Buku ”Made Wianta, Catatan dan Kenangan” Diperkenalkan di Denpasar
Made Wianta, maestro seni Bali yang wafat pada 13 November 2020, meninggalkan kenangan dan kisah yang dibagikan kepada para sahabat dalam buku berjudul ”Made Wianta, Catatan dan Kenangan”.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Peribahasa gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Sekumpulan kenangan, testimoni, kisah, dan catatan dibukukan sebagai sebentuk kenangan terhadap Made Wianta, maestro seni asal Bali yang wafat pada 13 November 2020. Buku berjudul Made Wianta, Catatan dan Kenangan diluncurkan di Kota Denpasar, Bali, Sabtu (7/1/2023) malam.
Sebanyak 28 penulis membagikan kisah, testimoni, catatan, dan kenangan mereka terhadap sosok Made Wianta, seniman multitalenta kelahiran Apuan, Tabanan, 20 Desember 1949, ke dalam buku berjudul Made Wianta, Catatan dan Kenangan.
Sejumlah sahabat almarhum Wianta, yang menyumbangkan tulisannya, antara lain, Popo Danes, I Made Bandem, Jean Couteau, Putu Fajar Arcana, Putu Suasta, Tommy F Awuy, dan Warih Wisatsana, juga hadir dalam sebuah perayaan mengenang Made Wianta di Danes Art Veranda, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Sabtu malam.
Hadir pula sejumlah seniman, penulis, kritikus seni, dan budayawan serta politisi dalam acara tersebut. Sebagian dari mereka, yang hadir secara langsung dan melalui telekonferensi, bertestimoni, mengungkapkan kesan dan kenangannya terhadap Wianta dalam acara, yang dikemas sebagai ”Perayaan Persahabatan Wianta dan Kita”, Sabtu malam.
Semasa hidupnya, Wianta dikenal sebagai maestro seni yang energik. Lelaki kelahiran 20 Desember 1949 itu menumpahkan ide, gagasan, dan semangatnya berkesenian dengan penuh energi.
Wianta disebut perupa yang kerap merambah ke seni teater, tari, dan sastra.
Wianta pernah menggagas dan menggelar acara kolosal bertajuk ”Art and Peace” pada 10 Desember 1999.
Politisi dan penulis Putu Suasta mengungkapkan, Wianta adalah sosok puritan, berasal dari desa, tetapi berpikiran global.
Dalam acara perayaan mengenang Wianta, Sabtu malam, Suasta menyebut Wianta pernah menyumbangkan puluhan lukisannya untuk amal kepada gerakan penanganan AIDS.
Pada tulisannya berjudul ”Menerjemahkan Makna Catur Yuga di Basel” di buku Made Wianta, Catatan dan Kenangan, Suasta menyebut Wianta sebagai sosok seniman yang selalu berkarya di mana pun dia sedang berada.
”Tak ada waktu berhenti untuk kesenian!” demikian kata Wianta yang dikutip Putu Suasta dalam tulisan di buku Made Wianta, Catatan dan Kenangan.
Penyair Warih Wisatsana mengenang Wianta melalui sebentuk puisi yang berjudul ”Bersama Made Wianta ke Apuan”. Warih membacakan puisi tersebut dalam malam perayaan mengenang Wianta serangkaian peluncuran buku Made Wianta, Catatan dan Kenangan di Danes Art Veranda, Sabtu malam. ”Seketika kau terbayang jalan pulang/ibu menunggu di tepi waktu/kenangan riang kawan sepermainan/tubuh gamelan semalaman di pura kawitan/bersisian pengharapan masa depan/dalam alunan panggilan/bagi tiket terakhir/pesawat terakhir”, demikian penggalan puisi, yang dibacakan Warih.
Kritikus seni dan budayawan Jean Couteau menyatakan, Wianta adalah sosok yang menggebu-gebu dalam berkarya. Wianta, dalam kenangan Jean Couteau, merupakan seniman yang senantiasa mencari bentuk baru dan kerap bertentangan antara satu dengan lainnya.
”Made Wianta membutuhkan pertentangan dalam hidupnya. Dia tidak menginginkan orang yang senantiasa mengiyakan keinginannya,” ujar Jean Couteau dalam testimoninya di acara ”Perayaan Persahabatan Wianta dan Kita”.
Budayawan dan maestro seni Bali, I Made Bandem, mengatakan, sedikitnya terdapat tiga hal yang membuat Wianta menjadi sosok karismatik.
Tak ada waktu berhenti untuk kesenian! (Putu Suasta)
Wianta adalah sosok yang sangat memperhatikan penampilan dan pencitraannya, selain seniman yang penuh energi dan juga teman yang penuh kehangatan. Bandem menyebut sosok Wianta adalah seniman genius.
Penuh ide
Secara di dalam jaringan, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Wayan Adnyana menyatakan, Wianta adalah seniman yang penuh ide, gagasan, dan memiliki visi. Singkatnya, menurut Kun Adnyana, Wianta menjadikan seluruh hal di sekelilingnya menjadi berjiwa.
Dalam testimoninya, Sabtu malam, sastrawan dan penulis Putu Fajar Arcana menyebut Wianta sebagai seniman yang anomali, tidak pernah berhenti berkarya, dan selalu berenergi untuk bergerak.
Adapun dalam tulisannya berjudul ”Jalan Berbeda Made Wianta”, Fajar Arcana menuliskan, ”Wianta meletakkan tujuan hidup dan cita-cita berkeseniannya jauh di cakrawala. Seberapa pun utopianya, toh ia tak pernah berhenti melakukan penjelajahan sampai ke batas paling memungkinkan dari kreativitasnya.”
Adapun pendiri Museum Seni Agung Rai (Arma) Ubud, Gianyar, Anak Agung Gde Rai, mengenang Wianta sedari Wianta masih tinggal di Yogyakarta. Agung Rai menyebut keberadaan dirinya di bidang kesenian juga banyak dipengaruhi pergaulannya dengan Wianta.
Dalam kesannya yang disampaikan pada acara perayaan mengenang Wianta di Denpasar, Sabtu malam, Agung Rai juga menyatakan terdapat sosok penting dalam kehidupan Wianta, yakni, Intan Kirana, sang istri yang setia dan tekun mendampingi Wianta.
Mewakili pihak keluarga Made Wianta, Buratwangi menyatakan, mereka sangat menghargai dan mengapresiasi pembuatan buku tersebut.
Putri sulung Wianta itu mengungkapkan, kenangan dan kisah yang dibagikan para sahabat almarhum ayahnya itu menjadi penyemangat bagi keluarga mereka.
Acara perayaan mengenang Wianta dan peluncuran buku berjudul Made Wianta, Catatan dan Kenangan, yang diselenggarakan di Danes Art Veranda, Denpasar, Sabtu malam, juga diisi penayangan dua video dokumenter tentang Wianta, di antaranya, video berjudul Sapa Rupa Wianta, yang diproduksi Vanessa dan Ganesa Putra.