Cerita Pilu di Balik Angka-angka Perceraian
Tingginya angka perceraian adalah persoalan serius bagi daerah. Perceraian berdampak pada penurunan kualitas hidup keluarga. Pendidikan dan pemenuhan gizi pada anak juga ikut terganggu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F15%2Fbd6a2f25-f6ad-4415-8a1b-906e52fc7c55_jpg.jpg)
CU (39) dan SU (42), dua perempuan asal Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga berujung pada perceraian saat diwawancara Kompas, Minggu (25/12/2022). Mereka dua dari ribuan perempuan yang alami perceraian di Aceh.
Cerita CU (39) dan SU (42), dua perempuan asal Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga berujung perceraian adalah satu keping fakta bahwa perlindungan terhadap perempuan sangat lemah. Mereka menyerahkan hidup kepada lelaki pilihan yang ternyata adalah pelaku kekerasan.
Saat diajak menikah oleh seorang laki-laki terpaut 10 tahun usia di atasnya, CU menerima dengan bahagia. Meski usia CU kala itu baru 18 tahun, dia yakin lelaki dewasa bisa menuntun hidupnya.
CU bertemu dengan suaminya di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Keduanya warga Aceh, namun tinggal di Medan untuk menghindari konflik bersenjata di Aceh. Perkenalan yang singkat, tetapi mereka telah sepakat menikah.
Saat CU menyerahkan diri menjadi istri, dia tidak tahu apa pekerjaan suaminya. Belakangan dia baru tahu, suaminya pemodal tambang emas ilegal di Geumpang, Kabupaten Pidie.
Dua tahun hidup bersama terasa bahagia, apalagi mereka dikaruniai momongan. Tahun 2005, saat Aceh sudah damai, mereka sepakat pulang ke Aceh. Mereka membeli rumah di Kota Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh.
Baca juga: Perkawinan Anak di Aceh Masih Marak
Kepulangan CU ke Aceh menjadi awal cerita pahit. Suatu saat CU kedatangan tamu seorang perempuan dan anak kecil mencari suaminya. Ternyata suami CU juga suami dari perempuan itu.

Anak-anak bermain di Taman Putroe Phang, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Sabtu (30/7/2022).
”Saya ditipu, ternyata dia sudah punya istri. Saya kecewa, tetapi tidak bisa melawan karena saya butuh nafkah hidup,” kata CU kepada Kompaspada Minggu, 25 Desember 2022.
Saat berbincang di sebuah taman tak jauh dari kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dengan mata basah CU merunut lagi kisah hidupnya yang penuh duka.
CU tak punya penghasilan, kebutuhan hidup sepenuhnya ditanggung suami. Ketidakmampuan secara ekonomi membuat dia pasrah menjadi istri kedua. Tahun terus berjalan, CU melahirkan lagi dua anak, tetapi suaminya kian jarang pulang ke rumah. CU harus bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
”Kami sering tidak punya beras, kadang saya berutang ke orang-orang,” ujar CU.
Baca juga: Penanganan Perkawinan Anak di Aceh Belum Menjadi Prioritas
Suatu hari CU mendapat kabar suaminya sedang berada di desa lain masih di Kota Banda Aceh. CU bergegas ke sana untuk menemui suaminya. Saat mengetuk pintu rumah, dia disambut seorang perempuan muda.
”Perempuan itu istrinya. Saya benar-benar hancur, ternyata dia tidak pulang ke rumah karena telah menikah lagi,” ucap CU.
Beberapa detik mulutnya terkatup. Dia mengusap matanya menggunakan ujung jilbab.
Pertengkaran terjadi, CU pulang dengan hati yang berkeping. Dia mendapati anak-anaknya dalam keadaan lapar. Dalam keadaan hancur, CU tetap ingin mempertahankan bahtera rumah tangga agar tak karam.

Pada malam yang lain, CU menemukan mobil suami parkir di sebuah rumah. Saat dia menyambangi rumah itu, suaminya sedang bersama seorang perempuan yang berbeda lagi. CU memberanikan diri menyeret suami pulang ke rumah. Saat dalam perjalanan pulang, CU dipaksa turun, lalu suaminya meneriaki dirinya dengan kata-kata pelacur.
”Saya gugup, tertekan, hampir pingsan,” kata CU.
CU diceraikan. CU nyaris putus asa ingin mengakhiri hidup bersama ketiga anaknya. Namun, ajaran agamanya, Islam, telah mencegahnya karena bunuh diri adalah dosa besar.
CU mengalami gangguan psikologis yang berat. Emosinya tidak stabil. Rasa sayang kepada anak berkurang. Terkadang dia melihat anak sebagai beban. Beberapa kali dia memukuli anak dengan gagang sapu dan membenturkan kepala ke tembok.
Tebesit dalam hati untuk melaporkan suaminya kepada polisi atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga, tetapi dia masih ingin suaminya berubah. Beberapa bulan kemudian melalui pendekatan kekeluargaan mereka rujuk kembali.
Baca juga: Perempuan-perempuan Perkasa
Alih-alih berubah, justru perilaku suaminya kian parah. Suatu malam suaminya pulang meminta sertifikat rumah. CU bersikeras tidak mau menyerahkan. CU berpikir rumah itu menjadi tempat bagi ketiga anaknya untuk berteduh dari kerasnya hidup.

Suaminya emosi. Perabotan, pakaian, dan sepatu sekolah anaknya dikumpulkan di halaman lalu dibakar. Anak-anaknya ketakutan, bersembunyi di bawah kasur menyaksikan ibunya dipukuli.
”Malam itu saya diceraikan lagi dan saya tidak mau rujuk lagi,” kata CU.
Tekanan psikologis memaksanya pergi ke Malaysia sebagai tenaga kerja ilegal. Anaknya yang ditinggalkan di Banda Aceh juga mengalami tekanan psikologis. Suatu waktu dia mendapat kabar anaknya telah memukuli teman sekolah.
”Anak saya malu karena di-bully, dibilang ayahnya tukang kawin dan ibu janda. Dia minta pindah sekolah,” kata CU.
Enam bulan di Malaysia, CU pulang ke Banda Aceh. Dia ingin membenahi hidup bersama ketiga anaknya. Dia menggugat cerai suami ke pengadilan agama untuk kepastian hukum. Kini dia telah menjadi lebih kuat dan mandiri. Untuk membiayai hidup, dia berjualan kue basah.
Ditampar dan ditelantarkan
Cerita SU juga penuh dengan duka. Ibu dari tiga anak ini pernah ditelantarkan berbulan-bulan, tidak dinafkahi, dan ditampar suaminya.
SU menuturkan, suaminya mulai berubah saat mengikuti sebuah majelis pengajian yang, menurutnya, berbeda dengan majelis pada umumnya. Suaminya kian jarang pulang ke rumah.
”Pulang ke rumah cuma tidur, bangun, makan, terus pergi lagi ke pengajian. Dia tidak mau kerja, jadi pemalas,” kata SU.
Baca juga : Menjaga Relasi dengan Pasangan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F02%2F06%2F7aa57976-a94d-4636-9fd6-4c44259bd36c_jpeg.jpg)
Unjuk rasa di Kantor Polisi Resor Kota Banda Aceh, Kamis (24/4/2014).
SU harus bekerja seorang diri menggarap sawah untuk menafkahi keempat anaknya. Bahkan saat SU sedang hamil tua, suaminya lebih banyak menghabiskan waktu di luar. ”Satu tahun lebih dia tidak pulang, kami tidak dinafkahi,” ujar SU.
Suatu hari SU dipaksa untuk ikut pengajian itu, tetapi dia tidak mau. Benih-benih pertengkaran muncul sehingga sebuah tamparan mendarat di pipi perempuan itu. SU diceraikan.
Kini SU harus berjuang seorang diri membiayai kebutuhan anak-anaknya. Dia bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah kantor di Banda Aceh.
Gugat ke pengadilan
Seperti CU, setelah setahun diceraikan oleh suaminya, SU mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan agama, Mahkamah Syariah Jantho, Aceh Besar. Ia butuh akta perceraian agar ada kepastian status hukum dan kebutuhan administrasi keluarga. Saat sidang perceraian mantan suami mereka sama-sama tidak bersedia hadir.
Anak-anak memilih ikut bersama sang ibu. CU dan SU kini menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya. Angka gugat cerai oleh perempuan mendominasi perkara perceraian di Aceh. Data dari Mahkamah Syariah (MS) Aceh mencatat angka perceraian di Aceh Januari-Oktober 2022 mencapai 6.823 perkara. Sebanyak 5.213 perkara merupakan gugat cerai oleh perempuan dan 1.610 perkara cerai talak atau gugatan dari suami.
Baca juga: Saat Perceraian Harus Terjadi di Usia Lanjut

Direktur Eksekutif Flower Aceh, lembaga fokus pada isu perempuan dan anak, Riswati menuturkan, tingginya angka gugat cerai jangan dilihat bahwa perempuan yang menginginkan perceraian. Kebanyakan mereka telah diceraikan suaminya, tetapi mendaftar ke pengadilan agama karena butuh akta cerai, kepastian hukum dan status.
Akta cerai hanya dikeluarkan pengadilan agama. Tanpa akta cerai, status perempuan tersebut pada administrasi negara masih sebagai istri. Kondisi ini menghambat perempuan memperoleh hak pemberdayaan sebagai orangtua tunggal, termasuk dapat menghambat haknya untuk menikah lagi.
Riswati mengatakan, kasus KDRT salah satu pemicu gugat cerai. KDRT meliputi kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual,dan penelantaran. CU dan SU mengalami ragam kekerasan tersebut.
”Pernikahan usia anak juga bisa menjadi pemicu karena secara mental belum siap,” kata Riswati.
Kami juga mendorong para ulama menyampaikan ceramah perlindungan perempuan.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh pada 2017-2020 terjadi 1.020 kasus KDRT. Pelaku KDRT umumnya adalah pasangan atau suami. Rumah, tempat yang paling aman, justru di sana mereka mengalami kekerasan.
”Kasus KDRT yang terlapor hanya sebagian, saya meyakini kasusnya lebih dari itu,” kata Riswati.
Riswati mengatakan, perempuan korban KDRT dan berakhir pada perceraian mengalami beban psikologis yang berat. Mereka harus berjuang menafkahi anak-anak dan menanggung trauma. Pemulihan psikologis nyaris tidak didapatkan. Penguatan ekonomi juga tidak merata.
Sebagian besar perempuan korban KDRT hidup dalam bayang-bayang trauma akut. Beberapa calon narasumber menolak diwawancara dengan alasan masih trauma. Mengingat peristiwa buruk itu mengganggu suasana hidup yang sedang mereka jalani saat ini.
Namun, CU dan SU meski mengaku masih trauma, mereka memberanikan diri bercerita. ”Tetapi, saya belum berani menikah lagi, masih takut,” kata CU.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F15%2F9bd4e4e6-feb6-476f-a582-787e62debc05_jpg.jpg)
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh Meutia Juliana
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh Meutia Juliana menuturkan, pihaknya menerima ratusan aduan KDRT dalam setahun. Hal ini menunjukkan perlindungan terhadap perempuan masih lemah. Namun, sisi baiknya kesadaran perempuan untuk melapor mulai tumbuh.
Menurut Meutia, tingginya angka perceraian adalah persoalan serius bagi daerah. Perceraian berdampak pada penurunan kualitas hidup keluarga. Pendidikan dan pemenuhan gizi pada anak juga ikut terganggu.
”Barangkali juga berdampak pada angka stunting, tetapi perlu penelitian lebih lanjut,” katanya.
Baca juga: Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Naik
Pemerintah menyediakan tenaga psikolog untuk mendampingi korban tanpa harus dibayar, tetapi tidak semua korban telah mengakses layanan itu. Misalnya CU dan SU tidak tahu kalau pemerintah menyediakan pendampingan psikologis.
”Tidak semua warga tahu program ini, kami harus kampanye lebih luas lagi,” kata Meutia.
Meutia mengatakan, upaya perlindungan perempuan jangan berharap pada pemerintah semata. Dia berharap semua pemangku kepentingan harus terlibat. ”Kami juga mendorong para ulama menyampaikan ceramah perlindungan perempuan,” kata Meutia.
Meutia mengakui pada instansi yang dia pimpin tidak tersedia anggaran melimpah untuk penguatan perlindungan. Selain mengurus perempuan, mereka juga bekerja pada isu anak.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F03%2F08%2FWhatsApp-Image-2021-03-08-at-18.40.08-2_1615203748_jpeg.jpg)
Tulisan tangan berisi pandangan tentang perempuan dari peserta peringatan Hari Perempuan Dunia di Banda Aceh, Aceh, Senin (8/3/2021)
Untuk pemberdayaan ekonomi bagi perempuan korban KDRT dibebankan pada Baitul Mall Aceh, lembaga pemerintah mengelola zakat. ”Kami hanya mengeluarkan rekomendasi, sedangkan seleksi dilakukan Baitul Mall,” ujar Meutia.
CU dan SU pernah mencoba mengakses program pemberdayaan ekonomi tersebut, tetapi tidak tembus. Mereka memilih berjuang dengan cara sendiri. CU dan SU kini sudah bisa tersenyum, tetapi luka di hatinya belum benar-benar pulih.
Baca juga: Kekerasan Seksual pada Anak di Aceh, Perlindungan Lemah dan Hak Korban Terabaikan