Tantangan Berat bagi Anak di Jabar pada Tahun yang Baru
Menjadi salah satu kalangan rentan, masalah yang dihadapi anak tidak berbeda dengan orang dewasa. Namun, tanpa pendampingan ideal, dampaknya berpotensi lebih panjang dan menyakitkan.
Sejumlah tantangan berpotensi masih mengintai anak-anak di Jawa Barat di tahun 2023. Mereka rawan jadi korban bencana alam, kekerasan seksual, penyakit berbahaya, kurang gizi, hingga rentan terdampak pemanasan global.
Senyuman di bibir Hazra (10) masih mengembang saat tiba di rumahnya di Warungkondang, Cianjur, Jabar, Senin (26/12/222) siang. Dia ceria. Sembari tersenyum, Hazra menyalami orangtuanya dan beberapa kerabat jauhnya di ruang tamu.
Siang itu, Hazra baru pulang dari sekolahnya. Tidak ada pelajaran hari itu. Sebagai gantinya, dia dan kawan-kawannya mengikuti kegiatan trauma healing. Pematerinya adalah guru yang sebelumnya sudah mendapat pelatihan dari berbagai kalangan.
”Mungkin baru seminggu terakhir dia bisa kembali ceria. Sejak banyak trauma healing dilakukan banyak pihak, senyumnya kembali lagi,” kata Nugraha (36), ayah Hazra.
Hazra adalah bocah penyintas gempa Cianjur berkekuatan Magnitudo 5,6 pada 21 November 2022. Tidak terluka fisik, Nugraha yakin batin anaknya terguncang. Tidak mudah disampaikan dengan kata, sikap Hazra sulit disembunyikan.
Seminggu tinggal di pengungsian, Hazra menjadi pemurung. Dia ketakutan saat ada getaran truk mirip gempa. Untuk kembali masuk rumah setelah gempa pernah menjadi hal yang sulit.
Baca juga: Memanusiakan Jenazah Korban Gempa Cianjur
”Saya tidak tahu sejauh apa trauma pada anak. Harapannya, trauma mereda saat rumah bisa kami perbaiki, sekolah mulai berjalan lagi, hingga sisa gempa sudah tidak terlihat lagi,” katanya.
Kekhawatiran Nugraha seharusnya juga menjadi perhatian banyak pihak. Hazra tidak sendirian. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana hingga 1 Januari 2023, sebanyak 28.450 anak usia kurang dari 1 tahun hingga 17 tahun menjadi penyintas gempa Cianjur.
Hidup dalam trauma bukan hal ideal bagi tumbuh kembang anak. Masalahnya bakal semakin runyam jika mereka ujungnya menjadi bagian dari masalah kemiskinan saat keluarga tidak mampu bangkit dari keterpurukan ekonomi pascabencana.
Kesehatan fisik
Dalam berbagai hal, keluarga menjadi tempat paling aman bagi para penyintas berbagai kejadian. Namun, tidak jarang orang terdekat justru menjadi predator berbahaya.
Pada akhir 2021, Herry Wirawan, pemimpin sekolah berasrama Madani Boarding School di Bandung, didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap 13 santrinya selama 2016-2021. Korban juga bungkam. Dari perbuatan keji itu, sembilan bayi lahir dan para ibu yang juga adalah korban kekerasan seksual mengalami trauma.
Di dalam persidangan, Herry terbukti menggunakan posisinya selaku pendidik untuk memperdaya santri. Korban yang saat itu masih berusia belasan tahun berada di dalam tekanan untuk memuaskan nafsu pelaku. Herry divonis mati di tahun 2022.
Tidak berhenti di sana, Kepolisian Resor Kota Bandung masih menyelidiki kasus dugaan rudapaksa terhadap 20 santri di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Bandung, Jabar, sejak Agustus 2022. Korban mendapatkan tindakan asusila dari pimpinan ponpes di Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, sejak 2016. Saat itu mereka masih berusia belasan tahun.
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan, selain tindakan hukum bagi pelaku, pemulihan korban harus menjadi prioritas. Tidak hanya untuk memberi rasa aman, negara harus memastikan hak korban terpenuhi, termasuk jika terdakwa tak mampu memenuhi kewajiban restitusi atau ganti rugi.
Kewajiban ini termasuk memastikan anak-anak korban yang lahir akibat tindak kejahatan Herry mendapat layanan maksimal. Hal ini menjadi bentuk tanggung jawab negara agar para korban pulih dan mendapat hak hidup.
”Jadi, tidak hanya pelaku, negara juga bertanggung jawab. Keduanya memiliki porsi kewajiban masing-masing,” ujarnya.
Lihat juga: Teknis Pelaksanaan Hukuman Mati Diatur dalam Peraturan Kapolri
Kondisi kesehatan mental jelas butuh perhatian. Namun, kesehatan fisik jangan dilupakan. Ancaman diabetes hingga tengkes menghantui anak-anak di Jabar.
Kebiasaan dan lingkungan yang tidak sehat masih rentan memicunya. Kekhawatiran terkait diabetes yang mengancam anak-anak itu hadir di benak Rismala (23), warga Desa Karangsari, Kecamatan Karangsari, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jabar.
Setelah mendapatkan pelatihan terkait potensi dan bahaya diabetes dari Novo Nordisk, dia menyadari gaya hidup keluarganya berpotensi membangkitkan penyakit tersebut. Novo Nordisk adalah perusahaan farmasi asal Denmark.
”Anak-anak sering jajan makan manis kalau sekolah. Begitu tahu bahaya diabetes, saya selalu mengingatkan mereka,” kata Rismala di Balai Desa Karangsari, akhir 2022.
Selain itu, jarak dari rumah ke fasilitas kesehatan terdekat yang terbilang jauh menjadi salah satu hal yang dikhawatirkan Rismala.
Keluarganya harus meluangkan waktu hingga setengah hari jika hendak berobat di puskesmas yang berjarak lebih dari 10 kilometer.
”Kasihan anak-anak kalau mereka sakit karena akses menuju puskesmas jalannya jauh dan jelek. Jarak yang jauh juga membuat kami tidak leluasa memeriksa kondisi kesehatan,” ujar Rismala.
Tidak hanya warga daerah Karangsari saja yang sulit mengakses fasilitas kesehatan. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Garut, hampir 20 persen dari 27 puskesmas di kabupaten tersebut sulit diakses oleh warga sekitarnya.
Bupati Garut Rudy Gunawan menyebut, kesulitan ini terjadi karena berada di daerah terpencil dan pihaknya tengah berupaya melancarkan akses di daerah-daerah ini.
Baca juga: Mencegah Rayuan Maut "Si Manis" di Daerah Terpencil
Ancaman kesehatan terhadap anak juga berasal dari potensi tengkes yang mencapai ratusan ribu anak. Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, prevalensi bayi di bawah lima tahun (balita) yang mengalami tengkes di Jabar mencapai 24,5 persen.
Angka ini setara dengan 968.148 anak balita dan persentase ini hampir sama dengan prevalensi nasional yang mencapai 24,4 persen.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, penanganan tengkes ini sangat kompleks. Tidak hanya dari kesehatan, infrastruktur seperti sanitasi hingga ekonomi keluarga juga perlu diperhatikan.
”Untuk menurunkan tengkes, semua harus memastikan calon ibu, ibu hamil, dan anak jauh dari penyakit dengan gizi yang cukup. Apalagi, bayi yang kerap mendapatkan infeksi berulang menguras gizi di dalam tubuhnya sehingga lebih rentan terpapar tengkes,” ujarnya saat menghadiri acara ”Jabar Stunting Summit 2022” di Gedung Sate, Bandung, Jabar, Rabu (14/12/2022).
Gubernur Jabar Ridwan Kamil di acara tersebut juga berujar, kesehatan anak saat ini menentukan kemajuan bangsa di masa depan. Kesehatan dan kualitas generasi yang baik akan mendorong peradaban menjadi lebih maju, begitupun sebaliknya.
Krisis Iklim
Namun, masa depan juga belum pasti baik-baik saja. Krisis iklim rawan ada di depan mata. Darurat iklim kembali menempatkan anak dalam posisi rentan.
Laporan terkini Generation Hope tahun 2022, program Save the Children untuk menumbuhkan kesadaran anak dan orang dewasa di sekitarnya terhadap krisis iklim global, diperkirakan 774 juta anak—sepertiga dari populasi anak di dunia—hidup miskin dan diselimuti darurat iklim. Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global.
Penggalian data dan informasi dilakukan dengan survei dan dialog bersama 54.000 anak dari 41 negara, termasuk 20.000 anak Indonesia. Dari sana terangkum data, 59,8 persen anak merasakan dampak perubahan iklim. Sementara, 30,7 persen anak merasakan ketimpangan ekonomi yang mempengaruhi hak-hak dasarnya.
”Saya putus sekolah sejak SMP. Sekarang membantu bapak menanam cabai. Namun, cuaca tidak menentu dan sering gagal panen. Jangankan untuk sekolah lagi, makan sehari-hari kadang tidak cukup,” kata Amat, salah seorang anak dari Jabar seperti dikutip Save the Children Indonesia.
Laporan Generation Hope juga menunjukkan, lebih dari 60 juta anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian iklim ekstrem dalam setahun. Akibatnya, anak rentan tumbuh dalam situasi mengancam. Hak itu membuat anak lebih rentan secara fisik, sosial, dan ekonomi.
”Krisis iklim adalah krisis terhadap hak-hak anak. Anak-anak terancam menghadapi kemiskinan jangka panjang dan sangat berdampak pada hak pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hidup,” kata Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communication, and Media Save the Children Indonesia.
Oleh karena itu, jika krisis iklim dan ketimpangan tidak segera ditangani, frekuensi dan tingkat keparahan krisis kemanusiaan serta biaya hidup akan terus meningkat.
”Ke depan, semua pihak penting menjalankan komitmen pendanaan iklim untuk mitigasi dan adaptasi yang berpihak pada anak. Selain itu, anak-anak harus dilibatkan dalam penyusunan kebijakan iklim oleh pemerintah,” kata Troy.
Menjadi salah satu kalangan rentan, masalah yang dihadapi anak tidak berbeda dengan orang dewasa. Namun, tanpa pendampingan ideal, dampaknya berpotensi lebih panjang dan menyakitkan.
Baca juga: COP27, G20, dan Pembangunan Ekonomi Hijau Indonesia