Aneka Langgam Rumah Gadang, Potret Keberagaman Minangkabau
Rupa rumah gadang bergonjong menyerupai tanduk kerbau terlalu dominan menguasai ruang publik sehingga seolah menjadi bentuk tunggal rumah adat Minangkabau. Padahal, ada wajah lain rumah gadang Minangkabau.
Wajah rumah gadang Minangkabau bukan hanya bergonjong menyerupai tanduk kerbau. Ada beragam bentuk rumah gadang yang selama ini tidak diketahui publik.
Dominasi rumah bergonjong tandung kerbau itulah yang hendak dibuyarkan sejumlah anak muda dalam pameran bertajuk Halaman Depan Multikulturalisme: Pameran Foto Narasi Keragaman Arsitektur Tradisional di Sumatera Barat. Pameran digelar di Fabriek Bloc, Kota Padang, Sumbar, 27 Februari-13 Maret 2023.
Pameran diinisiasi oleh peneliti sejarah Randi Reimena dan fotografer Muhaimin Nurrizqy. Konten dan narasi pameran dikurasi oleh Heru Joni Putra dan Esha Tegar Putra. Fotografer Fatris MF menjadi editor foto-foto yang ditampilkan pada pameran.
Pameran menampilkan langgam atau model lain dari rumah gadang di Sumbar yang tak banyak diketahui publik. Langgam rumah-rumah panggung berbahan dasar kayu itu antara lain rumah gadang gonjong duo, rumah gadang tanpa gonjong, rumah gadang kajang padati, rumah gadang batingkek, dan rumah gadang baanjuang data.
Baca juga : Menjaga Rumah Gadang Kajang Padati
Rumah gadang gonjong duo di perkampungan adat Tinggam, Nagari Kajai, Pasaman Barat, misalnya, memiliki bentuk atap yang berbeda. Bubungan atapnya relatif datar di bagian tengah, kemudian sedikit melengkung dan runcing di bagian ujung. Ujung atap itu tetap disebut gonjong meskipun berbeda dengan gonjong rumah gadang umumnya yang lebih panjang dan lancip.
Ada dua bentuk atap rumah gadang di Tinggam. Ada yang atapnya berupa satu hamparan, ada pula yang atapnya terbagi dua, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Meskipun berbeda, kedua bubungan atap rumah gadang gonjong duo berbentuk sama.
Langgam rumah gadang lain yang ditampilkan dalam pameran adalah rumah gadang kajang padati di pinggiran Kota Padang. Disebut kajang padati karena atapnya mirip dengan atap pedati. Atap rumah relatif landai, tidak bergonjong. Di bagian depan ada barando atau beranda untuk bersantai ataupun menerima tamu.
Adapun rumah gadang baanjuang data di Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Agam, punya bentuk yang lain pula. Rumah gadang di nagari tepian Danau Maninjau itu memang punya empat gonjong seperti tanduk kerbau, tetapi bentuk atapnya berbeda dibandingkan rumah gadang umumnya.
Atap rumah gadang baanjuang data terbagi dua, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas yang lebih kecil dan bergonjong dua teronggok di atap bagian bawah yang lebih besar berbentuk prisma segi empat. Di kiri-kanan rumah juga terdapat anjungan dengan gonjong yang lebih kecil.
Anjungan di rumah ini berbeda dengan anjungan pada rumah gadang laras Koto Piliang yang sama besar dengan bangunan utama dan lantainya lebih ditinggikan. Sementara anjungan rumah gadang di Sungai Batang lebih kecil dan lantainya sama datarnya dengan bangunan utama.
Selain berbagai langgam rumah gadang beserta detail-detailnya, pameran juga menampilkan keunikan ataupun akulturasi budaya pada rumah gadang bergonjong, seperti yang terdapat pada rumah gadang di Jorong Sungai Dodok, Nagari Koto Tinggi, rumah gadang ukia Cino di Nagari Simalanggang, Limapuluh Kota, dan rumah gadang limo puncak di Nagari Salayo, Solok.
Rumah/bangunan tradisional lain yang ada di Sumbar juga ditampilkan dalam pameran, yaitu uma atau rumah adat Mentawai kawasan pesisir Pulau Siberut dan ruko-ruko serta jejak arsitektur Tionghoa di Kelurahan Kampung Pondok, Padang.
Wajah lain
Berbagai langgam rumah adat yang ditampilkan dalam pameran ini berupaya mengemukakan wajah lain Minangkabau melalui rumah gadang. Pameran hendak membuyarkan narasi yang berkembang akhir-akhir ini bahwa Minangkabau itu seragam dan kaku.
Randi Reimena menjelaskan, selama ini bentuk rumah gadang yang dikenal luas masyarakat hanya seperti yang ada di Istano Basa Pagaruyung di Anjungan Sumbar Taman Mini Indonesia Indah (TMII), atau seperti yang banyak dipakai di atap kantor-kantor pemerintahan di Sumbar. Padahal, langgam rumah gadang itu beragam.
Baca juga : Rumah Gadang, Bangunan Tahan Gempa yang Ditinggalkan
Di Pasaman Barat, kata Randi, selain rumah gadang gonjong duo di Tinggam yang bentuknya beda dengan rumah gadang umumnya, juga ada rumah gadang tanpa gonjong di Nagari Sinuruik. Meskipun bentuknya beda, kaum yang memilikinya tetap menyebut itu rumah gadang. Kaum itu juga menganut matrilineal, punya adat, dan datuak (pemimpin adat Minangkabau).
”Seperti yang dikatakan Heru di catatan kuratorialnya, ini memang upaya membuyarkan representasi beku yang sudah mapan atas Minangkabau sebagai sesuatu yang tunggal. Padahal, kalau kita pergi ke bawah, Minangkabau itu lebih cair, tampak dalam beragam bentuk rumah gadang,” kata Randi, Senin (27/2/2023).
Menurut Randi, beragamnya model rumah gadang dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain geografis dan akulturasi budaya. Bentuk rumah gadang kajang padati, misalnya, disesuaikan dengan karakteristik alam di pesisir yang rentan badai sehingga riskan terhadap rumah gadang bergonjong biasa. Sementara itu, rumah gadang di Tinggam diyakini dipengaruhi budaya Mandailing karena lokasinya berbatasan.
Di Nagari Simalanggang, Limapuluh Kota, ada satu rumah berarsitektur rumah gadang bergonjong (pada umumnya) dengan berbagai motif ukiran China. Rumah berdinding tembok bata yang didirikan secara pribadi oleh saudagar Datuak Bandaro Leman pada awal abad ke-20 ini dinamakan rumah gadang ukia Cino (China).
Motif ukiran China di sejumlah bagian rumah tersebut, antara lain, berupa ukiran burung magpi, pohon persik, bunga krisan, vas bunga, dan aksara Mandarin. Keberadaan motif ukiran tersebut tak terlepas dari relasi dagang Datuak Bandaro Leman dengan para saudagar China.
”Tidak ada yang mempermasalahkan rumah gadang ukia Cino di Simalanggang itu,” kata Randi, yang merupakan alumnus Magister Ilmu Sejarah Universitas Andalas. Selain itu, ada pula rumah gadang limo puncak di Nagari Salayo, Solok, yang terpengaruh budaya luar, ditandai dengan atap berandanya berbentuk kubah.
Randi melanjutkan, kalangan tertentu berupaya memonopoli dan menggiring Minangkabau menjadi sedemikian kaku. Seakan-akan Minangkabau tidak bersentuhan dengan budaya lain. Realitas di nagari-nagari justru berkata lain, seperti yang ada di rumah gadang ukia Cino di Simalanggang.
Ia menambahkan, sebenarnya masih banyak langgam rumah gadang ataupun rumah tradisional lain yang ada di Sumbar. Walakin, karena keterbatasan waktu dan tenaga, berbagai jenis rumah tradisional itu belum dapat ditampilkan dalam pameran.
Sementara itu, Esha Tegar Putra dalam catatan kuratorialnya mengatakan, pameran ini adalah sintesis dalam melihat satu keganjilan ke keganjilan lain dari arsitektur di Sumbar. Sebagian besar konten pameran memang menampilkan rumah gadang, tetapi pameran berusaha untuk meraih keasingan, keberbedaan, dan kelainan dari bangunan tersebut.
”Penghadiran keasingan ini juga bukan sebuah upaya untuk menganulir kearifan lokal dari ’vernacularism rumah gadang’. Sebaliknya, pameran yang berangkat dari studi lapangan dan pustaka ini berupaya memperkaya dengan memberikan informasi bahwa sebuah keasingan dari arsitektur hadir dari sebuah kesadaran,” kata Esha.
Multikultural
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumbar Undri mengatakan, pameran yang didukung Dana Indonesiana, program kolaborasi Kemendikbudristek dan Kemenkeu, ini mencerminkan hakikat dari masyarakat Minangkabau. Setiap rumah gadang punya nilai filosofi tersendiri dan memperlihatkan kehidupan masyarakat.
Di rumah gadang, kata Undri, terlihat struktur dan stratifikasi sosial, termasuk persoalan kehidupan matrilineal. Pada satu sisi, rumah gadang adalah fisik yang tampak jelas. Pada sisi lain, secara filosofi keberadaannya memperkuat kedudukan perempuan.
”Rumah gadang juga merupakan kelangsungan hidup bagi masyarakat Minangkabau. Kalau tidak ada rumah gadang, bisa jadi kehidupan masyarakat Minangkabau akan habis. Posisi masyarakat Minangkabau bisa dilihat dari rumah gadang,” katanya.
Selain itu, lanjut Undri, pameran ini juga menampilkan masyarakat Minangkabau yang multikultural melalui beragam model rumah gadang. Di setiap daerah Minangkabau berlaku adat salingka nagari (setiap nagari punya adat dan budaya yang berbeda-beda). Begitu pula dengan bentuk-bentuk rumah gadang.
”Keberagaman ini yang memperkuat masyarakat Minangkabau ke depannya. Ada pepatah basilang kayu dalam tungku mangko api ka hiduik (bersilang kayu dalam tungku, makanya api akan hidup). Keberagaman itulah dicirikan dalam masyarakat Minangkabau,” ujarnya.
Baca juga : Menunggu Kembalinya Rumah Ibu