Menjaga Memori Kali Surabaya
Hari Air pada 22 Maret perlu menjadi momentum peringatan terus-menerus bagi warga Surabaya, Jawa Timur, untuk merawat dan melestarikan peradaban sungai untuk keberlangsungan hidup.

Seorang warga memancing di Sluis Wonokromo, bagian dari kompleks Pintu Air Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023). Prasarana pengairan itu dibangun di masa Hindia-Belanda dalam kurun 1865-1889 untuk pengendali banjir Kali Surabaya, penyedia air baku dari Kali Surabaya, penahan intrusi air laut dari Selat Madura, dan jalur transportasi untuk perahu.
Setidaknya 50 orang dari peserta literasi sejarah Subtrack (Surabaya Urban Track), pegiat Begandring Soerabaia, dan pegawai PDAM Surya Sembada terlibat dalam Wonokromo Heritage Track di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023). Kegiatan bertujuan mendorong kecintaan warga Surabaya terhadap literasi sejarah sekaligus menyambut Hari Air yang diperingati setiap 22 Maret.
Kegiatan dimulai dan diakhiri di Instalasi Penjernihan Air Minum (IPAM) Ngagel di Jalan Ngagel Tirto, Wonokromo. Dari sini, peserta berjalan sekitar 100 meter ke Pintu Air Jagir, di sisi selatan IPAM Ngagel. Dari papan informasi Perum Jasa Tirta 1, Pintu Air Jagir dibangun pada 1917 atau masa Hindia-Belanda. IPAM Ngagel, menurut PDAM Surya Sembada, dibangun 1922 atau lima tahun lebih muda. Pintu Air Jagir berfungsi pengendali banjir dari Kali Surabaya, penyedia air baku bagi IPAM Ngagel, dan penahan intrusi air laut dari Selat Madura melalui Kali Mas atau Kali Jagir.
Pemerintah Kota Surabaya juga memasang papan informasi yang menyatakan Pintu Air Jagir (1923) sebagai lokasi paoekan atau tempat bersauh tentara Tartar yang akan menyerang Kediri pada 1293. Terusirnya tentara Tartar pada 31 Mei 1293 oleh pasukan Wijaya, pendiri Majapahit, yang diduga terjadi di ”delta” Jagir itu menjadi dasar penetapan Hari Jadi Surabaya. Padahal, Kali Jagir yang bermuara ke pantai timur dan Selat Madura melalui Wonorejo belum ada sampai setidaknya 1865, catatan Hindia-Belanda tentang pembangunan sudetan atau Wonokromo Sluizen in de Kali Mas te Soerabaja.
Baca juga: Susur Kalimas Menikmati Gemerlap Malam Surabaya

Pegiat literasi sejarah dari Begandring Soerabaia berpose dengan pakaian model masa Hindia-Belanda saat kegiatan Subtrack di Pintu Air Jagir, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023). Kegiatan juga untuk menyambut peringatan Hari Air pada 22 Maret. Pintu Air Jagir dibangun di masa Hindia-Belanda pada 1917 untuk pengendali banjir Kali Surabaya, penyedia air baku dari Kali Surabaya, dan penahan intrusi air laut dari Selat Madura.
”Lalu bagaimana bisa diklaim tentara Tartar terusir dan pergi melalui Kali Jagir bahkan menjadi dasar penetapan hari jadi?” ujar Ketua Begandring Soerabaia sekaligus pemimpin tur Nanang Purwono kepada peserta Subtrack. Pintu Air Jagir bisa diyakini dibuat berkaitan dengan proyek Kali Jagir, sudetan menuju timur ke Selat Madura untuk pengendali banjir. Sementara itu, tidak jauh dari sana, juga terdapat Pintu Air Wonokromo yang menjadi permulaan Kali Mas yang bermuara ke Pelabuhan Tanjung Perak.
Dari Jembatan Besar Wonokromo yang menghubungkan Jalan Wonokromo dan Jalan Raya Darmo dapat terlihat bahwa Kali Surabaya bercabang, yakni ke utara (Kali Mas) dan ke timur (Kali Jagir). Kalangan warga sepuh Wonokromo juga menyebut Kali Jagir sebagai Kali Londo (Belanda) karena dibuat oleh Hindia-Belanda yang turut memaksa rakyat. Pemaksaan itu memicu perlawanan rakyat terutama dari pesantren-pesantren Ndresmo (Sidosermo Dalam).
Baca juga: ”Emas” yang Terpendam di Kalimas

Seorang warga menjala ikan di Pintu Air Jagir, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023). Pintu Air Jagir dibangun di masa Hindia-Belanda pada 1917 untuk pengendali banjir Kali Surabaya, penyedia air baku dari Kali Surabaya, dan penahan intrusi air laut dari Selat Madura.
Daya sungai
Dari Pintu Air Jagir, peserta kemudian menyeberangi Jalan Jagir Wonokromo menuju Stasiun Wonokromo. Di sini, peserta diperlihatkan tinggalan menara air dan pompa air yang di masa Hindia-Belanda salah satunya untuk pengoperasian kereta api. Di stasiun ini sempat ada 7 jalur tetapi berkurang menjadi 4 jalur. Salah satu jalur yang hilang tetapi sebagian sisa rel masih terlihat terletak di sebelah menara air dan pompa air.
Salah satu cerita yang diutarakan kepada peserta ialah tragedi gerbong maut yang mengakibatkan kematian 46 pejuang Indonesia pada 23 November 1947. Mereka adalah tawanan sekutu (Belanda) dan disekap dalam gerbong dari Stasiun Bondowoso menuju Stasiun Wonokromo. Sesampai di Stasiun Wonokromo, diketahui sebanyak 46 tawanan tewas dan diduga seluruh jasad kemudian dibuang ke Kali Jagir.
Baca juga: Normalisasi Sungai di Surabaya Korbankan Mangrove Wonorejo

Pegiat literasi sejarah dari Begandring Soerabaia berpose dengan seragam ala tentara di masa lalu dalam kegiatan Subtrack di Stasion Wonokromo dalam kegiatan di Stasiun Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023).
Selanjutnya, peserta berjalan menuju Pintu Air Wonokromo di Jalan Ngagel. Kompleks prasarana ini dikelola oleh UPT Perum Jasa Tirta 1. Di sini terdapat delta atau pulau kecil yang terdiri dari dua gerbang air. Sisi barat diyakini sebagai Wonokromo Sluizen in de Kali Mas te Soerabaja yang salah satu fungsinya untuk lalu lintas perahu. Sisi timur merupakan pintu air pengendali banjir.
Jika debit air dari selatan (Kali Surabaya) cukup tinggi, Pintu Air Wonokromo ditutup sehingga aliran terbuang melalui Pintu Air Jagir. Sebaliknya, jika debit dari selatan kurang sementara wilayah kota memerlukan air untuk irigasi dan industri, Pintu Air Jagir ditutup sehingga aliran masuk ke Kali Mas.
Untuk itu, Pintu Air Jagir kerap disebut banjir sluis. Adapun di sepanjang Kali Mas dibangun sejumlah dam dan sluis untuk memaksimalkan fungsi penyediaan air bagi domestik, irigasi perkebunan (tebu), industri (gula), dan perhubungan. Di tepi Kali Mas pernah berdiri pabrik gula Ngagel, Bagong, Gubeng, Darmo, dan Ketabang.
Baca juga: Mengubah Sepotong Wajah Kota

Anak-anak kampung bergembira dengan bermain di Sluis Wonokromo, bagian dari kompleks Pintu Air Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023). Prasarana pengairan itu dibangun di masa Hindia-Belanda dalam kurun 1865-1889 untuk pengendali banjir Kali Surabaya, penyedia air baku dari Kali Surabaya, penahan intrusi air laut dari Selat Madura, dan jalur transportasi untuk perahu.
Kemudian, peserta kembali ke IPAM Ngagel untuk mendapat penjelasan tentang pengolahan air baku di instalasi yang dibangun pada 1922 tersebut. Manajer Produksi Ngagel Aris Priyoko mengatakan, air baku diambil dari Kali Surabaya untuk kemudian diolah di IPAM. Setiap hari, diperlukan tawas sebanyak 10 ton dan setidaknya 6 kilogram bubuk kimia untuk penjernihan.
”Salah satu menara yakni Filter D merupakan tinggalan Hindia-Belanda,” kata Aris. Kapasitas ketika dibangun di masa Hindia-Belanda cuma 60 liter per detik. Di era Republik Indonesia, pemerintah membangun menara-menara baru setipe dengan tinggalan Hindia-Belanda sehingga kapasitas produksi menjadi 1.610 liter per detik.
Baca juga: Bahaya Mikroplastik Intai Kali Surabaya

Direksi PDAM Surya Sembada menjelaskan proses pengolahan air baku di Instalasi Penjernihan Air Minum Ngagel, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (19/3/2023). Penjelasan untuk peserta literasi sejarah Subtrack terkait Hari Air (22 Maret). IPAM Ngagel merupakan kompleks peninggalan masa Hindia-Belanda (1922) yang ketika itu memproduksi 60 liter per detik.
Dalam catatan Begandring, di masa revolusi, ada Pemoeda Air, laskar yang ditugaskan mengganggu suplai dari IPAM Ngagel untuk sekutu yang menduduki kawasan pusat dan utara. Pemoeda Air menguasai IPAM Ngagel dan memutus suplai air bersih. Tentara sekutu tidak berani mengonsumsi air dari sumur apalagi sungai-sungai sehingga terpaksa mengonsumsi minuman jadi yang ketika itu mungkin paling banyak jenis yang beralkohol.
Pencemaran
Sepekan sebelumnya, lebih dari 30 pegiat Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (Bruin) berkampanye di seberang Gedung Negara Grahadi tentang bahaya pencemaran Bengawan Brantas. Pemerintah menetapkan Brantas sebagai sungai strategis nasional karena menjamin ketersediaan air baku bagi 80 persen warga Jatim yang berpopulasi 40 juta jiwa, setidaknya memasok kebutuhan bagi 40 persen industri, dan 40 persen irigasi bagi persawahan, perkebunan, dan budidaya air tawar. Di Mojokerto, Brantas bercabang menjadi Kali Surabaya dan Kali Porong.

Kalangan pegiat pelestarian lingkungan hidup dari Ecoton dan mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim menyusuri Kali Surabaya sekaligus berkampanye anti-pencemaran batang air tersebut di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (5/8/2020). Kali Surabaya yang merupakan percabangan Sungai Brantas terus tercemar padahal memasok kebutuhan air bagi jutaan warga Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, dan Surabaya.
Direktur Eksekutif Ecoton (Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah) Prigi Arisandi mengatakan, Kali Surabaya amat penting bagi warga ibu kota Jatim karena memasok 97 persen air baku bagi 3 juta populasi domestik, industri, dan perkantoran. Dari temuan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara 2022 yang diinisiasi oleh Ecoton, Brantas termasuk Kali Surabaya merupakan sungai paling tercemar mikroplastik dengan persentase 636 partikel per 100 liter.
Pencemaran Kali Surabaya bisa merugikan keberlangsungan hidup warga Surabaya termasuk operasional PDAM.
Pencemaran diperparah dengan buangan dari 130 industri. Selain itu, sepanjang pendataan 2021, Ecoton menemukan lebih dari 1.000 timbulan sampah dan lebih dari 2.000 pohon terlilit sampah-sampah plastik di sepanjang Kali Surabaya dan Kali Porong. Tahun berikutnya atau 2022, khusus untuk Kali Surabaya, teridentifikasi lebih dari 1.150 bangunan ilegal, sekitar 500 timbulan sampah, lebih dari 600 pohon terlilit plastik, dan 7 saluran pembuangan industri.
Baca juga: Warga Perlu Terus Diingatkan soal Dampak Pencemaran Kali Surabaya

Tim peneliti Ecoton saat pengambilan sampel air di mulut intake Karangpilang, Kali Surabaya, Jawa Timur, Rabu (18/8/2021). Penelitian pencemaran Kali Surabaya termasuk dalam kegiatan peringatan 76 Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan kampanye pelestarian lingkungan hidup.
”Pencemaran Kali Surabaya bisa merugikan keberlangsungan hidup warga Surabaya termasuk operasional PDAM,” kata Prigi.
Untuk itu, wajar jika PDAM Surya Sembada amat tidak merekomendasikan bahwa air bersih yang dikirim melalui pemipaan ke rumah-rumah segera dikonsumsi. Jika harus mengonsumsi air, harus dengan dimasak sampai mendidih. Namun, dengan hadirnya industri penyediaan air minum dalam kemasan dan air isi ulang, kalangan warga Surabaya kebanyakan memakai produk PDAM untuk mandi, mencuci, menyiram, atau bukan untuk konsumsi.