WHO dan ILO mencatat, di tahun 2016, jumlah kematian akibat kelelahan kerja mencapai 745.000 jiwa dari laporan 1,9 juta kematian di 183 negara. Di tengah pandemi, risiko ini semakin rentan karena perubahan pola kerja.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
Kompas
Seorang pegawai Bank BNI bekerja di rumahnya di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (17/3/2020). Sejumlah kantor dan perusahaan menerapkan sistem bekerja dari rumah untuk meminimalisasi penularan virus Covid-19.
BANDUNG, KOMPAS — Kelelahan akibat jam kerja yang panjang dan tidak teratur menjadi penyumbang kematian terbesar dalam kecelakaan kerja di dunia. Di tengah pandemi Covid-19, pekerja semakin rentan dengan jam kerja tinggi karena pekerjaan yang berbaur dengan ranah privat.
Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Tenaga Kerja Dunia (ILO), sebagian besar kematian dalam pekerjaan berasal dari kelelahan akibat paparan jam kerja tinggi. Di tahun 2016, misalnya, jumlah kematian karena jam kerja ini mencapai 745.000 jiwa dari 1,9 juta kematian akibat kerja di 183 negara.
Jumlah kematian akibat kelelahan karena jam kerja ini jauh melampaui faktor lainnya. Risiko kematian dalam pekerjaan yang kedua berasal dari paparan partikel, gas, dan asap berbahaya dengan korban jiwa hingga 450.000 pekerja. Setelah itu, faktor kecelakaan kerja menyebabkan 363.000 kematian.
Programme Officer ILO Country Office for Indonesia and Timor Leste Abdul Hakim memaparkan, data yang dipublikasikan tahun 2021 ini menggambarkan risiko cacat dan kematian kerja juga dipengaruhi kelelahan. Karena itu, saat pandemi Covid-19 hingga disrupsi digital melanda, kerentanan kematian akibat kelelahan cenderung semakin tinggi.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Intan Aprilia (28), seorang pekerja muda, bekerja dari rumahnya di Sudimara Pinang, Tangerang, Banten, Kamis (12/1/2023). Intan merupakan salah satu pekerja muda yang memilih kantor yang menawarkan pekerjanya bisa bekerja dari mana saja. Saat ini, dia bekerja di Fita, sebuah perusahaan rintisan bidang teknologi kesehatan yang berkantor di Kemang, Jakarta. Intan biasa bekerja dari rumah dan kafe.
“Pandemi dan disrupsi digital tidak hanya memengaruhi gaya hidup, tetapi juga pekerjaan. Ranah pekerjaan dan privat menjadi bercampur karena orang-orang beraktivitas di luar kantor. Semua itu memberikan tekanan,” ujar Abdul di sela Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (IOMU) ke-15, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (25/2/2023).
Menurut Abdul, aktivitas yang dilakukan di luar area pekerjaan atau kantor membuat jam kerja menjadi tidak terkontrol. Bahkan, pandemi yang memaksa orang-orang bekerja dari rumah ini membuka masalah baru, mulai dari berdampak pada hubungan keluarga hingga posisi bekerja yang tidak ergonomis. Kondisi ini berdampak pada kesehatan pekerja.
Pekerja sektor informal, lanjut Abdul, bahkan lebih terdampak. Di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19, orang-orang bekerja keras dan mengabaikan waktu istirahatnya. Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah peristiwa meninggalnya pengemudi ojek daring karena kelelahan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2022, jumlah pekerja sektor informal mencapai 81,33 juta jiwa atau 59,97 persen dari total 135,61 juta pekerja. Angka ini meningkat 0,35 persen dibanding Februari 2021. Bahkan, BPS mencatat 9,44 juta orang di Indonesia mengalami pengurangan jam kerja akibat pandemi Covid-19 pada Februari 2022.
“Pandemi banyak membuat sebagian orang kehilangan pekerjaan sehingga mereka memasuki sektor informal yang tidak memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Jika ini terus terjadi di tahun 2023, maka bisa saja berdampak pada menurunnya derajat kesehatan,” ujarnya.
Perubahan pola yang berdampak pada ritme kerja tidak teratur ini juga menjadi catatan bagi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemnaker Haiyani Rumondang menyebut, persoalan ini tengah menjadi perhatian dari pemerintah.
Haiyani berujar, pihaknya akan mempersiapkan kebijakan untuk perlindungan para pekerja di tengah kebiasaan baru, seperti bekerja di luar kantor dan sebagainya. Semuanya akan melibatkan unsur-unsur kesehatan di tempat kerja, bahkan yang bersentuhan dengan potensi kelelahan.
“Pekerja diharapkan dapat beraktivitas dengan cara-cara kerja baru yang aman. Saat ini, pekerjaan dengan metode baru (di luar kantor) ini berpotensi kelelahan karena waktu kerja yang tidak terhitung, bahkan bekerja secara bersamaan,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Di sisi lain, perkembangan teknologi juga memengaruhi pola pekerjaan. Haiyani berujar, beban kerja menjadi lebih besar saat harus berhadapan dengan teknologi. Penerapan teknologi informasi, seperti pertemuan daring yang dianggap efisien mampu berdampak pada efek sosial hingga psikologis karena perubahan pola kerja.
“Penyederhanaan regulasi juga didukung dengan mengakomodir perkembangan-perkembangan baru sebagai dampak dari pola kerja yang berubah. Apalagi, tingkat kelelahan yang tinggi menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja akhir-akhir ini,” ujarnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Sejumlah pegawai kantor menikmati makan siang saat jam istirahat di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (20/4/2020). Aktivitas perkantoran yang berkurang di tengah pandemi Covid-19 turut berimbas pada menurunnya usaha kuliner yang berada di kawasan perkantoran. Saat ini penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta telah memasuki hari ke-11.
Persoalan terkait pola kerja di tengah pandemi Covid-19 ini menjadi pembahasan dalam pertemuan tahunan para praktisi kesehatan kerja di Indonesia tersebut. Ketua Panitia IOMU ke-15 Titis Mariyamah menyatakan, ada dua hal yang menjadi perhatian bagi para dokter okupasi yang fokus kepada kesehatan dan keselamatan kerja.
Dua hal tersebut, lanjut Titis, antara lain terkait masalah posisi kerja yang tidak ergonomis hingga jam kerja yang berdampak pada psikososial dari para pekerja. Saat bekerja di rumah, pekerja akan dihadapkan permasalahan lain selain pekerjaannya sehingga berdampak pada interaksi sosial.
“Saat beraktivitas bukan di tempat kerja, seseorang cenderung tidak memperhatikan posisi ergonomis sehingga bisa berdampak pada kesehatan. Semua itu menjadi sorotan, dan kami mengajak para pekerja untuk memperhatikan kesehatan dalam melewati masa pandemi,” ujarnya.