Pemberitaan Diskriminatif terhadap LGBT Marak Jelang Pemilu 2024
Pemberitaan yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok lesbian, ”gay”, biseksual, dan transjender atau LGBT marak di sejumlah media daring menjelang Pemilu 2024. Pemberitaan itu berpotensi memersekusi kelompok LGBT.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pemberitaan yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transjender atau LGBT marak di sejumlah media daring menjelang Pemilihan Umum 2024. Pemberitaan itu berpotensi memperparah persekusi dan kekerasan terhadap LGBT.
Temuan itu muncul dari pemantauan media daring oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), dan Arus Pelangi, organisasi non-pemerintah yang membela hak LGBT. Pendataan berita itu berlangsung pada Januari dan Februari 2023.
”Pendataan berita media daring ini menunjukkan sebagian besar tidak berperspektif jender dan tidak melindungi hak kelompok LGBT,” ujar Manajer Advokasi Sejuk Tantowi Anwari saat dihubungi dari Cirebon, Jawa Barat, Selasa (7/3/2023). Pendataan itu dilakukan secara kuantitatif.
Ketiga lembaga itu memeriksa 113 berita di media daring berskala lokal dan nasional dengan kata kunci LGBT selama dua bulan terakhir. Pihaknya mengidentifikasi pemberitaan itu berdasarkan kategori berperspektif keadilan jender, netral, dan tidak menggunakan pendekatan jender.
Perspektif jender menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan terhadap keragaman jender, termasuk LGBT. Penerapan pandangan itu dapat terlihat dari identitas dan pernyataan narasumber, judul berita, angle atau sudut pandang, pemilihan diksi, hingga frekuensi dalam pemberitaan.
”Hasilnya, 100 berita menunjukkan tidak berperspektif jender, lima netral, dan delapan berperspektif jender,” ujar Thowik, sapaannya. Ia mencontohkan, media sering mengutip pernyataan yang diskriminatif dari tokoh organisasi masyarakat sebanyak 35 kali serta komentar anggota DPRD 31 kali.
Pihaknya juga mencatat, pemberitaan yang diskriminatif terhadap kelompok LGBT itu berdasarkan komentar kepala daerah sebanyak 25 kali serta kepala dan pejabat satuan kerja perangkat daerah sekitar 16 kali. Sebaliknya, pemberitaan itu hanya lima kali memuat suara kelompok LGBT.
Media daring itu juga banyak menggunakan diksi yang mengandung stigma, seperti LGBT perilaku menyimpang sebanyak 29 kali, LGBT dilarang oleh agama 28 kali, dan LGBT melanggar norma susila atau budaya 13 kali. Padahal, kelompok LGBT juga manusia yang punya hak seperti yang lain.
”Diksi diskriminatif mempertebal stigma dan melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok LGBT,” ucap Thowik. Ia menilai, maraknya pemberitaan di media daring yang cenderung diskriminatif menurut pernyataan sejumlah pejabat itu mulai marak menjelang Pemilu 2024.
Komentar sejumlah pejabat daerah yang menyerukan anti-LGBT, misalnya, berpotensi menguatkan permusuhan, kebencian, diskriminasi, dan persekusi terhadap kelompok tersebut. Beberapa daerah tersebut adalah Makassar, Bandung, Garut, dan Sampang.
Menurut dia, sejumlah rancangan peraturan daerah anti-LGBT juga menambah daftar panjang aturan yang diskriminatif. Pihaknya mencatat, terdapat 48 regulasi yang cenderung anti-LGBT di Indonesia. Sebanyak 1.840 LGBT juga menjadi korban persekusi pada 2016-2018.
Pemberitaan tentang regulasi yang tidak berperspektif jender itu, lanjutnya, semakin meminggirkan LGBT. Adapun daerah dengan pemberitaan diskriminatif tersebar di 11 daerah, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, serta Sulawesi Selatan.
”Pemantauan pemberitaan tentang LGBT itu memperlihatkan maraknya hasrat politisasi identitas mendekati Pemilu 2024. Pesta politik mendorong politisi untuk berkontestasi meraup dukungan pemilih dengan menggunakan isu yang paling gampang, yakni LGBT,” paparnya.
Oleh karena itu, Thowik mengingatkan para jurnalis untuk mengacu pada pedoman pemberitaan isu keberagaman yang diterbitkan Dewan Pers. Isinya seperti tidak menggunakan diksi, suara, atau gambar yang merendahkan dan menyebarkan kebencian pada kelompok tertentu.
Jurnalis, lanjutnya, juga seharusnya tidak memberikan ruang bagi narasumber yang tidak mempunyai empati terhadap kelompok rentan, seperti LGBT. Narasumber yang mengobarkan permusuhan bagi kelompok terpinggirkan akan membuat posisi komunitas itu semakin rentan.
Sekretaris Jenderal AJI Ika Ningtyas juga mendorong media massa menaati Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Apalagi memasuki tahun politik saat ini.
”Media massa harus ekstra hati-hati dengan pola-pola penggunaan politik identitas jelang 2024,” ujar Ika.
AJI Indonesia, Sejuk, dan Arus Pelangi mendorong Dewan Pers aktif menyosialisasikan Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman kepada komunitas pers. Pedoman itu menjadi rujukan bagi media agar pemberitaannya lebih inklusif.