industri Arkoni berpendapat potensi kopi di Sumsel belum tergarap optimal. Kondisi ini harus dibenahi segera karena pasar kopi terus meluas setiap tahunnya. ”Permintaan terhadap kopi Sumsel terus meluas. Tidak hanya untuk kebutuhan domestik, tetapi sampai ke beberapa negara di Eropa dan Timur Tengah,” tuturnya.
Perbaikan penanaman kopi dari hulu hingga pemasaran di hilir harus segera dilakukan agar kuantitas dan kualitas kopi Sumsel dapat ditingkatkan. Jika pembenahan sudah dilakukan secara menyeluruh, Arkoni yakin akan berdampak pada kesejahteraan bagi 199.162 petani kopi di Sumsel. ”Dengan begitu, kopi Sumsel akan semakin dikenal,” ujar Arkoni.