Sama-sama Menanti Solusi dari Polemik Pakaian Bekas Impor Ilegal
Polemik baju bekas impor mencuat. Pedagang dan pelaku usaha tekstil nasional membutuhkan solusi tegas terkait masalah ini.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·5 menit baca
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Suasana Pasar Cimol Gedebage, Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung, Rabu (22/3/2023). Ribuan kios di pasar tersebut ditutup pedagang pascalarangan impor pakaian bekas ilegal oleh pemerintah.
Jelang Lebaran tahun ini, ribuan pedagang pakaian bekas impor di Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, resah, seusai larangan jual-beli pakaian bekas impor ilegal kembali mencuat. Pedagang meminta solusi meski kebijakan itu dianggap pelaku usaha lainnya bisa ikut menyelamatkan industri tekstil nasional.
Langit gelap yang memayungi Bandung, Rabu (22/3/2023), menambah muram sepi di lorong Pasar Cimol Gedebage. Sentra penjualan pakaian bekas di Kota Bandung itu sudah tutup dua hari terakhir.
Teralis toko-toko ditutup. Tidak terlihat etalase penuh baju warna warni. Banyak penjualnya entah ke mana. Mereka seperti tiba-tiba pergi saat pemerintah melarang penjualan pakaian bekas impor ilegal.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Salah satu warga berdiri di antara kios-kios yang tutup di Pasar Cimol Gedebage, Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung, Rabu (22/3/2023). Ribuan kios di pasar tersebut ditutup pedagang pascalarangan impor pakaian bekas oleh pemerintah.
Deded (43), pedagang pakaian bekas di Cimol Gedebage yang bertahan, tidak bisa menyembunyikan keresahannya. Kabar penyitaan hingga pembakaran produk bekas impor ilegal menghantuinya. Jelang Ramadan, hidupnya tidak tenang.
Deded tidak menyangka, usaha yang ia tekuni sejak 25 tahun lalu kini membuatnya kalut. Saat jelang Lebaran yang biasanya dinanti, kini berganti takut.
Padahal, dia masih menjadi tulang punggung keluarga. Istrinya ibu rumah tangga. Tiga anaknya masih butuh biaya sekolah. ”Saya sudah usaha ini sejak tahun 1998. Kalau sekarang dilarang, anak dan istri saya mau makan apa. Belum lagi biaya sekolah anak-anak saya yang masih kecil. Yang sulung, tahun ini mau masuk SMP,” ujarnya lesu.
Belum punya solusi, Deded berharap pemerintah bijak. Sejauh ini, ia hanya piawai berdagang baju bekas. ”Ada ribuan orang lain seperti saya yang bergantung pada usaha ini. Kami berdagang untuk makan saja. Sehari bisa jual 20 potong dengan harga Rp 25.000-Rp 30.000 per potong,” katanya.
Salah satu warga membatasi akses masuk Gedung Pasar Cimol Gedebage, Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/3/2023). Pasar ini menjadi sentra penjualan pakaian bekas impor di Bandung.
Krisis moneter
Keresahan itu beralasan. Akar jual-beli pakaian bekas impor di Bandung tidak terjadi 10-15 tahun terakhir. Muncul bersama banyak warung tenda di berbagai daerah, jual-beli pakaian bekas impor muncul sebagai jawaban dari keruwetan krisis moneter 1998.
Tumbuh begitu saja, usaha itu mendadak menjadi tambatan hidup banyak orang. Bandung bisa dibilang sebagai embrio awal perdagangan pakaian bekas impor ini.
Kata Cimol yang dikenal di berbagai daerah di Indonesia sebagai pasar baju bekas impor, misalnya, merujuk pada sebutan akronim Cibadak Mall (dibaca: Mol). Asal muasalnya dari Jalan Cibadak, tidak jauh dari alun-alun yang dulu menjadi pusat kota Bandung. Lapak-lapak nonpermanen yang menjual baju bermerek meski bekas dengan harga sangat murah adalah daya tariknya.
Belum ada media sosial atau promosi komunikasi seperti sekarang, Cimol mampu menyedot minat penyuka gaya berharga miring dari mulut ke mulut.
Sempat pindah ke Terminal Kebon Kalapa dan Lapangan Tegalega, pedagang pakaian bekas mulai berdagang di Gedebage, ujung timur Kota Bandung, sejak 2004. Pedagang pakaian bekas mulai permanen berdagang di sana sekitar tahun 2010 hingga sekarang.
Belakangan, Cimol bahkan memicu timbulnya bisnis serupa di tahun 2000-an. Barang bekas dijual di pusat perbelanjaan, seperti ITC Kebon Kalapa hingga Pasar Baru. Kehadiran factory outlet (FO) juga bermunculan. Andalannya produk merek terkenal, baik sisa ekspor atau bekas, yang dijual dengan harga murah.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Petugas keamanan berjaga di depan gedung Pasar Cimol Gedebage, Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung, Rabu (22/3/2023).
Uniknya, saat baju bekas impor dijual di gerai-gerai megah, usianya tidak panjang. Hanya Cimol Gedebage yang bertahan. Bahkan, selama krisis akibat pandemi Covid-19 tahun 2021-2022, nama Cimol Gedebage kembali tenar. Tren di medsos hingga kebutuhan konsumen mencari baju berkualitas dan murah muncul kembali.
Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Cimol Gedebage Rusdianto menyebut, jumlah kios di pasar ini mencapai 1.100 unit di lahan sekitar 14.000 meter persegi. Setiap unitnya ada beberapa pedagang yang beraktivitas di sana. Bahkan, sejumlah pelanggan adalah pedagang yang hendak menjual kembali baju-baju bekas tersebut.
”Kalau pedagang yang terdampak, pasti lebih dari 1.000 orang. Semua bergantung di sini. Namun, kami berinisiatif menutup kios-kios sampai situasi kondusif,” kata Rusdianto.
Penutupan ribuan kios ini tidak lama setelah penyitaan 200 bal (pembungkus) pakaian bekas impor di salah satu gudang sekitar Pasar Gedebage. Selain itu, para pedagang juga sudah tidak mendapatkan stok pakaian bekas impor hingga sepekan terakhir.
”Kapan buka lagi, itu tergantung kondisi. Kalau semuanya diangkut, kami yang jadi korban. Jika memang tidak boleh berjualan lagi, tolong beri kami jalan keluar,” tutur Rusdianto.
Kepala Bidang Humas Polda Jabar Komisaris Besar Ibrahim Tompo membenarkan adanya penyitaan ratusan bal pakaian bekas ini. Dia memaparkan, tindakan tersebut dilakukan berdasarkan informasi aktivitas bongkar barang di area Pasar Gedebage.
”Kepolisian menindak keberadaan pakaian bekas impor bersama Kementerian Perdagangan sebagaimana dalam Pasal 110 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Selanjutnya, 200 bal barang bukti diserahkan kepada Kemendag,” papar Ibrahim.
Gempuran impor ilegal
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengunjung memilih pakaian bekas impor di Pasar Senen Blok 3, Jakarta Pusat, Minggu (29/5/2022).
Apabila pedagang pakaian bekas impor cemas, pelaku usaha tekstil nasional menyebut larangan itu berpotensi menyelamatkan mata pencarian banyak pekerja.
Apalagi, akibat pandemi hingga di tengah ancaman resesi global, industri tekstil nasional belum sepenuhnya bangkit. Pemutusan hubungan kerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki pada 2022 disebut Asosiasi Pengusaha Indonesia sudah terjadi terhadap 87.236 pekerja di 163 perusahaan. Jumlahnya berpotensi terus meningkat pada tahun ini.
Semakin lama orang-orang akan tergiur dan ikut berjualan pakaian bekas impor. Ini akan membuat permintaan semakin tinggi. Ini yang harus dipikirkan bersama.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menyebut, industri tekstil, terutama di level industri kecil dan menengah (IKM) terancam di tengah gempuran pakaian impor bekas.
”Satu baju bisa dikerjakan puluhan bahkan ratusan pekerja. Sementara baju bekas dari negara lain itu hampir tidak ada harganya karena biasanya dari donasi. Kalau orang lebih membeli satu baju bekas dibandingkan baju baru dari IKM yang ada ongkosnya,” ujar Jemmy.
Kondisi ini, lanjut Jemmy, mengancam kehidupan pekerja tekstil yang mencapai 3 juta orang di Tanah Air. Bahkan, lebih 30 persen pekerja di antaranya berada di Jabar. Tidak hanya dari sektor produksi, penjualan barang bekas ini juga merugikan penggiat di sektor hilir seperti para penjual.
”Semakin lama orang-orang akan tergiur dan ikut berjualan pakaian bekas impor. Ini akan membuat permintaan semakin tinggi. Ini yang harus dipikirkan bersama,” ujarnya.
Baik pedagang baju bekas impor maupun pelaku usaha tekstil nasional membutuhkan solusi tegas dari polemik ini. Nasib banyak orang sama-sama diperjuangkan di tengah kondisi zaman yang tidak mudah ini.