Mantan Kades Kinipan Tuntut Aparat Minta Maaf dan Beri Ganti Rugi Rp 10.000
Willem Hengki, mantan Kepala Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalteng, menuntut aparat yang memidanakannya untuk meminta maaf dan memberi ganti rugi Rp 10.000. Tuntutan itu diajukan melalui mekanisme praperadilan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Willem Hengki, mantan Kepala Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, menuntut aparat penegak hukum yang memidanakannya untuk meminta maaf dan memberi ganti rugi sebesar Rp 10.000. Tuntutan melalui mekanisme praperadilan itu diajukan setelah Willem divonis bebas terkait dugaan korupsi yang dituduhkan padanya.
Pada Senin (6/2/2023), tim kuasa hukum Willem Hengki mendatangi Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya, Kalteng, untuk mendaftarkan praperadilan. Tim itu terdiri dari Parlin Bayu Hutabarat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Genta Keadilan dan Aryo Nugroho dari LBH Kota Palangkaraya.
Keduanya tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinipan, sebuah gerakan yang dibentuk karena terjadinya tindak kriminalisasi di Desa Kinipan setelah masyarakat desa itu berjuang mempertahankan hutan adatnya. Tuduhan korupsi pada Willem Hengki juga disebut sebagai salah satu bentuk kriminalisasi itu.
Sebelumnya, Willem Hengki ditangkap dan dipenjara oleh aparat Kepolisian Resor (Polres Lamandau) karena diduga melakukan tindak pidana korupsi saat menjabat sebagai kepala desa (kades). Ia juga jadi tahanan Kejaksaan Negeri (Kejari) Lamandau setelah berkasnya dilimpahkan.
Namun, Willem kemudian dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Palangkaraya. Kejaksaan kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan itu, tetapi MA kemudian menolak permohonan tersebut.
Parlin menjelaskan, permohonan praperadilan tersebut ditujukan ke penyidik Polres Lamandau dan penuntut umum dari Kejari Lamandau. Dalam permohonan praperadilan tersebut, tercantum tuntutan ganti rugi sebesar Rp 10.000 sebagai biaya persidangan dan permohonan maaf.
”Tujuannya bukan soal materiil Rp 10.000, tapi pertanggungjawaban atas pelaksanaan penegakan hukum yang kami nilai salah dan amburadul. Ini harapannya jadi pembelajaran bagi penegak hukum agar ke depan tidak sembarangan, apalagi terkesan menjalankan pesanan penguasa, dalam menindak,” kata Parlin.
Menurut Parlin, praperadilan memiliki banyak obyek tuntutan. Kali ini, pihaknya memohon praperadilan akibat Willem Hengki dituntut dan diadili meski jelas ia tidak bersalah. Apalagi, dalam putusan pengadilan saat itu, terdapat klausul memulihkan harkat dan martabat terdakwa yang diputus bebas.
”Putusan pengadilan tipikor itu menyatakan terdakwa tidak merugikan negara, lalu ada kesalahan dalam penghitungan kerugian negara melalui inspektorat. Kesalahan penghitungan itu yang membuat para penyidik menindak,” ungkap Parlin.
Parlin menambahkan, permohonan praperadilan itu diajukan atas keinginan Willem Hengki. Proses itu diharapkan bisa menjadi pembelajaran bagi aparat penegak hukum dalam memperlakukan masyarakat. ”Jangan karena orang kecil dan orang kampung lalu hukum bisa seenaknya,” ujarnya.
Saat dihubungi melalui pesan singkat dari Kota Palangkaraya, Willem Hengki, mengungkapkan, dirinya merasa malu karena sempat dipenjara karena dituduh korupsi. Padahal, dia menyebutkan, selama menjadi kades, dirinya tidak pernah mengambil keuntungan dari jabatannya untuk kepentingan pribadi.
”Ini bukan soal perkara lagi, tetapi harga diri. Persoalan ini muncul karena kami berjuang untuk menjaga hutan adat kami yang mau diambil penguasa,” ungkap Willem.
Jangan karena orang kecil dan orang kampung lalu hukum bisa seenaknya.
Saat ini, Willem Hengki beserta masyarakat adat Laman Kinipan sedang berjuang untuk mempertahankan hutan adat mereka yang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh sebuah perusahaan. Izin perusahaan perkebunan itu diberikan oleh pemerintah daerah, sedang proses pengajuan hutan adat untuk diakui dan dilindungi sampai saat ini mendapat banyak tantangan.
Kompas sudah beberapa kali melihat langsung lokasi pembukaan hutan adat di Kinipan. Pada tahun 2016, hutan itu dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dengan luas lebih dari 16.000 hektar. Sementara itu, berdasar data Koalisi Keadilan untuk Kinipan, lebih kurang 3.000 hektar hutan tersebut sudah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit (Kompas, Kamis 27/8/2020).
Aryo Nugroho dari LBH Kota Palangkaraya menambahkan, selama proses hukum terhadap Willem Hengki diduga ada hal lain di luar masalah hukum yang turut memengaruhi.
”Praperadilan ini juga bentuk pengingat untuk aparat penegak hukum, agar jangan main tangkap, tetapi dilihat dulu persoalan sebenarnya seperti apa,” kata Aryo.
Aryo menambahkan, sampai saat ini, posisi Willem Hengki belum diaktifkan kembali menjadi kades meski dia masih memiliki waktu satu tahun jabatan. Jabatan itu diisi oleh petugas yang ditunjuk pemerintah daerah Lamandau.