Turun-temurun masyarakat menjaga hutan bambu yang dikelilingi beragam tanaman. Hutan yang terlindungi itu jadi peluang bagi masyarakat beroleh sumber ekonomi dari hasil hutan nonkayu di tengah resesi global.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Sebanyak 101 jenis bambu tumbuh subur dalam hutan bambu di Desa Air Terjun, Kecamatan Siulak, Kabupaten Kerinci. Keragaman ini daya tarik pariwisata sekaligus mengangkat ekonomi warga.
Masyarakat setempat menyadari kekayaan alam tersebut. Turun-temurun mereka menjaga hutan bambu yang dikelilingi beragam tanaman hutan. Upaya itu ditandai dengan penetapan status hutan larangan. Di dalamnya tumbuh beragam spesies bambu, mulai dari bambu kuning (Bambusa vulgaris var. striata), betung (Dendrocalamus asper), bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea), dan bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz).
Selain bambu, desa itu juga memiliki keindahan air terjun yang bernama Batu Kuho. Itulah sebab desa tersebut dinamai Desa Air Terjun.
Belakangan, upaya mereka melindungi hutan bambu mulai terganjal oleh kebutuhan membuka kebun. Masyarakat akhirnya sepakat mengatasinya dengan memperkuat perlindungan hutan larangan melalui legalitas.
Tahun 2011, hutan tersebut disahkan pemerintah daerah lewat Surat Keputusan Bupati Kerinci tentang Hutan Adat Bukit Sembahyang Padun Gelanggang. Selanjutnya, diperkuat lagi dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Agar pengelolaan hutan dapat menghidupi masyarakat secara berkelanjutan, Kelompok Pengelola Hutan Adat (LPHA) boleh memanfaatkan hasil hutan nonkayu. Bambu menjadi potensi di dalamnya untuk dikembangkan. Tahun ini, pemerintah desa mengalokasikan dana desa sebesar Rp 40 juta untuk mendukung pengembangan bambu.
Dibuka pelatihan bagi masyarakat untuk belajar mengolah bambu perajin bambu. Gurunya didatangkan dari desa sekitar. Warga juga diperlengkapi alat-alat produksi kerajinan bambu. ”Kami ingin potensi di desa bisa dimanfaatkan untuk mendukung perekonomian rakyat,” kata Wisal, Kepala Desa Air Terjun, Minggu (26/3/2023).
Wisal menjelaskan, bambu kerap diolah untuk menjadi peralatan rumah tangga hingga wadah pembungkus makanan. Ada pula yang memanfaatkan bambu sebagai pagar rumah. Jika diolah lebih baik, hasil bambu bisa meningkatkan perekonomian warga. ”Kami berupaya mengolahnya menjadi produk-produk kerajinan,” kata Nasrul, Ketua LPHA Bukit Sembayang dan Padun Gelanggang.
Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi, saat kunjungan ke Kabupaten Kerinci, pertengahan Maret lalu, menekankan perlunya mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan. Pengelolaan yang baik akan mampu menyelamatkan masyarakat di sekitar hutan dari ancaman kemiskinan.
Kami ingin potensi di desa bisa dimanfaatkan untuk mendukung perekonomian rakyat. (Wisal)
Terlebih, saat ini dunia dilanda resesi. Pengelolaan yang benar bisa jadi solusi bagi warga tetap bertahan di tengah krisis. Bahkan, pengelolaan itu bisa mendatangkan peluang baru. ”Arah kebijakan Indonesia saat ini adalah kemiskinan ekstrem. Perhutanan sosial merupakan cara untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di desa,” katanya.
Pihaknya menyiapkan skema model desa untuk mendukung perhutanan sosial dengan melibatkan Badan Usaha Milik Desa. BUMdes sebagai badan usaha resmi di desa dapat melakukan kegiatan usaha baik langsung maupun tidak langsung. Dana desa bisa pula digunakan sebagai penyertaan modal usaha.
Ia melanjutkan, sejak 2015, perhutanan sosial menjadi salah satu prioritas penggunaan dana desa. Namun, belum semua desa mau menganggarkan dana desanya untuk program tersebut. Sebagian masih meragukan manfaatknya jika mengalokasikan dana desa untuk kegiatan perhutanan sosial di desa.
Bupati Kerinci Adirozal mengatakan, masyarakat dapat memanfaatkan skema perhutanan sosial sebagai peluang di tengah keterbatasan lahan kelola. Wilayah Kabupaten Kerinci memang didominasi kawasan hutan. Sekitar 51 persen luas wilayahnya masuk ke dalam Taman Nasional Kerinci Seblat, selebihnya berupa hutan lindung dan sisanya lahan masyarakat. ”Lahan garapan warga hanya 38 persen,” katanya.
Skema itu diharapkan jadi resolusi konflik tenurial di berbagai daerah. Berdasarkan data KLHK sebagaimana pernah diberitakan Kompas, (17/1/2023) sepanjang 2015-2022, konflik agraria yang diadukan ke kementerian itu sebanyak 1.051 kasus.
Berdasarkan catatan akhir tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sepanjang 2022 pemerintah menetapkan 105 hutan adat dengan luas mencapai 148.488 hektar. Penetapan itu diwarnai kritik masyarakat adat yang merasa hak dan permintaannya belum sepenuhnya dipenuhi.
Fungsi hutan
Untuk memberikan kesempatan lebih luas bagi masyarakat mengakses skema perhutanan sosiasl, lanjut Adirozal, dibentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA). Tugasnya untuk mempercepat terbitnya izin hutan adat di kabupaten itu.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Adi Junedi mengatakan, perhutanan sosial membutuhkan dukungan dari para pihak lintas sektor. Kerinci menjadi salah satu kabupaten terbanyak yang mendapatkan SK Perhutanan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Saat ini ada 57 SK yang telah dialihkan kelolanya dari KLHK kepada masyarakat.
Skema itu terbukti mampu mengangkat perekonomian masyarakat Kerinci. Hal ini dibuktikan dengan adanya 46 kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) yang meraih peringkat gold atautelah memiliki produk usaha dan pasar lokal. Adapun bentuk usaha berbasis hasil hutan bukan kayu adalah kopi dan kulit manis, jasa lingkungan, ekowisata, dan produk olahan seperti selai kerben dan gula aren serta produk kerajinan.