Catatan dari Seminar Agama-agama, Pelajaran Keberagaman di Cigugur
Kalau semua menanam bawang, enggak ada padi, pasti ada yang kurang. Pesan itu menjadi satu dari banyak kiasan tentang makna toleransi di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F22%2Feeb19774-156b-4c69-a3b8-79309e323eff_jpg.jpg)
Warga Sunda Wiwitan menumbuk padi saat perayaan Seren Taun 22 Rayagung 1955 Saka Sunda di Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (22/7/2022). Masyarakat mengumpulkan 22 kuintal gabah hasil panen. Sebanyak 20 kuintal di antaranya ditumbuk secara tradisional, sedangkan 2 kuintal disiapkan sebagai bibit.
Berbagai tantangan kerap menguji kohesi masyarakat di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Mulai dari pelarangan upacara adat beberapa dekade lalu hingga kini sengketa tanah. Namun, warga Cigugur mampu menjaga keberagaman di tengah perbedaan latar belakang.
Potret kebersamaan itu kembali tampak saat Seminar Agama-agama atau SAA Ke-37 di Cigugur, Rabu-Sabtu (16-19/11/2022). Forum yang digelar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia itu menghadirkan tokoh lintas agama dan kepercayaan, aktivis, hingga mahasiswa.
Sekitar 70 perserta dari Jakarta hingga Sulawesi ikut hadir dalam acara bertajuk ”Rekognisi, Pemenuhan, dan Perlindungan Hak Beragama atau Berkeyakinan bagi Warga Negara” itu. Acaranya berisi doa lintas agama, seminar, serta kunjungan ke tempat bersejarah di Cigugur.
Sebagian kegiatan berlangsung di Paseban Tri Panca Tunggal, pusat aktivitas masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan. Penghayat Sunda Wiwitan memegang cara-ciri manusia dan bangsa, seperti cinta kasih; serta mengedepankan hubungan Tuhan, manusia, dan alam.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F22%2F7b41510c-b786-4f7e-9518-da40ec47222c_jpg.jpg)
Perwakilan sejumlah provinsi hadir di Paseban Tri Panca Tunggal saat perayaan Seren Taun 22 Rayagung 1955 Saka Sunda di Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (22/7/2022). Perwakilan dari 14 provinsi turut serta dalam Pameran Pusaka Budaya Nusantara.
Tidak hanya mengenal komunitas Akur Sunda Wiwitan, puluhan peserta SAA juga menginap di rumah warga. Meskipun berbeda agama dan suku, peserta dan warga guyub. Misalnya, saat Wahyu Alamsah (70), tokoh Kampung Pasir Kaler RT 038 RW 013, menyambut mereka.
”Di sini, ucapan selamat datang orang Pasir bukan dengan mulut. Tapi dengan itu,” kata Wahyu sambil menunjuk nasi, ayam, dan tempe goreng, hingga karedok di atas meja. ”Tapi, itu juga makannya, pakai mulut, Pak,” balas seorang peserta yang diikuti tawa warga.
Meskipun sebagian orang Pasir menghayat Sunda Wiwitan, kerukunan di lingkungan tetap terjaga. ”Dalam satu keluarga ada yang berbeda agama itu sudah biasa di sini. Kami diajarkan, sekalipun berbeda, kodrat kita itu cinta kasih,” ujarnya.
Leluhur Sunda Wiwitan, Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat (1832-1939), telah menanamkan toleransi. Salah satu prinsipnya adalah ungkapan sanajan sewang-sewangan, tapi teu ewang-ewangan yang bermakna ’sepengertian meski tak sepengakuan’.
Nilai ini juga terasa saat peserta mendatangi Curug Go’ong, Desa Cisantana, tempat Pangeran Madrais bermukim sebelum wafat. Di lereng Gunung Ciremai itu, Pangeran Madrais dikabarkan menggelar ritual untuk meredam Gunung Ciremai yang akan meletus tahun 1936.
Baca juga : Seminar Agama-agama Ke-37 di Kuningan Suarakan Toleransi

Tugu makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, disegel oleh Satpol PP Kabupaten Kuningan, Senin (20/7/2020). Penyegelan diduga karena bangunan itu belum memiliki surat izin mendirikan bangunan. Masyarakat Akur Sunda Wiwitan sudah mengurus izin tersebut, tetapi ditolak karena sejumlah alasan, seperti belum ada regulasi terkait IMB makam.
Pada 2020, masyarakat Akur Sunda Wiwitan membangun tempat peristirahatan terakhir untuk Pangeran Djatikusumah, cucu Pangeran Madrais, serta istrinya, Ratu Emalia Wigarningsih. Bakal makam itu berupa dua peti dengan bongkahan batu besar serupa lingga di atasnya.
Warga adat menyebutnya batu satangtung yang berarti berdiri tegak. ”Sampai akhir hayatnya, Rama ingin seperti batu yang ditegakkan. Tidak lengah oleh angin dan luput dari air,” ucap Dewi Kanti Setianingsih, putri bungsu Pangeran Djatikusumah.
Tradisi menyiapkan makam dengan batu penanda, katanya, sudah ada sejak dulu. Namun, Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Kuningan pernah menyegel bakal makam itu karena dinilai tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
Segel itu lepas setelah mendapat kecaman publik, termasuk dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. ”Mengapa ada resistensi? Sebab, kita sebagai bangsa sudah kehilangan akarnya. Seorang pastor dan warga Muslim ikut membantu pembangunan batu Satantung,” ucapnya.
Potret toleransi kian terasa ketika peserta mengunjungi Pondok Pesantren Daarul Mukhlisin di Cisantana. Sejumlah peserta yang beragama Islam ikut menunaikan shalat Jumat, sedangkan peserta lainnya menikmati kopi dan teh di sekitar pondok.
”Saya kira, Tuhan sedang berbahagia melihat kita kompak dan jauh dari perselisihan. Lima meter dari Goa Maria itu sudah tanah pesantren. Jadi, bukan berdampingan lagi, tapi nempel,” ucap KH Yayat Hidayat, pengasuh ponpes. Goa Maria adalah tempat wisata rohani umat Katolik.

Potret makam muslim dan nasrani yang berdampingan di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (24/7/2020). Toleransi antarumat beragama di Cigugur telah lama terjalin.
Berusia hampir 30 tahun, pesantren itu terbuka bagi siapa pun. Pelataran di dekat langgar, katanya, pernah menjadi tempat meditasi warga dari Bali. ”Dalam Islam, akan lebih baik kalau berbeda. Kalau semua menanam bawang, enggak ada padi, pasti ada yang kurang,” ujarnya.
KH Aminudin, penyuluh agama Islam Kantor Urusan Agama Cigugur, mengamini toleransi sudah lama di Cigugur. ”Yang unik, bangun masjid, ada orang Kristen nyumbang. Di Cisantana juga ada poskamling tempat ngumpul dan makan bareng-bareng, tidak hanya Muslim,” katanya.
Inspirasi keberagaman
Potret toleransi itu menginspirasi para peserta. Vinanda Febriani (22), misalnya, mengagumi warga yang tetap bergotong royong meski berbeda. ”Padahal, semakin ke sini, budaya itu luntur. Kalau tidak seagama, enggak mau membantu,” kata Vina, yang perdana ke Cigugur.
Bahkan, kelompok agama terpinggirkan kerap mengalami diskriminasi. Rekannya, misalnya, pernah dikeluarkan dari pekerjaannya karena termasuk jemaah Ahmadiyah. Anggota Gusdurian Bogor ini pun menyuarakan pentingnya toleransi dengan berkunjung ke tempat ibadah lainnya.
Keluarganya sempat tak setuju. Namun, mahasiswa Program Studi Agama-agama Universitas Islam Negeri Jakarta ini bergeming. ”Sangat lucu kalau saya hanya mengenal agama lain dari tulisan, tapi tidak secara langsung. Pelajaran berharga itu relasi sosial,” ujar anak petani ini.
Keguyuban di Cigugur menambah kekuatan Vina ”menularkan” isu toleransi. Begitu pun Ahmad Salahuddin Mansyur (29), peserta SAA lainnya. ”Saya melihat Cigugur punya daya lenting. Mereka tetap berkarya meski membutuhkan pertolongan,” ujarnya.
Seren Taun atau upacara adat Sunda Wiwitan, misalnya, dilarang pada 1982-1999. Mereka juga mengalami diskriminasi di sekolah dan kesulitan mendapatkan hak kependudukan. Kolom agama di KTP mereka pernah kosong. Bahkan, ada warga yang terpaksa pindah agama.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F18%2F3905ca2b-c8ed-4301-bcf7-a6f48e0310b3_jpg.jpg)
Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan bersama sejumlah organisasi menggelar aksi penolakan pencocokan dan sita eksekusi tanah di Blok Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Rabu (18/5/2022). Rencana eksekusi dinilai melemahkan posisi masyarakat adat.
Tanah mereka juga terancam. Pertengahan Mei 2022, puluhan warga adat menentang rencana pencocokan dan sita eksekusi tanah di Mayasih. Tahun 2017, mereka juga menolak eksekusi tanah sekitar 200 meter persegi itu.
Masyarakat Akur Sunda Wiwitan beberapa kali menempuh jalur hukum guna mempertahankan tanah adat. Namun, mereka dinilai tak punya kedudukan hukum karena belum terdaftar sebagai masyarakat hukum adat (MHA). Pemkab Kuningan menolak pengajuan penetapan MHA itu.
Di tengah tantangan itu, mereka tetap menjaga keberagaman Cigugur. Buktinya, Apresiasi Prestasi Pancasila 2019 oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila serta Piagam Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Pangeran Djatikusumah sebagai pelestari adat.
Inspirasi itu turut mendorongnya menyebarkan toleransi. Ia kini menempuh pendidikan strata dua di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. ”Mungkin saya orang Islam pertama yang studi formal di sana. Bahkan, saya dapat rekomendasi beasiswa dari gereja,” ucapnya tersenyum.
Baca juga : Maarif Award 2022 untuk Seorang Dokter dan Dua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F02%2F22%2F803fee3b-1586-4299-ae16-555e98cca696_jpg.jpg)
Mural menjadi salah satu media bagi masyarakat untuk menyerukan toleransi dalam kehidupan beragama. Hal itu salah satunya di temui di Jalan Juanda, Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (22/2/2020). Mural itu menggambarkan karikatur sosok Gus Dur, berpadu dengan gambar umat yang berbeda agama.
Sejumlah anggota keluarganya di Sulawesi Selatan sempat mengecam keputusannya. ”Ketakutan orangtua nanti anaknya pindah agama. Padahal, pindah agama bisa kapan pun dan di mana pun. Akhirnya, keluarga yakin dengan pilihan pendidikan saya,” ujarnya.
Bagi Ahmad, upayanya belum setara dengan perjuangan komunitas Sunda Wiwitan yang ia sebut ”berdarah-darah” menjaga nilainya, termasuk keberagaman. Ia pun ikut mendorong Maklumat SAA Ke-37, seperti tuntutan perbaikan layanan publik bagi semua warga negara.
Maklumat itu menolak segala bentuk stigma, diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama, suku, dan kepercayaan; serta mendesak pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Tuntutan lainnya, jaminan pendidikan bagi penghayat kepercayaan.
Terakhir, seruan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keutuhan NKRI. Sekretaris Eksekutif PGI Pendeta Jimmy Sormin berharap, pemerintah dan elemen masyarakat dapat mendukung maklumat itu demi menjaga keberagaman Indonesia, seperti yang ada di Cigugur.
”Sudah kewajiban umat beragama untuk melindungi umat lainnya yang merasakan penderitaan. Membiarkan ketidakadilan pada manusia dan makhluk hidup lainnya berarti keimanannya dipertanyakan,” ujarnya.
Baca juga : Intoleransi Berpotensi Muncul Jelang Pemilu