Ketergantungan pada beras bisa diganti dengan pangan lain. Sebab, sudah terbukti bahwa manusia hidup bukan dari nasi saja.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Tuti Lawalu (43) memarut buah pisang rebus sebagai pengganti nasi untuk makan malam pada Selasa (21/3/2023). Sudah lebih dari satu tahun warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu tidak lagi mengonsumsi nasi.
Hasil parutan pisang rebus yang dibuat Tuti Lawalu (43) seketika mengubah buah pisang menjadi seperti taburan keju di atas martabak. Olahan sederhana dalam hitungan kurang dari 40 detik itu serasa mengangkat pisang naik pamor dari makanan kampung menjadi hidangan ala kaum urban. Bentuknya menggugah selera makan.
Cukup memarut satu buah pisang saja, lebih dari setengah permukaan piring makan terisi. Porsinya lebih kurang satu piring makan orang dewasa. Setelah disusul sayur dan ikan, hidangan sudah boleh disantap. Lengkap sudah susunannya, ada karbohidrat, protein, vitamin, serta kandungan nutrisi lain.
Itulah menu makan Tuti pada Selasa (21/3/2023) malam. Sudah lebih dari satu tahun warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu tak lagi mengonsumsi nasi. Beberapa tahun sebelum benar-benar melepas nasi, ia mencoba mengurangi porsinya. Ia berhasil dengan obsesinya: nol nasi.
Alasan ia mencoba kebiasaan ini bukan lantaran terserang penyakit gula darah seperti yang dialami banyak orang. Ia hanya ingin mencegahnya. Sebagai pengganti asupan karbohidrat untuk tubuh, ia mengonsumsi pisang rebus. Kadang kala, ia selingi dengan sukun rebus.
Sepanjang benar-benar meninggalkan beras, ia merasa tubuhnya tetap sehat. Sejauh ini, ia belum pernah memeriksakan kadar gula dalam darah, tetapi ia meyakini kadarnya relatif normal. Tak ada indikasi mengarah ke sana. ”Malah tubuh saya lebih ringan. Orang bilang makan pisang nanti dada sakit atau perut kembung, itu tidak saya alami sejauh ini,” ucapnya.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Menu makan Tuti Lawalu (43) berupa parutan buah pisang rebus sebagai pengganti nasi, sayur, dan ikan untuk makan malam pada Selasa (21/3/2023). Sudah lebih dari satu tahun warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu tidak lagi mengonsumsi nasi.
Selain dari sisi kesehatan yang tidak ternilai harganya, dengan mengonsumsi pisang, ibu tiga anak itu bisa menghemat pengeluaran untuk membeli beras. Dalam hitungannya, sekali makan nasi ia bisa menghabiskan 200 gram beras. Dalam satu hari, ia makan tiga kali. Ia melahap paling sedikit 600 gram beras.
Jika dikonversi dengan harga beras di NTT saat ini yang mencapai Rp 17.000 per kilogram, 600 gram beras senilai Rp 10.200. Dalam tiga hari saja, ia menghabiskan Rp 30.600 untuk membeli beras. Dibandingkan dengan mengonsumsi pisang, dalam tiga hari ia menghabiskan satu sisir pisang yang harganya hanya Rp 5.000.
Keluarga Tuti yang masuk dalam deretan warga ekonomi menengah ke atas tentu tak kesulitan membeli beras. Namun, perubahan pilihan makanan itu memberi gambaran yang bisa ditiru oleh orang lain. Dari sisi ekonomi dapat menghemat dan dari sisi kesehatan memberi banyak manfaat bagi tubuh.
Tuti mencoba menularkan kebiasaan itu kepada suami dan anak-anaknya yang perlahan mulai menyesuaikan. ”Kalau buat anak-anak, bentuk olahan dan rasa itu sangat menentukan. Mereka sudah mulai mencoba,” ujar dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang itu.
Beras mahal
Hingga Jumat (24/3/2023), NTT masih mengalami krisis beras. Harganya merangkak dalam dua bulan belakangan. Di wilayah perkotaan, seperti Kota Kupang, harga beras medium mencapai Rp 14.000 per kilogram, sementara di wilayah perdesaan menembus Rp 17.000 per kilogram. Bahkan, di daerah kepulauan menyentuh Rp 25.000 per kilogram.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Di bawah terik matahari, warga mengantre untuk mendapatkan kupon pembelian beras murah dalam kegiatan operasi pasar yang digelar Perum Bulog di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (13/3/2023).
Kendati demikian, banyak masyarakat tampaknya masih sulit melepas beras. Mereka terpaksa harus membelinya. ”Kita orangtua bisa makan ubi atau pisang, tetapi anak-anak tidak mau makan. Makanya, kami beli beras buat anak-anak saja,” tutur Yati (55), buruh serabutan di Kupang.
Yati menuturkan, semenjak harga beras naik, dalam satu hari ia hanya membeli 1 kilogram beras untuk makan lima anaknya. Pembagian makan pagi, siang, dan malam ia atur sehemat mungkin agar cukup. Idealnya, 1 kilogram beras cukup sekali makan untuk lima orang.
Keluarga Yati merupakan bagian dari 1,15 juta jiwa penduduk NTT yang hidup di bawah garis kemiskinan menurut hasil survei Badan Pusat Statistik periode September 2022. Persentase penduduk miskin di NTT 20,23 persen dari total penduduk. Garis kemiskinan di NTT dipatok Rp 490.909 per kapita per bulan.
Zadrak Mengge dari Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) memaparkan, NTT kaya akan pangan selain beras. Berdasarkan pemetaan di empat pulau, yakni Lembata, Rote, Sabun, dan sebagian Timor, didapat setidaknya 36 jenis pangan lokal. Ini belum termasuk Pulau Sumba, Flores, Kepulauan Alor, dan sejumlah pulau kecil lainnya.
Jenis pangan selain beras dimaksud seperti jagung, pisang, umbi-umbian, sorgum, dan kacang. Setiap jenis pangan itu memiliki turunannya dan sudah dibudidayakan secara turun temurun. ”Sebelum beras masuk secara masif di zaman Orde Baru, masyarakat di NTT sudah punya pangan sendiri. Seiring waktu, beras menciptakan ketergantungan,” ujarnya.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Zadrak Mengge dari Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) menunjukkan alat peraga bernama Pelangi Meja pada Selasa (21/3/2023).
Diversifikasi pangan
Menurut dia, butuh upaya bersama untuk lepas dari ketergantungan tersebut. Kebiasaan mengonsumsi beras menjadi faktor yang paling sulit ditinggalkan. Mereka yang beralih dari beras pun karena faktor penyakit, bukan karena kesadaran. Penderita penyakit gula biasanya menghindari beras.
Sebelum beras masuk secara masif di zaman Orde Baru, masyarakat di NTT sudah punya pangan sendiri. Seiring waktu, beras menciptakan ketergantungan.
Faktor lainnya adalah persepsi. Banyak orang menganggap beras adalah makanan kelas satu. ”Kalau ke kampung-kampung, masyarakat malu menghidangkan ubi atau pisang untuk tamu. Mereka akan berusaha membeli beras. Mereka menganggap makanan lokal mereka adalah makanan kelas dua,” ucapnya.
Selain itu, faktor berikutnya adalah minimnya keberpihakan pemerintah pada pengembangan pangan lokal. Pemerintah selama ini hanya fokus pada padi, jagung, dan kedelai. Fokus kebijakan itu otomatis berimplikasi pada pengolahan lahan hingga pasar yang tidak berpihak pada pangan selain padi, jagung, dan kedelai.
Kendati demikian, Ete Umbu Tara yang juga dari Pikul menambahkan, upaya membangkitkan kembali kejayaan pangan lokal bukan mustahil dilakukan. Pikul pernah menggelar festival pangan lokal di pedalaman Pulau Timor.
Kini, masyarakat desa menggelar sendiri festival tersebut setiap tahun. Festival yang melibatkan generasi muda itu mengubah kebiasaan dan persepsi positif terhadap pangan lokal.
Menurut Ete, kunci utama mengajak generasi muda mencintai pangan lokal adalah pada pengolahan. ”Variasi bentuk dan rasa itu penting. Pernah kami bikin ubi yang dipotong segi empat lalu ditusuk seperti sate. Anak-anak senang sekali,” ucapnya.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Jagung titi, kuliner khas masyarakat suku Lamaholot.
Senada dengan itu, anggota DPR RI asal NTT, Andreas Hugo Pareira, mendorong agar diversifikasi pangan menjadi solusi di tengah produksi beras yang terbatas. Menurut data Badan Pusat Statistik, angka produksi beras di NTT pada tahun 2022 sebesar 442.842 ton, sedangkan di tingkat konsumsinya mendekati 1 juta ton per tahun.
”Pemerintah daerah perlu mendorong masyarakat untuk melakukan diversifikasi pangan. Bahwa mengonsumsi kebutuhan karbohidrat tidak selalu harus beras, kita juga bisa mengonsumsi jagung, pisang, singkong, umbi-umbian. Tidak benar kalau dikatakan belum makan nasi artinya belum makan,” kata Andreas.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT Lecky F Koli menegaskan, pemerintah selalu meminta masyarakat melakukan diversifikasi pangan. Mengangkat kembali pangan lokal akan membuat ketahanan pangan di NTT semakin kuat.
Menurut dia, keberadaan infrastruktur pendukung pertanian yang dibangun pemerintah seperti bendungan dan alat-alat pertanian dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pangan lokal.
Krisis iklim yang melanda dunia akan berpengaruh pada produksi pangan termasuk beras. NTT yang bukan lumbung beras sudah seharusnya kembali menghidupkan pangan lokal sebagai fondasi membangun kedaulatan pangan sendiri. Ketergantungan pada beras bisa diganti dengan pangan lain. Sebab, sudah terbukti bahwa manusia hidup bukan dari nasi saja.