Jembatan Putus, Akses Utama Tiga Kecamatan di Kabupaten Kupang Lumpuh
Hujan tiga hari berturut-turut, tiga kecamatan di Kabupaten Kupang terisolasi. Jembatan Kapsali yang menghubungkan ketiga wilayah itu dengan Kota Kupang putus.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
DOKUMENTASI DINAS PU KABUPATEN KUPANG
Kondisi Jembatan Kapsali yang putus akibat banjir akhir pekan lalu, di Kabupaten Kupang, NTT. Hingga Senin (6/2/2023), jembatan belum diperbaiki sehingga akses ke tiga kecamatan di Amfoang putus.
OELAMASI, KOMPAS — Jembatan Kapsali sepanjang 20 meter, yang menghubungkan tiga kecamatan di wilayah Amfoang, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, putus akibat diterjang banjir. Hingga Senin (6/2/2023), ribuan warga di tiga kecamatan itu terputus dari akses utama penghubung antarwilayah, termasuk dengan Kota Kupang, ibu kota provinsi.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kupang Teldi Sanam, di Oelamasi, Kabupaten Kupang, Senin, mengatakan, Jembatan Kapsali terletak di Desa Manubelon, Kecamatan Amfoang Barat Laut. Jembatan menghubungkan jalur utama dari arah Kota Kupang menuju tiga kecamatan di wilayah Amfoang, yakni Amfoang Barat Laut, Amfoang Utara, dan Amfoang Timur.
Akibatnya, ribuan warga di ketiga kecamatan itu aksesnya terputus, baik antarwilayah maupun penghubung dengan Kota Kupang. Demikian sebaliknya, warga dari arah Kota Kupang dan Oelamasi tak bisa menuju ke tiga kecamatan itu. ”Jalur alternatif yang dibangun pun putus dibawa banjir,” ujar Sanam.
Dia menambahkan, kondisi jalur banjir yang selalu berpindah tempat menyebabkan petugas lapangan sangat sulit mencari jalur alternatif. ”Membangun jembatan itu butuh biaya yang tidak sedikit dan butuh waktu beberapa bulan,” katanya.
Warga Amfoang Utara dan Amfoang Timur bisa menuju Kota Kupang melalui jalur Oepowli, perbatasan RI-Timor Leste, kemudian masuk Kabupaten Timor Tengah Utara lalu mengikuti jalur Trans-Timor hingga sampai Kota Kupang. Namun, jalur itu harus ditempuh sekitar 300 kilometer. Sementara, jika melewati Jembatan Kapsali, jarak terjauh ke Kota Kupang hanya 180 km.
Adapun warga Amfoang Barat Laut bisa menggunakan jalur laut menuju Kota Kupang. Namun, jalur laut pun saat ini belum bisa dilalui karena gelombang tinggi sehingga feri rute Tanau-Naikliu, Amfoang Barat Laut, belum berlayar.
Camat Amfoang Barat Daya Jesua To mengatakan, putusnya jembatan itu juga turut mengganggu aktivitas belajar-mengajar para guru dan siswa SMP dan SMA di Manubelon. Sudah tiga hari kegiatan belajar-mengajar tidak berjalan karena putusnya jembatan itu.
Ia mengatakan, semua aktivitas masyarakat terhenti, kecuali mereka yang tetap berada di Manubelon atau di lokasi semula sebelum jembatan itu putus. ”Tidak hanya aktivitas pendidikan, akses warga ke Puskesmas Manubelon pun terganggu,” katanya.
DOKUMENTASI BERNAD UMBU
PNS yang ditugaskan di Amfoang sedang bersiap menyeberangi Sungai Noelfana, sekitar 100 km dari Kupang, NTT, pada Maret 2020.
Jesua mengatakan, tidak ada cara lain selain menunggu hujan reda dan debit banjir turun sehingga warga bisa menyeberangi sungai. Itu pun harus dilakukan dengan kewaspadaan tinggi karena dikhawatirkan terjadi hujan di hulu sungai sehingga berpotensi terjadi luapan banjir sampai ke hilir.
Raja Amfoang Robi Mano mengatakan, keterisolasian warga di wilayah Amfoang setiap musim hujan sudah menjadi cerita lama yang terus berulang. ”Orang bicara mengenai Indonesia emas 2024, tetapi sampai tahun itu pun warga Amfoang tetap hidup dalam keterisolasian,” ujarnya.
Pemerintah telah membangun jalan aspal dari Oelamasi menuju Oepowli, titik terjauh perbatasan RI-Oecussi, Timor Leste. Sepanjang wilayah itu merupakan dataran rendah. Jalur itu memiliki lebih dari 300 sungai dan anak sungai. Sedikitnya ada lima sungai dengan lebar sampai 100 meter, antara lain, Toko, Nalinen, dan Fael.
Kalau putusnya jembatan itu berlangsung lama, sejumlah kios warga yang menyediakan beberapa bahan kebutuhan pokok bisa habis.
Ia mengatakan, selama musim hujan, warga Amfoang biasanya membawa hasil pertanian dan peternakan menuju Pasar Oeso dan sejumlah pasar tradisional di Kota Kupang. Biasanya mereka membawa pisang, jagung, umbi-umbian, sayur, dan ternak ayam. Untuk babi, sementara waktu tidak dijual antardesa atau kecamatan karena ancaman virus demam babi afrika.
”Kalau putusnya jembatan itu berlangsung lama, sejumlah kios warga yang menyediakan beberapa bahan kebutuhan pokok bisa habis. Itu, kan, kios kecil. Setelah habis, mereka datang belanja lagi di Kupang,” kata Mano.
Ia berharap Pemkab Kupang mencari jalan alternatif yang bisa dilalui kendaraan. ”Jangan diam dan menunggu hujan berhenti. Kalau tidak lewat Amfoang, bisa lewat Kefamenanu atau lewat laut,” katanya.
Sementara itu, dua titik di ruas jalan yang menghubungkan Desa Obeng, Desa Oenif, Desa Usapi, sampai Desa Bone di Kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang, juga nyaris putus. Jika hujan terus terjadi, jalur itu pun bakal tidak bisa dilewati kedaraan sama sekali.
Anus Fahik (32), warga Desa Obeng, mengatakan, rusaknya ruas jalan sepanjang hampir 30 km itu sudah sejak 2016, tetapi belum ada perhatian sampai hari ini. Dalam setiap pertemuan dengan perwakilan pemkab dan anggota DPRD Kabupaten Kupang, perihal ini selalu dikeluhkan warga, tetapi belum ditanggapi.
Jalan tersebut menghubungkan empat kecamatan di Kabupaten Kupang sampai Kota Kupang. Biasanya warga dari wilayah tersebut membawa hasil pertanian dan peternakan untuk dijual di Kota Kupang.
Di Kabupaten Nagekeo, Jembatan Aeramo yang menghubungkan Aeramo, ibu kota kecamatan Aesesa, dengan Pelabuhan Maropokot, Kabupaten Nagekeo, ambruk. Akses dari dan ke Pelabuhan Maropokot pun putus total. Ambruknya jembatan ini disebabkan hujan deras selama tiga hari berturut-turut di wilayah itu yang menyebabkan peningkatan debit sungai.