Kejahatan terhadap Anak di Surabaya Meningkat, Pemerintah Diminta Serius
Surabaya menghadapi persoalan peningkatan kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak serta pengajuan dispensasi perkawinan yang masih tinggi. Pemerintah dituntut serius mengatasi masalah-masalah itu.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Salah satu aktivis membawa pesan kampanye tentang isu pernikahan dini di Jalan Slamet Riyadi, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (24/7/2022). Isu ini menjadi bagian penting karena banyaknya peristiwa pernikahan paksa yang harus dijalani anak-anak di bawah umur.
SURABAYA, KOMPAS — Forum Anak Surabaya meminta pemerintah dan sejumlah pihak terkait untuk serius memerangi kejahatan terhadap anak-anak. Apalagi, jumlah kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak di Surabaya meningkat dalam dua tahun terakhir. Selain itu, pengajuan dispensasi perkawinan masih tinggi meski dalam tiga tahun terakhir ada penurunan.
Demikian diutarakan Ketua Forum Anak Surabaya (FAS) Neerzara Syarifah Alfarizi (16) dalam jumpa pers Stop Kekerasan dan Pernikahan Dini Anak di Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (26/1/2023) petang. ”Kami perlu mengutarakan situasi anak-anak dengan harapan seluruh pemangku kepentingan memberikan perhatian besar,” ujar siswi SMK Negeri 10 Surabaya itu.
Mengutip data pemerintah, menurut Neerzara, sepanjang tahun 2021, tercatat 100 kasus kekerasan terhadap anak di Surabaya. Jumlah itu naik menjadi 123 kasus pada 2022. Kejahatan seksual terhadap anak juga meningkat, yakni dari 72 kasus pada 2021 menjadi 81 kasus pada 2022. ”Mohon atensi dari ayah bunda semua,” ujarnya.
Pengajuan dispensasi perkawinan tercatat 406 kasus pada 2020, turun menjadi 375 kasus pada 2021, dan turun lagi menjadi 264 kasus pada 2022. Pada bulan ini, sudah tercatat 19 pengajuan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Surabaya. FAS berharap jumlah permohonan dispensasi perkawinan tidak bertambah.
”Kami melihat kesulitan besar yang dihadapi oleh anak-anak yang hamil di luar nikah,” kata anggota FAS Djasmine Agatha dari SMA Negeri 22 Surabaya.
Menurut Djasmine, anak-anak yang hamil di luar nikah dan terpaksa kawin melalui dispensasi kebanyakan tidak bisa melanjutkan pendidikan. Korban juga mesti menanggung malu dan sanksi sosial.
Selain itu, anak-anak perempuan yang hamil belum siap lahir batin untuk berkeluarga dan memelihara anak. ”Timbul persoalan kesehatan bagi dirinya dan anak yang dilahirkannya kelak, misalnya kurang gizi, tengkes, dan kelainan,” ujar Djasmine.
Anggota FAS Tanaya Aprilia Giofian dari SMP Negeri 22 Surabaya menambahkan, mereka prihatin dan sedih dengan kekerasan dan kejahatan terhadap anak serta dispensasi perkawinan yang masih tinggi.
Oleh karena itu, FAS berharap negara menjamin pemenuhan hak-hak anak dalam kasih sayang, pendidikan, kesehatan sehingga bertumbuh dan berkembang secara aman, tenteram, dan bahagia.
KRISTI DWI UTAMI
Anak-anak, polisi wanita Polres Tegal Kota, serta aktivis anti-kekerasan terhadap perempuan dan anak membawa poster berisi pesan-pesan perlawanan terhadap kekerasan kepada anak, Kamis (23/7/2020), di Kota Tegal, Jawa Tengah. Salah satu yang ingin disosialisasikan dalam kampanye tersebut adalah terkait penolakan terhadap pernikahan dini.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Surabaya Tomi Ardiyanto mengatakan, masalah anak perlu mendapat perhatian besar karena 30 persen dari 3 juta jiwa warga ibu kota Jatim itu ialah individu berusia 0-18 tahun atau tergolong anak-anak. Populasi anak Surabaya lebih dari 801.000 jiwa.
”Masalah anak membutuhkan perhatian besar karena menyangkut masa depan kota ini. Mereka generasi penerus,” kata Tomi.
Timbul persoalan kesehatan bagi dirinya dan anak yang dilahirkannya kelak, misalnya kurang gizi, tengkes, dan kelainan. (Djasmine Agatha)
Tomi memaparkan, beragam persoalan anak tidak bisa diselesaikan dengan sekadar penanganan sementara. Perlu aksi komprehensif untuk pencegahan dengan sejumlah target, misalnya menurunkan kejahatan terhadap anak dan dispensasi perkawinan.
Tomi menambahkan, peran keluarga menjadi yang paling penting untuk memastikan keberlangsungan hidup anak-anak dengan baik. Masyarakat, terutama keluarga, tidak boleh abai dengan pergaulan atau konten informasi mengandung kekerasan, hoaks, kebencian, dan kejahatan seksual yang amat mungkin bisa dengan mudah diakses oleh anak-anak.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Mural berisi pesan untuk menghindari perkawinan usia dini dan lebih mengejar prestasi dan berkarya di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Utara, Kamis (20/2/2020). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 1/1974 tentang Perkawinan bahwa batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun. Menurut data BPS tahun 2018, prevalensi atau jumlah keseluruhan nasional untuk pernikahan usia anak adalah 11,2 persen dengan 1,2 juta kasus pernikahan yang tercatat.
”Suara anak-anak patut didengar, terutama terkait kebutuhannya. Misalnya, kami mengharapkan rekan-rekan aparatur melibatkan anak-anak dalam rapat musyawarah perencanaan pembangunan,” kata Tomi.
Tomi menambahkan, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah menyiapkan tiga shelter untuk memastikan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak. Shelter itu untuk perempuan korban kejahatan atau kekerasan dalam rumah tangga, anak perempuan yang menjadi korban, dan anak-anak yang bermasalah dengan hukum.
Saat ini, Tomi menuturkan, Pemkot Surabaya masih mengintegrasikan nomor 112 untuk kedaruratan bagi perempuan atau anak-anak yang menjadi korban suatu masalah. ”Kami ada hotline di nomor 0811 3345 303 untuk pengaduan hingga konsultasi masalah sosial anak-anak,” ujarnya.