Kasasi Ditolak, Perjuangan Masyarakat Adat Kinipan Kian Kuat
Penolakan kasasi atas putusan bebas Willem Hengki oleh Mahkamah Agung menguatkan perjuangan masyarakat Kinipan dalam memperjuangkan hutan adat Kinipan. Masyarakat berharap negara segera mengakui hutan adat mereka.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Upaya kasasi yang diajukan Kejaksaan Negeri Lamandau, Kalimantan Tengah, terhadap putusan bebas mantan Kepala Desa Kinipan Willem Hengki dalam kasus korupsi ditolak Mahkamah Agung. Hengki resmi bebas tanpa syarat. Walakin, perjuangan masyarakat Kinipan tidak berhenti sampai pengakuan hutan adat mereka oleh negara.
Hengki sebelumnya didakwa dalam dugaan kasus korupsi proyek jalan desa. Ia diduga melakukan penyelewengan dana desa. Namun, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Palangkaraya memutuskan dia bebas tanpa syarat. Jaksa penuntut umum yang diwakili Okto Silaen dari Kejaksaan Negeri Lamandau kemudian melakukan kasasi terhadap keputusan tersebut.
Penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung itu tercatat dalam surat Putusan Mahkamah Agung Nomor 7164 K/Pid.Sus/2022 yang baru disiarkan beberapa waktu lalu. Hengki, saat dihubungi dari Kota Palangkaraya, mengungkapkan rasa syukurnya. Setelah diputus bebas pada Juni 2022, dirinya masih belum bisa tidur tenang lantaran upaya kasasi tersebut.
Saya yakin keadilan masih ada di negeri ini. Saya yakin karena saya tahu saya tidak korupsi,” kata Hengki, Jumat (13/1/2023).
Hengki merasa kasus dugaan korupsi yang menimpa dirinya itu merupakan buntut perjuangan dirinya bersama masyarakat adat Laman Kinipan di Lamandau. Masyarakat memperjuangkan hutan adat mereka yang kini dikeruk perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Hengki bukan yang pertama berurusan dengan hukum saat memperjuangkan hutan adat. Sebelumnya, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing dan empat warga Kinipan lainnya ditangkap polisi karena dituduh mencuri alat milik perusahaan perkebunan dan melakukan kekerasan.
Namun, kasus itu hingga kini tidak berlanjut. ”Kasus ini tidak menghentikan perjuangan kami. Kami bakal terus bergerak sampai pengakuan hutan adat kami diberikan negara,” kata Hengki.
Perwakilan kuasa hukum Hengki dalam persidangan, Parlin Bayu Hutabarat, mengungkapkan, kasasi yang ditolak itu merupakan keputusan yang tepat karena sesuai dengan fakta persidangan.
Dalam amar putusan, lanjut Parlin, perbuatan menggunakan dana desa dalam proyek jalan desa itu merupakan pembayaran utang. ”Pembayaran utang itu bukan fiktif karena jalannya ada. Ini bukan kerugian negara karena jalannya benar-benar ada dan digunakan,” katanya.
Parlin menambahkan, tidak ada lagi hak hukum untuk menguji putusan kasasi. Dalam konteks perjuangan hutan adat, menurut dia, putusan ini sangat positif karena upaya hukum ini merupakan upaya melemahkan perjuangan masyarakat adat. ”Dengan begini, perjuangan jalan terus dan semakin kuat,” katanya.
Konflik Kinipan bermula pada 2012 saat sebuah perusahaan perkebunan sawit ingin masuk ke dalam hutan adat Kinipan karena telah mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Masyarakat Kinipian bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) kemudian memetakan luas hutan adat Kinipan dengan luasan mencapai 16.000 hektar. Dari total luas wilayah itu, setidaknya terdapat 3.000 hektar yang sudah dibuka perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut.
Sebelumnya, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Lamandau Sumihar Paulus Pandjaitan menjelaskan, upaya untuk pengakuan hutan adat Kinipan masih terus berjalan. ”Berkasnya kini sudah diserahkan kembali ke masyarakat adat untuk dilengkapi,” katanya.
Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi menjelaskan, identifikasi wilayah adat dan verifikasi adalah tugas negara, sesuai dengan kebijakan negara. Namun, upaya pemerintah Lamandau masih minim. ”Pemerintah yang harusnya memfasilitasi. Ini berkasnya dioper ke sana kemari terus. Ini, kan, tanggung jawab mereka (pemerintah),” ucapnya.