Satu Dekade Film Karya Arek Malang Makin Moncer
Dibandingkan sebelumnya, dunia sinematografi di Malang Raya berkembang positif dalam satu dasawarsa terakhir.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F20%2Fc910fad0-4123-4773-bf4f-96b5a2100caf_jpg.jpg)
Salah satu adengan dalam film Darah Biru Arema, salah satu film pendek yang diputar pada acara Satu Dekade Film Malang Raya-Bertumbuh dan Berkembang di Malang Creative Center (MCC), Malang, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023).
Pacho Rubio nama anak itu, sama dengan nama pemain Arema tahun 2000. Sang ayah adalah seorang penggemar sepak bola yang meninggal akibat serangan jantung tatkala dirinya lahir. Persis saat Arema baru saja berlaga.
Seperti orangtuanya, Pacho tumbuh menjadi suporter fanatik tim kesebalasan kesayangannya, Arema. Saking cintanya, meski masih SMP, jiwa persaudaraan Arema telah bercokol kuat dalam dirinya.
Darah Biru Arema (Taufan Agustyan, 2015), SMEAMU & Kelas Film, dengan bintang Muhammad Aminudin, ini menjadi salah satu film fiksi yang diputar pada acara Satu Dekade Film Malang Raya-Bertumbuh dan Berkembang, di Malang Creative Center (MCC), Malang, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023).
Ini merupakan ajang refleksi dunia perfilman di Malang Raya dalam 10 tahun terakhir. Secara keseluruhan, ada 37 film pendek dari 65 karya yang masuk, yang ditayangkan dalam acara yang berlangsung hingga 20 Maret.

Balai Kota Malang dan Taman Tugu difoto pada Selasa (19/01/2021).
Selain fiksi dan dokumenter, ada juga sejumlah film animasi yang ikut diputar. Untuk genre fiksi, sebut saja judul Persenan (Lukman Hakim, 2021), Raya Media Creative; Tinuk (Aprilingga Dani, 2015), Mata-mata Project; Ghulam (Nashiru Setiawan, 2021), Mata-mata Project & History Film; dan Memoar (Fariz Ghozi Ghaisani, 2021), Loan House Production.
Sementara untuk jenis dokumenter ada Behind the Role, Hallyu Wave Effect (Akbar Ardian, 2023)-Komunikasi UMM; Candi Malangan (Adelia Nova Agusia, 2017), SMKN 7 Malang; dan Groundstration (Derry M Syahrul Dai, 2023), Komunikasi UMM.
Untuk jenis animasi ada Avido oleh Lima Titik Studio, Plonga-plongo Seri 1 & 2 oleh Engon Studio, dan 3 Kecoa oleh Republik Animasi, serta The Last Supper oleh Roleplay Studio.
Beberapa film yang diputar telah memenangi ajang lomba film dan festival tingkat nasional, seperti Persenan yang menenangi Anticorruption Film Festival Komisi Pemberantasan Korupsi (ACFFEST 2021) dan film Ora Srawung Mati Suwung (Destian Rendra, 2020), Hisstory Film; yang menang di ajang Bali International Film Festival (Balinale).
Sepuluh tahun terakhir geliat perfilman di Malang Raya memang lebih terasa dibandingkan dengan periode sebelumnya. Banyak film ditelurkan oleh tangan kreatif arek-arek komunitas, baik itu dari internal kampus, sekolah, maupun di luar itu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F20%2F26712ae5-eec0-4603-b4dc-abf2d8c50363_jpg.jpg)
Suasana jelang pemutaran film dan diskusi Satu Dekade Film Malang Raya-Bertumbuh dan Berkembang, di Malang Creative Center (MCC), Malang, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023).
Perkembangan zaman dan kemudahan teknologi memang kian mendukung. Karya-karya itu pun tak lagi butuh kanal dengan aturan baku, tetapi melalui media sosial film itu bisa terdistribusi menembus sekat yang sebelumnya membatasi penonton.
”Lebih dari 100 karya dihasilkan dalam setahun. Sekarang kami sedang pendataan,” ujar Novin Farid Setyo Wibowo, Ketua Panitia Satu Dekade Film Malang Raya-Bertumbuh dan Berkembang, sekaligus produser dan penulis skenario film Persenan.
Semakin ke sini, menurut Novin, dunia perfilman di Malang Raya berkembang positif. Pelan tetapi pasti, film telah menjadi sebuah ekosistem. Ada yang fokus di produksi, ekshibisi, bisnis, hingga menyiapkan talenta.
”Meski bukan kota besar, untuk film, khususnya film pendek, animasi, dokumenter, di Malang tumbuh sangat bagus. Dulu film karya arek Malang eksklusif, hanya bisa diputar di festival. Kini, dengan banyak platform, banyak jalur distribusi yang bisa dimanfaatkan untuk publikasi,” katanya.
Baca Juga: Talenta Sineas Muda Indonesia Didukung
Perkembangan teknologi di media film terkait soal kamera dan alat tayang memang berubah dalam satu dekade ini. Dampaknya berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas film yang ada.
Film pun kini tak lagi berbasis di kampus sebagaimana masa sebelumnya, sebut saja komunitas film Kine Klub yang ada di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) atau Societo Sineklub di Universitas Brawijaya. Saat ini, film bergeser ke komunitas yang didirikan oleh mereka yang pernah menggeluti film di kampus atau pernah mengenyam dunia pendidikan film.
”Mereka bukan lagi sekadar belajar atau unit kegiatan mahasiswa, tetapi memang benar-benar bikin film. Ada yang memang bisnisnya di film, ada yang memang berkomunitas di film dan tetap konsisten. Kalau dulu, setelah berkomunitas di kampus, mereka hilang,” katanya.
Keberadaan tempat nongkrong yang makin menjamur juga menjadi faktor pendukung. Mereka bisa adu gagasan di warung-warung kopi dan tempat lainnya, termasuk tempat yang baru dibangun MCC. Dari situ, mereka bisa berkolaborasi karena film melibatkan multiplayer effect, seperti desain, artistik, dan lainnya. Hari ini kolaborasi-kolaborasi itu mulai terjadi.
Satu lagi kekuatan Malang memiliki banyak perguruan tinggi, yang mana sebagian di antaranya memiliki program studi broadcasting dan multimedia.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F20%2Fe2b46079-89e5-4964-a3eb-537423a311a2_jpg.jpg)
Adengan dalam film Kekancan, salah satu film pendek yang diputar pada acara Satu Dekade Film Malang Raya-Bertumbuh dan Berkembang, di Malang Creative Center (MCC), Malang, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023).
Dua tahun terakhir juga muncul Kawasan Ekonomi Khusus Singhasari yang berfokus pada perkembangan teknologi, salah satunya berkutat pada animasi dan film factory.
Nashiru Setiawan dari Matamata Films (sebelumnya Mata-mata Project)—kumpulan penyuka film dengan latar belakang bermacam, mulai dari pekerja film, dosen, mahasiswa, hingga freelancer—adalah salah satu arek Malang yang berkecimpung dengan film.
Selain produksi film, komunitas ini juga membuka kegiatan belajar bagi siswa terkait film. Sejak berdiri tahun 2015, Matamata Films sudah membuat enam film, antara lain berjudul Tinuk, Ghulam, dan Pulang Sebelum Berangkat. Dua judul terakhir diputar dalam acara ini.
Meski sama-sama menampilkan gambar bergerak, dibandingkan dengan youtuber yang kini menjamur, membuat film jelas beda. Menurut Nashiru penanganan pada film jauh lebih panjang. Produksi mulai dari penulisan naskah, pengembangan, sampai draf skenario butuh waktu berbulan-bulan hingga setahun.
Itu pun, sineas harus mencari dana untuk produksi. ”Kami banyak mendapat bantuan dana produksi dari pemerintah, dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan satu kali, Kedutaan Jerman satu kali, juga Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Yang benar-benar murni produksi sendiri Ghulam, itu pun dapat support,” ujarnya.
Baca Juga: Tiga Hari Diputar, Film ”Tengkorak” Disambut Hangat Publik Amerika
Menurut Nashiru, dari sekian film yang telah pihaknya buat, paling berkesan adalah film pertama (Tinuk). Film tersebut menjadi cikal bakal mereka berkomunitas. Tinuk berangkat dari ide cerita (empat bulan) yang mana saat itu ada pembukaan lomba ide cerita (pitching) (ACFFEST 2014).
”Dalam budaya sinema berangkat film untuk komersial atau karya. Kalau pada kami semangatnya berkarya, bukan komersial meski bentuk pekerjaannya sama,” ujarnya.
Berkembang di kota terbesar kedua di Jawa Timur, bukan berarti filmmaker di Malang tidak menghadapi kendala. Novin yang juga pengajar film di Program Studi Ilmu Komunikasi UMM menilai tantangannya ada di wilayah egosentris yang masih ada.
Dalam budaya sinema, berangkat film untuk komersial atau karya. Kalau pada kami, semangatnya berkarya, bukan komersial meski bentuk pekerjaannya sama.
Egosentris di bidang seni sangat kuat, tak hanya di film saja, tetapi juga seni yang lain. Dia mencontohkan komunitas ini merasa cocok dengan ini atau itu saja. Saat ini, pandangan seperti itu musti dilebur untuk menjadi kekuatan bersama.
”Kemampuan individual di Malang sebenarnya sudah kelas internasional, banyak sekali. Misalnya, saya punya teman yang diam-diam ternyata ilustrator musik animasi di negara lain,” katanya.
Kalau kemampuan individual itu bisa persatukan dan membuat proyek bersama, Malang akan terangkat. Kebutuhan untuk berkomunitas dan saling kolaborasi ini diharapkan perlahan bisa terwujud.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F20%2Fd895270c-c940-46dd-be5d-9eb321364a52_jpg.jpg)
Suasana di luar ruang jelang pemutaran film dan diskusi Satu Dekade Film Malang Raya-Bertumbuh dan Berkembang, di Malang Creative Center (MCC), Malang, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023).
Dia membandingkan bagaimana di Yogyakarta sineas senior rela ”berbagi” dengan yunior, seperti Garin Nugroho, Hanung Bramantyo, Ifa Isfansyah, serta kawan-kawan yang mau turun gunung dan memberi proyek. Mereka lahir dari komunitas sehingga tidak melupakan komunitasnya.
”Malang banyak lahir bukan dari komunitas karena kemampuan sendiri-sendiri. Mungkin, untuk kembali ke Malang, mereka harus digandeng bareng,” kata Novin yang juga anggota Komite Ekonomi Kreatif Kota Malang.
Dengan kolaborasi, bukan tidak mungkin ke depan film arek Malang tak hanya moncer di tataran lokal dan nasional, tetapi juga berbicara di tataran yang lebih luas. Kita tunggu saja pada dasawarsa berikutnya....