Darurat Konflik Gajah dan Harimau dengan Manusia di Aceh
Selama Januari-Februari 2023, ada 13 petani dan warga diserang harimau dan gajah liar. Dua warga tewas dan lainnya luka-luka. Selain kehilangan nyawa, sudah tidak terhitung kerugian materi yang dialami warga.

Seorang petani, Muhajir (47), warga Desa Seuleukat, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, mengalami luka pada kaki kanan karena diterkam harimau liar, Sabtu (21/5/2022). Konflik antara satwa dan manusia membuat warga tidak tenang berkebun dan kehidupan satwa terancam
Konflik satwa lindung gajah sumatera dan harimau sumatera dengan manusia di Provinsi Aceh semakin masif. Satuan tugas mitigasi konflik sudah dibentuk, tetapi upaya pencegahan konflik masih jauh panggang dari api. Korban terus berjatuhan.
Selama dua bulan sepanjang Januari-Februari 2023 saja, ada 13 petani dan warga diserang oleh harimau dan gajah liar. Dua warga tewas dan lainnya luka-luka. Selain kehilangan nyawa, sudah tidak terhitung kerugian materi yang dialami warga yang bertani di sekitar hutan.
Konflik manusia dengan harimau terjadi pada akhir Januari. Empat orang anggota patroli Forum Konservasi Leuser (FKL) diserang harimau liar di Hutan Sampali, Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan. Dua hari kemudian, dua petani di Kluet Tengah juga diserang harimau. Mereka selamat dari lubang maut, tetapi harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Harimau yang menyerang warga di Kluet Tengah mengalami luka pada bagian muka, leher, dan kaki. Harimau itu diduga terkena sabetan senjata tajam petani saat mereka berusaha menyelamatkan diri. Harimau itu telah ditangkap oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh untuk diobati dan direncanakan akan direlokasi.
Baca juga: Cepat Hentikan Konflik antara Satwa dan Manusia
Konflik gajah sumatera juga tidak kalah memprihatinkan. Pada Minggu (5/2/2023) seorang petani di Kabupaten Bener Meriah tewas diserang gajah liar saat menuju kebun. Beberapa orang terluka. Pascaperistiwa itu, warga tidak berani ke kebun. Aktivitas ekonomi mereka terhambat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F12%2F02%2F20211203AIN_Mengusir-Gajah-Liar_1638441577_jpg.jpg)
Tim mitigasi konflik menembakkan mercon ke udara untuk mengusir gajah liar dari perkampungan di Desa Blang Rakal, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Kamis (2/12/2021).
Teakhir, seorang petani di Kabupaten Pidie tewas dengan kondisi mengenaskan setelah diamuk gajah saat berada di gubuk kebunnya. Selama berhari-hari, kawasan gajah hilir-mudik di perkebunan warga di kawasan itu.
Berdasarkan catatan Kompas, sejak 2011 hingga 2023 sebanyak delapan petani tewas diamuk gajah liar. Para korban meninggal saat berada di kebun atau saat menghalau gajah. Kasus tersebar di Pidie, Bener Meriah, dan Aceh Tengah.
Imum Mukim/Ketua Adat Mukim Paloh Kabupaten Pidie Muhammad Nasir menuturkan, warga sekitar hutan yang berprofesi sebagai petani selalu berada dalam posisi yang sulit. Mereka menjadi korban, dari tanaman hingga nyawa, tetapi pemerintah memaksa mereka untuk terus melindungi satwa. Sementara kerugian yang diderita petani tidak mendapatkan ganti rugi.
Baca juga: Pembalakan Liar Picu Konflik Gajah Liar di Aceh Tengah
Pemerintah kerap membangun narasi bahwa aktivitas pertanian warga di kawasan hutan membuat koridor satwa lindung terganggu. ”Sementara perusak hutan lindung, seperti pembalakan liar dan tambang ilegal, dibiarkan, apa karena ada bekingan oknum?” ujar Nasir.
Apa yang dikatakan Nasir berdasarkan fakta di lapangan. Salah satu lokasi tambang emas ilegal berada di Kecamatan Geumpang, Pidie. Menurut Nasir, saat tambang emas ilegal mulai beroperasi sekitar 2007, konflik warga dengan gajah perlahan terjadi.
Kawanan gajah liar masuk ke kebun memorak-porandakan tanaman. Petani hanya bisa mengurut dada mendapati kebun mereka luluh lantak. Harapan panen sirna.

Di Pidie, kawasan rawan konflik warga dengan gajah berada di Kecamatan Keumala, Tangse, Geumpang, Mane, dan Mila. Perkebunan warga di daerah itu berbatasan dengan hutan lindung yang menjadi habitat gajah sumatera.
Belakangan, gajah menjelajah hingga ke permukiman bahkan melintasi jalan raya. ”Kalau dibilang ini jalur gajah, apakah kami harus memindahkan rumah?” ujar Nasir.
Menurut Nasir, warga Pidie dapat hidup berdampingan dengan satwa lindung itu. Meski konflik sangat masif, petani tidak membunuh atau menyakiti gajah. Akan tetapi, jika konflik terus terjadi, petani kian terpuruk.
”Kalau pemerintah tidak sanggup menangani konflik, tangkap saja gajah liar di Pidie, tempatkan ke kawasan khusus,” ucap Nasir.
Berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, sejak 2016-2021 terjadi 542 kali konflik gajah. Konflik tersebar di 16 kabupaten/kota di Aceh. Lima daerah dengan konflik tertinggi adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara.
Konflik juga menjadi pemicu terbesar kematian gajah. Sejak 2015-2021, jumlah gajah yang mati 63 ekor. BKSDA Aceh mengelompokkan penyebab kematian, 27 ekor karena konflik, 16 ekor kematian alami/sakit, dan 10 ekor karena perburuan. Adapun jumlah populasi gajah di Aceh saat ini tinggal 539 ekor.
Baca juga: Konflik Gajah Masif, Warga Aceh Tengah Demo ke Gedung Dewan
Konflik harimau
Sementara Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK), lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada pemantauan kasus satwa, mencatat, sejak 2019 hingga 2022, ada 19 harimau sumatera mati, sebagian besar karena perburuan. Adapun konflik harimau dengan warga jamak terjadi di wilayah barat Aceh, seperti di Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Subulussalam.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan harimau dalam kelompok satwa yang kritis atau selangkah lagi menuju kepunahan. Populasinya diperkirakan 500-600 ekor yang tersebar di hutan-hutan Pulau Sumatera, 150-200 ekor di antaranya diperkirakan berada di Aceh.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F12%2F01%2FWhatsApp-Image-2021-11-30-at-19.07.43_1638354208_jpeg.jpg)
Salah satu rumah warga di pekebunan di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah, Aceh, rusak diamuk gajah liar, akhir November 2021. Konflik gajah di kawasan itu belum mereda, meski telah dibangun parit dan pagar listrik.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Afifuddin Acal menuturkan, penanganan konflik satwa di Aceh masih bersifat reaktif atau seperti pemadam kebakaran. ”Saat ada konflik, baru bergerak, sementara persoalan utama pemicu konflik tidak diselesaikan,” ujar Afifuddin.
Selama ini, saat gajah liar masuk ke area perkebunan atau permukiman, dihalau menggunakan petasan. Pindah dari desa sebelah, kawanan gajah itu bergerak ke desa yang lain. Di sana, mereka kembali diusir menggunakan petasan. Siklus ini terus berulang-ulang.
Afifuddin mengatakan, jalur migrasi atau ruang jelajah satwa lindung di Aceh telah tersekat-sekat oleh izin konsesi, perambahan, perkebunan warga, tambang emas, dan pembangunan infrastruktur.
Baca juga: Deforestasi dan Perubahan Iklim, Ancaman Nyata bagi Pembangunan Aceh
Menurut Afifuddin pemanfaatan ruang yang keliru telah membuat satwa lindung terusik. Koridor terputus dan ketersediaan pakan di habitatnya menyusut. Dampaknya, satwa lindung itu memasuki wilayah permukiman untuk mencari makan.
Afifuddin menuturkan, untuk menekan konflik habitat dan koridor jelajah, harus dipulihkan. Jika jalur jelajah masuk dalam konsesi perusahaan, pengelolaannya harus mengakomodasi keberadaan satwa lindung.
Pemerintah dan lembaga swadaya konservasi telah menghabiskan anggaran cukup besar untuk program mitigasi konflik satwa. Pengadaan petasan, pembuatanpagar kejut (power fencing), dan penggalian parit (barrier) telah dilakukan, tetapi konflik tidak juga surut.
”Perlu dievaluasi pola mitigasi yang telah dilakukan karena terlihat tidak efektif,” kata Afifuddin.

Afifuddin menambahkan, deforestasi atau kehilangan tutupan hutan juga memicu konflik satwa lindung. Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) Provinsi Aceh, sejak 2017-2021, kehilangan tutupan hutan seluas 71.552 hektar atau lebih luas dari DKI Jakarta, yaitu 66.150 hektar.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 103/MenLHK/2015, luas total kawasan hutan Aceh 3.557.928 hektar. Kawasan hutan Aceh terbagi dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, taman nasional, hutan produksi terbatas, hutan konservasi, dan area penggunaan lain.
Tahun 1985 luas tutupan hutan Aceh 4,1 juta hektar atau 72 persen dari luas wilayah, tetapi pada 2022 tinggal 2,9 juta hektar. Jika dalam 37 tahun Aceh kehilangan 1,2 juta hektar, tanpa upaya yang memadahi, 75 tahun lagi Aceh bakal kehilangan semua tutupan hutan. Secara alami kehilangan tutupan akan memicu kepunahan satwa lindung.
Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto mengatakan, saat ini 85 persen populasi gajah atau harimau berada di luar wilayah konservasi, bahkan sebagian di luar kawasan hutan, sehingga potensi konflik sangat tinggi.
Baca juga: Kasus Perburuan dan Perdagangan Satwa Lindung di Aceh Meningkat
”Interaksi negatif terjadi hampir setiap hari. Sebagian masyarakat menganggap gajah sebagai hama dan perburuan gading gajah semakin marak,” ujar Agus.
BKSDA Aceh bukan tidak melakukan apa-apa. Mereka telah memasang kalung deteksi atau GPS Collar pada beberapa gajah yang berada di Aceh Utara, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Timur. Tujuannya untuk memantau pergerakan agar konflik dapat dicegah.

Satu ekor harimau sumatera berada dalam kandang jebak di Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, Sabtu (4/1/2023). Harimau tersebut sebelumnya menyerang dua warga di dalam kawasan hutan.
Meski demikian, karena keterbatasan personel dan logistik, membuat kecepatan tim kalah dengan kecepatan pergerakan satwa lindung.
Sebagai bentuk respons cepat, BKSDA Aceh memaksimalkan peran conservation respon unit (CRU) yang tersebar di tujuh kabupaten. Beberapa gajah jinak di tempatkan di sana untuk menghalau gajah liar. Namun, pembiayaan mengelola CRU tidak kecil. Beberapa gajah jinak mati di CRU baik karena sakit maupun dibunuh oleh pemburu.
Oleh karena itu, kata Agus, perlu keterlibatan banyak pihak untuk menekan konflik satwa lindung di Aceh. Pemerintah telah membentuk satuan tugas mitigasi konflik satwa. Tim ini telah menyusun rencana aksi Strategi Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar (SRAP SL).
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud menuturkan, SRAP SL akan menjadi pedoman bersama dalam menangani konflik satwa di Aceh.
Di dalam SRAP SL Aceh itu terdapat sembilan poin penting yang dijadikan rencana aksi, meliputi persoalan habitat dan populasi, perlindungan dan pemulihan habitat, pengendalian konflik satwa-manusia, mitigasi, penegakan hukum, serta penguatan kelembagaan, riset, dan inovasi. Selanjutnya, peran serta warga, penggalangan dukungan para pihak, dan pendanaan berkelanjutan.
Sembilan poin penting itu diturunkan dalam banyak kegiatan, seperti melakukan survei populasi, memulihkan habitat, membangun sistem basis data, patroli rutin, dan menindaklanjuti penegakan hukum.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F22%2F31471cec-8942-40ff-91df-4291f5c988dd_jpeg.jpeg)
Kawasan konservasi gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, yang dirambah untuk ditanami kelapa sawit, seperti terlihat pada Minggu (24/10/2021).
”SRAP ST Aceh lebih fokus pada pengelolaan habitatnya, tidak pada satu per satu satwa. Sebab, di Aceh, satu kawasan bisa hidup berbagai satwa lindung,” kata Daud.
Pemprov Aceh juga telah melakukan identifikasi kawasan ekosistem esensial (KEE) seluas 895,397 hektar. Sembilan calon koridor yang diusung adalah di Aceh Jaya, Bengkung-Trumon, Cot Girek, Lokop-Serbajadi, Peusangan, Pidie-Pidie Jaya, Woyla-Beutong, Rawa Tripa-Babah Rot, dan Seulawah-Jantho. Areal KEE akan dikelola mengedepankan kepentingan satwa dan manusia.
Konsep telah disusun, kini menanti eksekusinya.
Baca juga: Perkuat Desa untuk Atasi Konflik Satwa Lindung di Aceh