Tindakan intoleransi berupa pembubaran ibadah jemaat Gereja Kristen Kemah Daud mencederai toleransi yang selama ini terjalin di Lampung. Semua pihak berupaya memadamkan api intoleransi itu.
Oleh
VINA OKTAVIA
·6 menit baca
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Suasana ibadah di Gereja Kristen Kemah Daud di Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung, ramai pada Minggu (26/2/2023). Hari itu, sekitar 150 orang jemaat gereja menjalani ibadah dengan penjagaan aparat.
Suasana Gereja Kristen Kemah Daud yang terletak di Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung, tampak ramai pada Minggu (26/2/2023). Hari itu, sekitar 150 orang jemaat gereja sedang menjalani ibadah.
Halaman parkir gereja penuh dengan puluhan mobil dan sepeda motor. Sekitar 20 personel petugas gabungan yang terdiri dari anggota polisi dan TNI berjaga di sekitar gereja. Beberapa orang petugas berdiri di dekat pintu utama, sementara yang lainnya berjaga di pinggir jalan.
Seusai ibadah, para jemaat tak langsung pulang. Anak-anak bermain di halaman gereja, sementara belasan remaja asyik berfoto. Para jemaat juga memanfaatkan pertemuan hari itu untuk silaturahmi. Mereka saling menyapa dan bertanya kabar.
Fransiska Lydia Boru Ginting (33) dan Irone Wahyulu (34) misalnya, pasangan suami istri yang sehari-hari bekerja di Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, itu jarang bertemu dengan teman-temannya. Bagi mereka, ibadah Minggu tidak hanya momen menyembah Tuhan, tetapi juga waktu untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat.
”Kami bersyukur akhirnya bisa beribadah di gereja ini dengan tenang dan khusyuk. Kami juga bisa saling sapa dengan teman-teman,” kata Fransiska.
Ibadah Minggu pagi itu menjadi hal yang istimewa bagi jemaat setelah pekan lalu tindakan intoleransi merusak prosesi ibadah di gereja itu. Seorang warga yang juga ketua RT setempat tiba-tiba memaksa masuk ke gereja dan membubarkan paksa ibadah yang sedang berlangsung.
Keributan sempat terjadi di dalam gereja sehingga membuat jemaat, terutama anak-anak, takut. Pihak gereja akhirnya menghentikan ibadah dan meminta jemaat bubar untuk menghindari keributan yang lebih besar.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Jemaat berfoto seusai ibadah di Gereja Kristen Kemah Daud di Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung, Minggu (26/2/2023). Hari itu, sekitar 150 orang jemaat gereja menjalani ibadah dengan penjagaan aparat.
Frengki Tambunan (44) menuturkan, pembubaran ibadah pekan lalu membuat anak-anaknya sedih dan trauma. Kedua putrinya, Hana Tambunan (9) dan Ruth Tambunan (8), menangis sembari memeluk Frengki saat keributan terjadi. Mereka bersedih dan bertanya kepada ayahnya mengapa ibadah harus dihentikan.
Kala itu, Frengki dan istrinya, Uli Sinambela (43), memilih tak menjelaskan banyak hal. Frengki tak ingin ada benih kebencian dalam diri buah hatinya. Ia hanya meminta agar Hana dan Ruth selalu berdoa dalam hati dan percaya kepada kebaikan Tuhan.
”Ini pengalaman yang baru bagi mereka. Untuk anak seusia mereka, saya hanya bisa mengatakan agar mereka jangan pernah membenci dan melakukan hal serupa kepada orang lain,” kata Frengki.
Frengki bersyukur, tindakan intoleransi yang terjadi pekan lalu tidak terulang. Saat ini, para jemaat sudah bisa beribadah dengan tenang serta mendapat penjagaan dari aparat.
Pendeta Horas Agustian L Tobing yang merupakan pimpinan Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) pusat secara khusus datang dari Jakarta untuk memimpin ibadah hari itu. Kepada jemaat, ia berpesan agar selalu berbuat baik terhadap sesama. Kehadiran jemaat GKKD juga harus bisa memberi manfaat bagi warga sekitarnya.
Ia menambahkan, peristiwa yang terjadi pekan lalu harus menjadi pelajaran untuk memperbaiki kekurangan yang ada. Ia meminta pihak gereja segera mengurus izin permanen agar jemaat bisa beribadah dengan tenang seterusnya.
”Jangan menimbulkan kesan eksklusif di masyarakat. Jemaat juga bagian dari masyarakat dan NKRI sehingga harus saling menjaga kerukunan dan toleransi,” kata Agustian.
Pihak gereja menghargai kesepakatan damai yang telah dibuat. Kendati begitu, Aliansi Kebebasan Beragama Lampung melaporkan insiden pembubaran ibadah itu ke polisi karena dinilai melanggar hak asasi.
Terkait hal itu, Agustian menyerahkan proses hukum kepada polisi. Meski pihak gereja tak membuat laporan, ia menghargai hak kelompok masyarakat lain yang menempuh jalur hukum menyikapi persoalan itu. ”Kami tentu tidak bisa melarang. Kami hanya berharap semua pihak bisa belajar dari peristiwa ini ke depannya,” katanya.
Video pembubaran ibadah di GKKD yang terjadi pada Minggu (19/2/2023) sempat beredar di media sosial. Setelah kasusnya viral, pemerintah dan aparat penegak hukum buru-buru memediasi kedua belah pihak. Kesepakatan damai dan izin sementara untuk gereja akhirnya diterbitkan untuk mengakhiri polemik.
Bagi jemaat, izin sementara yang diterbitkan pemerintah menjadi jawaban dari penantian mereka selama satu dekade terakhir. Sejak gedung itu dirikan pada 2013, jemaat gereja menerima setidaknya dua kali perlakuan intoleransi berupa pembubaran ibadah.
Sejak insiden pembubaran ibadah yang pertama kali terjadi pada 2016, gereja itu tidak pernah digunakan. Jemaat GKKD biasanya menumpang di gereja Gereja HKBP Pentakosta Kedaton, Bandar Lampung. Setiap ibadah, mereka harus antre dan bergantian karena ada empat kelompok jemaat berbeda yang beribadah di gereja tersebut.
Tak hanya ibadah, para jemaat juga kesulitan saat akan menggelar perayaan Paskah atau Natal di sana. Pada 2018, jemaat pernah mengajukan izin untuk menggelar perayaan Natal, tetapi ditolak. Penolakan juga terjadi saat jemaat hendak mengajukan izin ibadah Paskah pada 2022. Akhirnya, mereka menyewa hotel demi bisa menggelar perayaan Natal dan Paskah dengan tenang.
Kita semua menginginkan kedamaian, keamanan, dan tentunya membangun hubungan yang harmonis antarumat beragama.
Pendeta GKKD, Naek Siregar, menceritakaan, tanah untuk lokasi gereja itu dibeli sejak 2007. Saat itu, di kawasan itu masih berupa lahan kosong dan belum banyak perumahan seperti sekarang ini. Tahun 2013, pengelola membangun paroki.
Menurut dia, pihaknya sudah berupaya mengurus perizinan gereja sejak 2014. Kala itu, ia dibantu perangkat RT mengumpulkan tanda tangan 60 warga sekitar sebagai syarat pengajuan izin pendirian gereja. Namun, setelah adanya pergantian ketua RT, tanda tangan warga yang sudah dikumpulkan itu dianggap tidak berlaku. Hingga kini, gereja itu belum mengantongi izin.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Para jemaat keluar dari Gereja Kristen Kemah Daud di Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung, Minggu (26/2/2023). Hari itu, sekitar 150 orang jemaat gereja menjalani ibadah dengan penjagaan aparat.
Ketua Panitian Pendirian GKKD Parlin Sihombing menuturkan, pihaknya telah membentuk tim untuk mengurus izin pendirian gereja secara permanen. Apalagi, jumlah jemaat semakin banyak dan benar-benar membutuhkan rumah ibadah. ”Jumlah jemaat sekitar 150 orang,” katanya.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bandar Lampung Purna Irawan berharap peristiwa itu menjadi momentum untuk memperkuat rasa toleransi di masyarakat. Kedua belah pihak, baik jemaat maupun warga, telah diingatkan untuk saling berbuat kebaikan dan memahami adanya hak dan kewajiban bagi setiap warga negara dalam menjalankan ibadah.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Lampung Puji Raharjo menjelaskan, pemerintah telah berdialog semua pihak membahas insiden pembubaran ibadah di GKKD. Kedua belah pihak juga sudah sepakat berdamai.
”Kita semua menginginkan kedamaian, keamanan, dan tentunya membangun hubungan yang harmonis antarumat beragama,” kata Puji.
Menurut dia, persoalan itu diselesaikan secepatnya agar tidak meluas dan merusak toleransi yang selama ini terjalin di Lampung. Sebagai daerah transmigrasi, Lampung dikenal sebagai miniatur Indonesia karena masyarakatnya beragam. Selama ratusan tahun, masyarakat dari berbagai suku dan agama hidup berdampingan dan damai.
Selama ini, keberagaman menjadi kekuatan masyarakat Lampung. Bahkan, Lampung mempunyai semboyan ”Sang Bumi Ruwa Jurai” yang berarti satu wilayah yang beragam. Semboyan ini mempresentasikan kehidupan multikultural di Lampung.
Karena itulah, ia berharap tidak ada lagi tindakan intoleransi serupa yang dapat menodai kerukunan beragama di Lampung.