Sebanyak 180 ogoh-ogoh mengikuti parade ogoh-ogoh dalam rangka hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Tidak hanya umat Hindu, tetapi juga masyarakat lintas agama ikut bergembira.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Lebih dari 20.000 orang mengikuti parade ogoh-ogoh dalam rangka hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 yang berlangsung di Jalan Pejanggik, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/3/2023). Dalam tiga tahun terakhir, parade ogoh-ogoh di Pulau Lombok tidak bisa diselenggarakan karena pandemi Covid-19.
KOMPAS, MATARAM — Setelah tiga tahun absen karena pandemi Covid-19, parade ogoh-ogoh menyambut hari raya Nyepi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, kembali diselenggarakan, Selasa (21/3/2023) . Tidak hanya umat Hindu, masyarakat lintas agama turut hadir dan ikut merayakan kegembiraan pada parade yang dihadiri puluhan ribu orang itu.
Parade ogoh-ogoh terakhir digelar di Lombok pada hari raya Nyepi 2019. Tahun ini, dalam rangka hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945, parade kembali di kawasan Jalan Pejanggik, salah satu jalur utama di Kota Mataram.
Ketua Panitia Parade Ogoh-ogoh Made Krisna Yuda Prasetya mengatakan, total ada 180 ogoh-ogoh dari banjar, seka teruna teruni, komunitas sekolah, dan perguruan tinggi.
Lebih dari 20.000 orang mengikuti parade ogoh-ogoh dalam rangka Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 yang berlangsung di Jalan Pejanggik, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/3/2023).
Menurut Krisna, 160 ogoh-ogoh berasal dari Kota Mataram. Kemudian 15 ogoh-ogoh lainnya dari Lombok Barat dan 5 ogoh-ogoh dari Lombok Tengah.
”Jumlah ogoh-ogoh tahun ini merupakan yang terbanyak sepanjang penyelenggaraan di Lombok,” kata Krisna.
Sejak Senin malam, ogoh-ogoh yang mengikuti parade telah dibawa ke kawasan Jalan Pejanggik Kota Mataram yang menjadi lokasi parade. Ukurannya beragam, dari satu meter hingga lebih dari tujuh meter.
Selanjutnya, sejak Selasa pagi, Jalan Pejanggik, mulai dari depan Mataram Mall hingga Taman Mayura, telah ramai. Ogoh-ogoh diletakkan sesuai nomor urut di kiri kanan jalan.
Di sekitarnya, banyak pembawa ogoh-ogoh, umat Hindu, dan juga masyarakat umum lintas agama. Selain warga lokal, ada juga wisatawan domestik dan mancanegara.
Semakin siang, kawasan itu semakin padat. Lalu sekitar pukul 13.00 Wita, parade dimulai setelah dilepas Wali Kota Mataram Mohan Roliskana dan Gubernur NTB Zulkieflimansyah.
Sesuai tema Nyepi tahun ini, yakni ”Loka Samastha Sukhino Bawanthu”, Semoga Alam Semesta Berbahagia, parade ogoh-ogoh di Lombok benar-benar semarak dan meriah.
Meski cuaca terik sejak pagi, peserta ataupun masyarakat yang datang menonton tetap antusias. Semua merayakan kegembiraan parade yang telah dirindukan selama tiga tahun tersebut.
Mereka bersorak dan berteriak, ikut bertepuk tangan, saat ogoh-ogoh melintas. Juga saat ogoh-ogoh dibawa berputar berkali-kali oleh yang mengaraknya.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Ogoh-ogoh dalam rupa raksasa atau makhluk seram mengikuti parade ogoh-ogoh dalam rangka hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 yang berlangsung di Jalan Pejanggik, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/3/2023).
”Senang luar biasa karena sudah tiga tahun tidak pernah melihat ogoh-ogoh. Tahun 2020, hampir ada parade, tapi ternyata batal karena Covid-19,” kata Sariningsih (40), warga Kota Mataram.
Sariningsih berharap Nyepi tahun ini menjadi momentum untuk membuat negeri ini semakin damai. Tidak muncul hal-hal yang bisa memecah kerukunan umat beragama. Dia berharap pandemi Covid-19 tidak muncul kembali.
Suster Felisita Sihotang dari Paroki Santo Antonius Padua Ampenan juga sangat senang bisa melihat salah satu rangkaian hari raya Nyepi Umat Hindu di Lombok.
”Saya baru kali melihat dan merasakan langsung suasana parade ogoh-ogoh. Banyak sekali ogoh-ogoh, dari ukuran kecil sampai besar,” kata Suster Felisita.
Suster Felisita mengatakan tidak begitu paham makna ogoh-ogoh, kecuali sebagai lambang kejahatan yang di akhir parade akan dibakar atau dimusnahkan. Namun, ia sangat menikmati parade ini sebagai sebuah karya seni.
”Sungguh indah dan bahagia melihat karya seni yang luar biasa,” ujarnya.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Sebanyak 180 ogoh-ogoh mengikuti Parade Ogoh-ogoh dalam rangka hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 yang berlangsung di Jalan Pejanggik, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/3/2023).
Suster Felisita mengatakan, kehadirannya juga sebagai bentuk dukungan terhadap umat Hindu di Lombok. ”Saya berharap, ke depan kehidupan di Lombok semakin baik. Apalagi sebentar umat Islam juga mau Ramadhan, sehingga bertambah suasana yang mendukung kebaikan,” kata Suster Felisita.
Refleksi
Ketua Umum Pengarah Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 NTB I Gede Putu Aryadi mengatakan, parade ogoh-ogoh merupakan kegiatan kedua dalam rangka menyambut hari raya Nyepi Tahun Saka 1945. Sebelumnya, pada Minggu (19/3/2023), umat Hindu dari beragai wilayah di NTB juga mengikuti kegiatan Melasti yang dipusatkan di Pantai Loang Baloq, Mataram.
”Hari ini parade ogoh-ogoh yang di ujungnya akan ada Tawur Agung Kesanga di Mayura atau Upacara Sakral sebagai simbolisasi untuk meninggalkan segala sifat buruk ini kembali ke jati diri kita sebagai masyarakat Hindu kepada kebaikan,” kata Gede.
Menurut Gede, Tawur Agung Kesanga yang juga ditandai dengan pemusnahan ogoh-ogoh dengan cara dibakar itu menutup rangkaian kegiatan umat Hindu sebeum memulai Catur Brata Penyepian.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Tari Pendet ditampilkan sebelum dimulainya Parade Ogoh-ogoh dalam rangka hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945 yang berlangsung di Jalan Pejanggik, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/3/2023). Parade tersebut diikuti sekitar 20.000 orang lebih dari berbagai wilayah di Pulau Lombok.
Catur Brata Penyepian adalah empat pantangan bagi umat Hindu selama Nyepi, yaitu amati karya (larangan bekerja), amati geni (larangan menyalakan api atau lampu), amati lelungan (larangan bepergian), dan amati lelanguan (larangan bersenang-senang).
”Catur Brata adalah ritual sakral dalam rangka meninggalkan sifat-sifat buruk dan menatap masa depan dengan sifat kebaikan,” kata Gede.
Ogoh-ogoh disimbolkan dengan makhluk seram yang pada akhirnya dimusnahkan. Menurut Gede, hal itu melambangkan setiap diri individu di alam semesta yang selain punya sifat baik, juga punya buruk.
”Dari situ kita belajar, kalau kita bersifat buruk, maka akan berdampak buruk ke kita sehingga harus ditinggalkan. Sebaliknya, kalau kita berbuat baik, akan mendapatkan kebaikan,” kata Gede.
Menurut Gede, Nyepi adalah momentum refleksi dan introspeksi diri. ”Momentum untuk meninggalkan sifat-sifat buruk. Mengembalikan kita menjadi makhluk spiritual sehingga bisa menjalani kehidupan ini dengan baik, harmoni, saling toleran, dan damai,” kata Gede.