Melalui Festival Puan Paloh, para puan ”paloh” memanggungkan sekaligus menertawakan penderitaannya. Mereka rehat sebentar dari kemiskinan karena kerusakan lingkungan dan terpinggirkan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Para puan paloh atau perempuan pesisir menampilkan vokal grup dalam Festival Payau Puan Paloh di Kelurahan Paya Pasir, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (11/3/2023). Para perempuan pesisir juga bermain teater, puisi, dan bernyanyi dalam festival itu.
Festival Payau Puan Paloh menghentikan sejenak penderitaan hidup puan paloh atau emak-emak pesisir Kota Medan. Pekerjaan sehari-hari sebagai penyerut lidi, penganyam atap daun, pencari lokan, atau tukang cuci pakaian ditinggalkan. Melalui teater, puisi, nyanyian, hingga kuliner, para puan paloh memanggungkan sekaligus menertawakan penderitaan dan kemiskinannya.
Panas terik matahari membuat suasana terasa sangat gerah di Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan, Sumatera Utara, Sabtu (11/3/2023). Namun, cuaca panas tidak membuat surut semangat para perempuan itu. Mereka sudah menangkap lokan dan membersihkan paloh dari sampah. Paloh adalah sungai di tengah ekosistem mangrove.
Di sebuah lapangan kecil di dekat Paloh Belanjang, para puan paloh sudah mendirikan panggung seni pertunjukan. Di sisi panggung juga dibuat gubuk beratap daun nipah untuk menjual penganan tradisional khas pesisir.
Seorang perempuan dengan kebaya kuning dan dandanan menor lalu mendendangkan lagu berjudul ”Zapin Melayu” dari atas panggung. Spontan, para perempuan berpakaian daster datang ke sisi panggung dan berjoget lincah mengiringi lagu. Suasana pertunjukan kian semarak.
Para puan paloh atau perempuan pesisir berjoget bersama diiringi lagu melayu dari atas panggung Festival Payau Puan Paloh di Kelurahan Paya Pasir, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (11/3/2023). Para perempuan pesisir juga bermain teater, puisi, dan bernyanyi dalam festival itu.
Di sebuah gubuk beratap nipah, belasan ibu-ibu sedang membicarakan persiapan mereka yang akan tampil di panggung teater. Ada pula yang bersiap untuk menampilkan puisinya. ”Kami agak grogi juga karena baru kali ini main teater dan ditonton banyak orang pula,” kata Marlina (42), warga Paya Pasir.
Marlina menyebut, mereka dengan mudah menghayati jalan cerita teater berjudul ”Paloh Menanjak Kota” itu karena memang merasakannya langsung di kehidupan nyata. Panggung teater itu menceritakan kisah kemiskinan, anak yang putus sekolah, terjerat narkoba, hamil di luar nikah, atau anak menikah muda.
”Kalau menghayati perannya mudah saja, tetapi menampilkannya dengan mimik dan emosi yang pas agak susah,” kata Marlina, yang berperan sebagai Wak Romla pencari lokan di paloh. Mereka pun sudah berlatih setiap hari dalam beberapa pekan terakhir di kantor lurah.
Kisah kehidupan nyata Marlina adalah gambaran penderitaan perempuan pesisir. Pekerjaan sehari-harinya adalah menyerut lidi dari daun nipah. Lidi itu kabarnya diekspor. Ia mendapat upah Rp 700 per kilogram lidi yang dihasilkan. Jika bekerja dari pagi hingga sore, ia bisa menyerut 25 kilogram lidi nipah dengan upah sekitar Rp 17.500.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Anak-anak pesisir menonton Festival Payau Puan Paloh di Kelurahan Paya Pasir, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (11/3/2023). Para perempuan pesisir menampilkan teater, puisi, dan bernyanyi dalam festival itu.
Terkadang, Marlina juga mengambil upah sebagai pembuat atap dari daun nipah. Ia akan mendapat Rp 20.000 jika bisa membuat 100 keping atap. Atap sebanyak itu bisa dibuat jika bekerja dari pagi sampai sore. ”Lumayan bisa membantu pendapatan suami yang bekerja sebagai pencari kepiting di paloh. Kami harus menyekolahkan empat anak,” kata Marlina.
Hal serupa dialami Asmawati (38), warga Paya Pasir lainnya. Sehari-hari ia bekerja sebagai tukang cuci pakaian di perumahan dekat kampung mereka. ”Saya bekerja di tiga rumah. Kalau ditotal-total bisa dapat Rp 700.000 per bulan,” kata Asmawati, yang memerankan Ibu Upi yang bertengkar hebat dengan tetangganya dalam kisah teater.
Kerusakan lingkungan
Asmawati mengatakan, kehidupan masyarakat pesisir kian hari kian sulit karena semakin banyak sampah dari kota yang mengotori paloh di kampungnya. Orang kota juga merambah hutan mengrove untuk dijadikan arang lalu menimbun paloh untuk dibuat tambak ikan.
Kehidupan masyarakat pesisir kian hari kian sulit karena semakin banyak sampah dari kota yang mengotori paloh di kampungnya. (Asmawati)
”Kalau mangrovenya bagus, kami bisa hidup dari hasil tangkapan kepiting dan udang bakau saja, tidak perlu saya menjadi tukang cuci. Namun, saat ini tangkapan sudah sangat sedikit. Kadang suami tidak mendapat apa-apa dan hanya membawa sampah botol plastik dari paloh,” kata Asmawati.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Warga menaiki perahu di sebuah paloh dekat Festival Payau Puan Paloh di Kelurahan Paya Pasir, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (11/3/2023). Para perempuan pesisir bermain teater, puisi, dan bernyanyi dalam festival itu.
Rusaknya hutan mangrove juga membuat banjir rob semakin parah hingga masuk rumah setinggi setengah meter. Saat masih bagus, hutan mangrove menjadi tanggul alami di pesisir sehingga banjir rob tidak sampai masuk rumah. Sumur-sumur mereka juga menjadi kotor sejak mangrove rusak.
Meskipun masuk wilayah kota metropolitan, tidak ada layanan air bersih perpipaan dari perusahaan daerah air minum ke kampung mereka. ”Kami harus menggunakan sumur bor dengan kedalaman puluhan meter yang biayanya lebih dari Rp 10 juta. Terpaksa kami berutang dengan angsuran Rp 400.000 per bulan selama tiga tahun untuk membuat sumur bor,” kata Asmawati.
Ketua Panitia Festival Payau Puan Paloh Herawanti Handayani mengatakan, festival itu mereka buat untuk memanggungkan kisah penderitaan perempuan pesisir. Herawanti yang juga seniman teater itu sudah tujuh tahun membuka sanggar Teater Rumah Mata bersama Agus Susilo di Paya Pasir. ”Puan paloh hidup dalam kemiskinan karena kerusakan lingkungan, tetapi tetap kuat dan sabar menjalani hidupnya,” kata Herawanti.
Di daerah itu, kata Herawanti, banyak anak-anak yang putus sekolah sebelum tamat SMA. Mereka juga sudah biasa menikah di usia sekitar 15 tahun. ”Tapi, di usia 20 tahun sudah jadi janda,” katanya.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Anak-anak pesisir menonton Festival Payau Puan Paloh di Kelurahan Paya Pasir, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (11/3/2023). Para perempuan pesisir menampilkan teater, puisi, dan bernyanyi dalam festival itu.
Herawanti mengatakan, mereka berharap festival itu bisa dilaksanakan paling tidak sekali setahun dan menjadi sumber penghasilan ekonomi baru bagi masyarakat pesisir. Selain menampilkan seni pertunjukan, festival itu juga menjual berbagai jenis penganan tradisional khas pesisir, membersihkan paloh, menangkap lokan dan kepiting, serta mengajak pengunjung menyusuri hutan mangrove dengan perahu nelayan.
Festival itu dilaksanakan dengan pembiayaan program Danaindonesiana, yaitu manfaat dana abadi kebudayaan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Manajer Danaindonesiana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Roy Silalahi mengatakan, tahun ini ada lima komunitas di Kota Medan yang mendapat pembiayaan festival kebudayaan dari Danaindonesiana. Festival Payau Puan Paloh mendapat pembiayaan untuk kategori pendayagunaan ruang publik.
”Sudah saatnya di ruang publik ada aktivitas kebudayaan untuk menciptakan interaksi seniman, masyarakat, dengan pemerintah dalam pemajuan kebudayaan,” kata Roy.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Para puan paloh atau perempuan pesisir menyaksikan Festival Payau Puan Paloh di Kelurahan Paya Pasir, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (11/3/2023). Para perempuan pesisir juga bermain teater, puisi, dan bernyanyi dalam festival itu.
Wali Kota Medan Bobby A Nasution mengatakan, ia berharap festival tersebut bisa rutin dilaksanakan sebagai salah satu daya tarik wisata di pesisir Kota Medan. Ia juga meminta agar wisata mangrove juga dimaksimalkan. ”Dan yang paling penting, festival ini harus bisa mendorong ekonomi masyarakat lokal,” katanya.
Bobby berjanji akan mendukung pembiayaan agar festival itu bisa rutin dilaksanakan. Ia menyebut, ekosistem mangrove di pesisir Kota Medan mempunyai daya tarik wisata yang sangat besar, tetapi selama ini belum maksimal dimanfaatkan. Di Paya Pasir juga ada Situs Kota Cina yang merupakan peninggalan kepurbakalaan berupa reruntuhan bata, sisa pertukangan logam, sisa permukiman, dan berbagai artefak yang bisa menjadi daya tarik wisata pesisir.
Di atas panggung, para perempuan pesisir larut dalam berbagai seni pertunjukan sebelum akhirnya kembali pada penderitaan hidup mereka. ”Paling tidak, festival ini bisa menjadi hiburan kami untuk meninggalkan penderitaan hidup kami sejenak,” kata Asmawati.