Empat gajah jinak mati di Sumut dalam lima bulan. Semua diyakini berkaitan dengan krisis pembiayaan di Barumun Nagari Wildlife Sanctuary di Padang Lawas, Sumatera Utara.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
BBKSDA SUMUT
Petugas memeriksa Dwiki (43), gajah sumatera jinak yang sakit, di Kamp Konservasi Gajah Aek Nauli (Aek Nauli Elephant Conservation Camp/ANECC) di Kabupaten Simalungun, Februari 2023. Gajah itu akhirnya mati karena tidak makan akibat infeksi di wajah.
Dwiki, gajah sumatera berusia 43 tahun, menjadi korban ke-4 gajah sumatera yang mati akibat krisis penanganan di Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS) di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Setelah dua bulan gajah itu dipindahkan dari BNWS ke Kamp Konservasi Gajah Aek Nauli (Aek Nauli Elephant Conservation Camp/ANECC) di Kabupaten Simalungun, gajah itu akhirnya mati. Sebelumnya, dua gajah dipindahkan ke ANECC untuk mengurangi beban operasional BNWS.
”Kondisi Dwiki semakin melemah dan tidak tertolong lagi. Dwiki dinyatakan mati pada Selasa (14/2/2023). Tim medis telah memberikan 100 botol infus, obat-obatan, dan vitamin,” kata Kepala Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara Rudianto Saragih Napitu, Jumat (17/2/2023).
Terkait kematian Dwiki, BBKSDA Sumut memberikan keterangan resmi tiga hari setelah kematian gajah itu. Rudianto menyebut, dua gajah jinak dipindahkan dari BNWS ke Aek Nauli, yakni Dwiki dan Dini, pada 18 Desember 2022. Pemindahannya didampingi dokter hewan dari Veterinary Society for Sumatran Wild Conservation (Vesswic).
”Pemindahan dua gajah ini antara lain untuk mengurangi beban lembaga konservasi BNWS,” kata Rudianto.
Petugas memeriksa Dwiki (43), gajah Sumatera jinak yang mati, di Kamp Konservasi Gajah Aek Nauli (Aek Nauli Elephant Conservation Camp/ANECC) di Kabupaten Simalungun, Februari 2023.
Menurut Rudianto, pada Januari, kesehatan keduanya tetap dipantau dua dokter hewan dari Vesswic. Dwiki sebelumnya punya luka luar di pipi kanan. Dokter menyebut luka itu mulai membaik dan gajah makan dan minum walaupun sedikit.
Namun, sebulan berikutnya, Dwiki sama sekali tidak mau makan. Dokter Vesswic kembali turun ke Aek Nauli. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengirim dokter hewan ahli gajah dari Taman Safari Indonesia. Berbagai tindakan tidak bisa menyelamatkan Dwiki.
Dwiki menjadi gajah ke-4 yang kematiannya berkaitan dengan krisis biaya operasional di BNWS. Kematian gajah mulai terjadi sejak September tahun lalu. Ketika itu, gajah Dargo (57) mati diduga akibat keracunan makanan dari rumput berpestisida. Sebulan berikutnya, anak gajah berusia 4 tahun, Fitri, juga mati akibat keracunan yang sama. Fitri merupakan anak Dwiki.
Kematian juga berlanjut pada Desember, yakni gajah bernama Keri. ”Dua gajah pertama mati diduga karena keracunan. Gajah ketiga mati karena ada infeksi bakteri. Kematian gajah itu sedang diselidiki oleh Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum KLHK Wilayah Sumatera,” kata Rudianto.
Krisis pembiayaan di BNWS
Krisis pembiayaan pakan dan operasional terjadi di BNWS sejak pandemi Covid-19 terjadi. Tempat rehabilitasi, pengembangbiakan, dan penyelamatan gajah itu berada di sebuah desa di pinggir hutan Suaka Margasatwa Barumun di Desa Batu Nanggar, Kecamatan Batang Onang, Padang Lawas. Sebelumnya, kawasan itu dibiayai dari retribusi wisatawan minat khusus lingkungan hidup, khususnya pencinta satwa dari luar negeri.
”Sejak Covid-19 melanda, hampir tidak ada pengunjung yang datang ke BNWS,” kata Henry Sukaya, pendiri dan pengelola BNWS.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Anak gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) bermain bersama induknya di Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS), Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, Selasa (14/8/2018).
Sejak BNWS dibuka pada Mei 2015, semua pakan dan urusan operasional lain dibiayai secara mandiri hampir tanpa bantuan pemerintah. Selain dari retribusi, biaya operasional ditanggung dari hasil kebun sawit dan hotel milik pendiri dan pengelola.
Henry menyebut, biaya operasional per gajah sekitar Rp 18 juta per bulan. Sebelumnya, mereka harus membiayai 15 gajah dengan biaya Rp 270 juta per bulan. Saat ini tersisa 10 gajah jinak di BNWS.
Beberapa tahun lalu, KLHK mempromosikan BNWS sebagai contoh pusat rehabilitasi gajah yang sukses. Saat Kompas berkunjung ke BNWS pada 2018, lembaga konservasi itu berhasil merehabilitasi gajah yang sebelumnya malnutrisi, buta, dan terluka dari tempat rehabilitasi sebelumnya.
Gajah-gajah itu juga berhasil melahirkan tiga anak, yakni Fitri, Sutan, dan Uli. Nama Fitri diberikan langsung oleh Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar. ”Saya namakan bayi gajah ini Fitri karena lahirnya bertepatan dengan momen Idul Fitri,” kata Siti melalui akun Twitter-nya setelah kelahiran gajah pada 2018. Namun, Fitri menjadi satu dari empat gajah yang mati.
Rehabilitasi di BNWS dipuji karena dilakukan di hamparan seluas 320 hektar yang mirip dengan habitat aslinya. Gajah tidak dikurung di kandang sempit, tetapi diangonkan di padang rumput sehingga satwa lebih sejahtera dan tidak stres.
Para pengunjung yang datang ke BNWS adalah mereka yang punya minat khusus pada satwa gajah, bukan seperti wisatawan yang datang ke kebun binatang. Pengelola menyiapkan kegiatan untuk hubungan emosional pengunjung dengan satwa dan lingkungan hidup. Para pengunjung diajak bangun pagi membersihkan kandang, mengangon gajah ke padang penggembalaan, mengelus, hingga memandikan gajah.
Pengunjung juga ikut meramu suplemen dan vitamin gajah dari kacang hijau, kacang merah, pulut hitam, pulut putih, dan jagung. Mereka juga membuat jamu dari temulawak, kunyit, dan gula merah. Setelah beraktivitas seharian, ada saja yang mengamati perilaku gajah hingga larut malam. Pengunjung umumnya adalah dokter hewan, peneliti, dan pencinta satwa dari luar negeri.
Rudianto menyebut, mereka berupaya mengurangi beban BNWS dengan memindahkan dua gajah ke Aek Nauli. Saat ini juga sedang disiapkan pemindahan dua gajah lagi ke Pusat Latihan Gajah Holiday Resort di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. ”Pemindahan ini juga untuk menyeimbangkan komposisi jantan dan betina,” kata Rudianto.
Menurut Rudianto, KLHK juga sedang mengevaluasi kelayakan BNWS sebagai lembaga konservasi. Ia mengatakan, sejak awal sudah ada fakta integritas yang harus dilakukan untuk merehabilitasi gajah-gajah itu, termasuk untuk memenuhi biaya operasional.
Sepertinya kita enggak usah wawancara dulu karena saya dan teman-teman akan diskusi dahulu terkait problem gajah itu dengan pemerintah.
Di tengah krisis pembiayaan yang dihadapi lembaga konservasi BNWS, para pegiat konservasi gajah justru diminta pemerintah untuk irit bicara kepada publik. Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Donny Gunaryadi tidak bisa memberi tanggapan terhadap krisis tersebut. ”Mohon maaf, jika berkenan, ke pihak pemerintah dulu,” kata Donny.
Direktur Vesswic Muhammad Wahyu juga menyampaikan hal serupa. ”Sepertinya kita enggak usah wawancara dulu karena saya dan teman-teman akan diskusi dahulu terkait problem gajah itu dengan pemerintah,” katanya.
Belakangan ini, pemerintah terkesan berusaha menutupi persoalan lingkungan hidup. Pada September 2022, KLHK juga mencekal lima peneliti asing karena menerbitkan artikel dan hasil penelitian yang dianggap menyudutkan pemerintah.
Di kalangan pegiat lingkungan hidup juga muncul istilah ”takut di-WWF-kan”. Istilah itu merujuk pada pemutusan kerja sama Yayasan WWF Indonesia dengan pemerintah secara sepihak oleh KLHK pada 2020. Di tengah krisis penanganan lingkungan hidup, pemerintah seharusnya lebih terbuka untuk mencari solusi pada gajah yang tersisa.