Tumpang Tindih Lahan Hutan Berujung Konflik di Kalteng, ATR/BPN Didesak Atasi
Sampai saat ini persoalan tata ruang wilayah di Indonesia masih kerap jadi masalah. Di Kalteng, tata ruang yang bermasalah jadi pemicu konflik di antara masyarakat hingga pelaku bisnis.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Persoalan tata ruang di Kalimantan Tengah merupakan gambaran buruknya persoalan tanah di Indonesia. Salah satu persoalan yang sering muncul, selain mafia tanah, adalah masuknya kawasan hutan ke dalam wilayah kelola masyarakat. Warga pun mendesak pemerintah segera mengatasi masalah tersebut.
Hal itu mengemuka dalam kunjungan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hadi Tjahjanto beserta wakilnya, Raja Juli Antoni, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (24/3/2023). Mereka didampingi Gubernur Kalteng Sugianto Sabran dan pejabat daerah lainnya.
Dalam kunjungan itu, beberapa warga ikut berdiskusi dengan Menteri ATR/Kepala BPN dan wakil. Semua warga yang bertanya mengeluhkan persoalan tumpang tindih lahan, baik ladang, sawah, maupun jenis lahan lainnya dengan kawasan hutan. Selain itu juga persoalan tumpang tindih sertifikat.
Ketua Kalteng Watch Anti Mafia Tanah Men Gumpul Cilan Muhammad menjelaskan, persoalan tumpang tindih lahan banyak terjadi di Kota Palangkaraya. Belum jelasnya status kawasan membuat mafia tanah merajalela.
Menurut Men Gumpul, hampir seluruh sudut Kota Palangkaraya diduga dikelilingi mafia tanah dan bermasalah. Setidaknya ada 18 kasus perebutan tanah. Kasus itu biasanya bermula dengan modus serupa, yakni pemalsuan dokumen tanah adat dan surat verklaring (semua tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan dianggap domain negara).
”Modusnya pakai verklaring yang kami duga palsu semua. Lalu diakali kelompok dengan lambang adat dan bekerja sama dengan oknum-oknum lain, mulai dari pejabat hingga aparat penegak hukum,” kata Men Gumpul.
Masuk hutan
Surni (40), warga Barito Selatan, mengungkapkan, tanah seluas 10 hektar yang selama ini dikelola keluarganya untuk ditanami karet hingga ladang padi kini tak lagi bisa dikelola lantaran masuk dalam kawasan hutan. Hal itu pun baru diketahui setelah tanah tersebut bergenerasi dikelola keluarganya. Dengan begitu, tentu Surni dan keluarga tidak bisa mendapatkan sertifikat tanah untuk melindungi lahannya.
”Kami sudah berhenti berladang sejak dilarang membakar dan petugas menjelaskan bahwa ladang kami itu masuk kawasan hutan jadi tidak bisa disertifikat,” kata Surni.
Menanggapi hal itu, Hadi Tjahjanto mengakui persoalan tata ruang hingga kini masih perlu dikejar solusinya. Ia mengungkapkan setidaknya terdapat 35.842 desa di Indonesia masuk dalam kawasan hutan. Hal itu tentu bakal mengganggu aktivitas peladang maupun petani di desa-desa tersebut.
”Ini jadi perhatian kami dan terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar merealisasikan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA),” ungkap Hadi.
Hadi menjelaskan, selama TORA belum dikeluarkan oleh KLHK, pihaknya tidak akan bisa mengeluarkan sertifikat kepemilikan tanah. Jika memang ada bukti BPN mengeluarkan sertifikat di kawasan hutan, maka bisa diancam dengan pidana.
”Diancam pidana itu maksudnya, kalau TORA belum dilepas KLHK lalu BPN masuk bikin sertifikat, maka bisa dipidana. Bisa ditangkap oleh KLHK,” ujar Hadi.
Hadi menambahkan, sampai saat ini pihaknya masih terus berupaya secara bertahap untuk mengeluarkan TORA dari kawasan hutan dengan koordinasi lintas kementerian. ”Obyeknya ini punya KLHK. Kalau yang punya belum dilepaskan, bagaimana mau disertifikatkan,” kata Hadi.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengungkapkan, karut-marut tata ruang di Kalteng itu terjadi lantaran masyarakat tidak mendapatkan kepastian atas lahannya atau wilayah kelola, terutama masyarakat hukum adat. Dampaknya, konflik tenurial tidak terhindar hingga berujung warga dikriminalisasi.
Kalau ada mafia tanah, gebuk. Tindak tegas. (Hadi Tjahjanto)
”Narasinya perlu diubah, bukan desa yang masuk kawasan hutan, melainkan kawasan hutan negara yang masuk ke wilayah desa. Jadi, urusan tanah itu lebih baik dikelola oleh masyarakat, terutama masyarakat adat,” ungkapnya.
Mafia tanah
Hadi Tjahjanto dalam kunjungannya juga menyempatkan diri mengunjungi Polda Kalteng untuk memberikan apresiasi atas upaya memberantas mafia tanah di Palangkaraya. Namun, hal itu tidak boleh berhenti di satu kasus.
”Perintah Presiden untuk segera selesaikan konflik pertanahan, termasuk praktik mafia tanah. Itu ditindaklanjuti di lapangan. Saya perintahkan BPN di daerah untuk terus berkoordinasi dengan Polda Kalteng dan pemerintah provinsi,” kata Hadi.
Menurut Hadi, setidaknya sejak tahun 2018 sampai 2022, Kementerian ATR/BPN telah menetapkan sebanyak 305 kasus yang menjadi target operasi mafia tanah dan sebanyak 145 kasus di antaranya telah berhasil dilimpahkan ke kejaksaan negeri ataupun kejaksaan tinggi. ”Kalau ada mafia tanah, gebuk. Tindak tegas,” ujarnya.
Koordinator Save Our Borneo Habibi menjelaskan, mafia tanah itu melibatkan banyak pihak, bahkan diduga pejabat daerah pun terlibat. Untuk itu, komitmen dan konsistensi aparat perlu dijaga.