Prevalensi ”Stunting” di Sumsel Turun Signifikan, Empat Daerah Jadi Perhatian
Berdasarkan data studi status gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, prevalensi ”stunting” di Sumsel turun dari 24,8 persen menjadi 18,6 persen. Angka ini lebih rendah dari prevalensi nasional yang sebesar 21,6 persen.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Siswa SD Negeri 19 Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, sedang menikmati telur rebus, Sabtu (29/10/2022). Bahan pangan ini menjadi asupan protein hewani. Program gemar makan telur diharapkan dapat menjadi jurus jitu memangkas stunting atau tengkes.
PALEMBANG, KOMPAS — Prevalensi stunting atau tengkes Sumatera Selatan turun signifikan. Sumsel pun mematok target nasional pada tahun 2024 sebesar 14,3 persen dapat dicapai pada tahun 2023. Hanya saja masih ada empat kabupaten yang angka stunting-nya di atas angka nasional.
Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan Trisnawarman, Rabu (15/2/2023), mengatakan, berdasarkan studi status gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Sumsel turun dari 24,8 persen menjadi 18,6 persen. Angka ini lebih rendah dari prevalensi nasional sebesar 21,6 persen.
Trisnawarman menjelaskan, pencapaian ini disebabkan oleh penurunan prevalensi stunting yang terjadi di 16 kabupaten kota di Sumsel. Hanya Kabupaten Banyuasin yang mengalami kenaikan prevalensi stunting dari 22 persen menjadi 24,8 persen.
Selain itu, masih ada empat daerah yang angka prevalensi stunting-nya di atas nasional, yakni Muara Enim (22,8 persen), Musi Rawas (25,4 persen), Banyuasin (24,8 persen), dan Ogan Ilir (24,9 persen). ”Kabupaten ini yang masih menjadi perhatian agar segera mendekati target nasional,” kata Trisnawarman.
Seorang ibu hamil sedang menjalani pemeriksaan USG di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang, Kamis (19/8/2021).
Saat ini tim percepatan penurunan stunting sedang dikumpulkan untuk melaporkan seluruh kendala yang dialami di lapangan dan mencari solusinya. Ada beberapa faktor penyebab stunting, misalnya dari lingkungan, sarana dan prasarana, fasilitas kesehatan, pola asuh, pola makan. ”Intervensi spesifik akan diperkuat,” ujarnya.
Intervensi itu adalah memastikan kebersihan lingkungan terutama di kawasan kumuh dan memberikan edukasi serta asupan gizi cukup bagi calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak di masa 1.000 hari kehidupan sampai mereka balita.
Banyak orang mampu yang anaknya stunting. Itu karena mereka tidak memberikan ASI eksklusif atau makan yang baik saat hamil. Alasannya karena takut gemuk.
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sumsel Medi Heryanto mengatakan, dengan pencapaian ini, maka dengan menurunkan stunting 5 persen saja Sumsel sudah mencapai target 14,3 persen. Namun, untuk merealisasikan hal itu perlu sinergisitas dan komitmen dari seluruh pemerintah daerah.
Ada beberapa indikator yang perlu dituntaskan sesuai Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Indikator itu adalah komitmen pemda untuk menyediakan anggaran, meningkatkan kualitas layanan, sampai pada peningkatan status pangan.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Pengurus Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi) Sumsel memberikan edukasi mengenai pentingnya makan telur dan daging ayam di SD Negeri 19 Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sabtu (29/10/2022).
Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Utama BKKBN Eli Kusnaeli meyakini, upaya bersama untuk menurunkan stunting bisa direalisasikan jika semua pihak terkait mengikuti pedoman atau indikator yang sudah ditentukan. ”Penurunan angka stunting ini merupakan upaya bersama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia,” ujar Eli.
”Kami berharap dengan komitmen bersama, angka stunting pun bisa ditekan sehingga didapat SDM yang berkualitas,” ujar Eli.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Orangtua mengantarkan anak mereka yang masih balita untuk mengikuti program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Desa Kemiri, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Senin (17/9/2018).
Salah satu daerah yang mengalami penurunan signifikan adalah Kota Lubuk Linggau yang prevalensi stunting-nya turun hingga 11,1 persen dari 22,8 persen di tahun 2021 menjadi 11,7 persen di tahun 2022.
Wali Kota Lubuk Linggau Prana Putra Sohe menjelaskan, penurunan ini diawali dengan pendataan kasus tengkes dan kasus itu ditangani secara menyeluruh. ”Walau angka prevalensi Lubuk Linggau turun, masih ada 4.693 kasus masuk dalam kategori rentan,” ujar Prana.
Biasanya anak menderita stunting karena dipengaruhi kondisi lingkungan dan ekonomi. Dari hasil survei di lapangan, mereka yang terkena stunting adalah masyarakat berpenghasilan rendah dan mereka yang tinggal di kawasan kumuh.
RHAMA PURNA JATI
Siswa SD Negeri 2 Palembang sedang diperiksa sebelum menjalani vaksinasi untuk anak usia 6 tahun-11 tahun, Jumat (14/1/2022). Vaksinasi ini penting untuk mengurangi risiko tertular virus Covid-19 atau menekan angka kematian dan kesakitan akibat terjangkit.
Karena itu, edukasi dan pemberian asupan gizi cukup menjadi prioritas agar angka tengkes bisa ditekan. ”Target saya pada 2023, Lubuk Linggau bisa zero stunting,” ujarnya.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru meyakini bahwa stunting tidak hanya berkaitan dengan masyarakat miskin dan kawasan kumuh, tetapi juga berkaitan dengan gaya hidup. ”Banyak orang mampu yang anaknya stunting. Itu karena mereka tidak memberikan ASI eksklusif atau makan yang baik saat hamil. Alasannya karena takut gemuk,” ujar Herman.
Karena itu, perlu ada langkah konkret untuk mengajak semua pihak terlibat dalam program ini. Salah satunya dengan mengaktifkan kembali peran posyandu hingga menggelar timbang badan secara serentak untuk bayi dan anak balita. ”Saya berharap pada 2024, angka stunting di Sumsel bisa mencapai 1 digit saja.” ujarnya.