Hidupkan Kembali Relasi Budaya dan Pangan untuk Bekal Hadapi Krisis
Menggali kembali nilai-nilai budaya ini dan memperkuatnya menjadi penting dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan menghindari ancaman krisis di masa depan.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kebudayaan dan pangan punya relasi kuat dan menjadi sentral dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Menggali kembali nilai-nilai budaya ini dan memperkuatnya menjadi penting dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan menghindarkan ancaman krisis di masa depan.
Hal tersebut mengemuka dalam dialog kebudayaan yang digelar Balai Pelestarian Kebudayaan Sumatera Barat di Ruang Kerja Budaya, Kota Padang, Kamis (22/12/2022). Dialog menghadirkan Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid dan anggota komunitas serta pemangku kebijakan bidang kebudayaan di Sumbar.
“Ekspresi budaya kita hampir semuanya berkaitan antara interaksi manusia dan alam. Mau itu ritual, tarian, urusan dengan hujan, alam, dan segala macam, menyangkut panen dan seterusnya. Pangan itu sesuatu yang sangat sentral di dalam kebudayaan,” kata Hilmar Farid.
Hilmar menjelaskan, di masa mendatang, 20-30 tahun ke depan, pangan akan jadi salah satu sumber terpenting bagi umat manusia. Indonesia merupakan salah satu lumbung pangan karena kaya dengan keanekaragaman hayati. Walakin, mendekatkan kembali ekspresi budaya itu menjadi tantangan besar.
Menurut Hilmar, banyak yang belum menyadari konsumsi gandum per kapita di Indonesia saat ini melebihi konsumsi beras. Padahal, Indonesia yang penduduknya dikenal sebagai pemakan nasi bukan produsen gandum, melainkan beras. Indonesia masih memproduksi dan sedikit mengimpor beras, sedangkan gandum 100 persen impor.
“Ini akan sangat menyedihkan. Negeri dengan kekayaan seperti ini tidak punya alasan untuk kekurangan pangan. Tapi kalau kapasitas manusianya tidak dibangun kita akan menghadapi permasalahan sangat serius dalam 20-30 tahun ke depan,” ujar Hilmar.
Oleh sebab itu, kata Hilmar, pengetahuan terhadap nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan pangan akan sangat esensial dalam menghadapi tantangan krisis pangan ke depan. Presiden juga sudah berbicara tentang diversifikasi pangan. Kuncinya ada pada kemampuan masyarakat di tingkat lokal menggunakan sumber daya lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal.
“Yang paling penting dilakukan adalah mengaktifkan kembali semua pengetahuan ekspresi budaya berkaitan dengan pangan. Sebab, di situ sebetulnya kunci kita keluar dari problem pangan ke depan,” kata Hilmar, dalam wawancara lebih lanjut.
Adapun yang dilakukan Direktorat Jenderal Kebudayaan saat ini, kata Hilmar, berkontribusi terhadap pengaktifan itu, mulai dari tradisi lisan, naskah, manuskrip, dan ekspresi-ekspresi budaya yang terkait dengan pangan, seperti ritual di sekitar pangan, panen, dan lainnya. “Itu jadi fokus kami sekarang,” ujarnya.
Ditambahkan Hilmar, jika pengetahuan itu bisa digali kembali dan diperkuat, masyarakat bisa memenuhi kebutuhan di tingkat lokal berdasarkan sumber daya lokalnya. Itulah yang disebut kedaulatan pangan, sebab warga tidak perlu bergantung pada sumber yang datang dari luar.
“Lain halnya dengan daerah atau negeri yang sumber alamnya terbatas. Indonesia ini seperti tidak ada batasnya, kita punya segalanya. Dampaknya (pengaktifan kembali itu) akan sangat besar, yaitu tumbuhnya kekuatan masyarakat. Kalau itu terjadi, dampaknya secara ekonomi luar biasa besar,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Sumbar Khairil Anwar, dalam dialog, mengatakan, persoalan pangan ini menjadi tantangan bersama. Sesungguhnya ketika kebudayaan dan pangan tidak sejalan, kebudayaan itu akan hancur. Hal itu ia temukan ketika mencoba mengkaji tradisi, mitos, dan cerita berkaitan suatu tempat di Sumbar.
Sebagai contoh, kata Khairil, adalah tradisi bacingkalak di Pasaman Barat. Dalam tradisi itu, masyarakat bergotong royong membangun bendungan ketika akan mulai musim tanam. Tradisi ini juga berkaitan dengan mitos, cerita, atau kepercayaan terhadap hal magis. Namun, ketika bibit-bibit sawit datang ke Pasaman Barat dan kebun sawit meluas, tradisi ini hilang.
”Dampak utamanya, kampung ini mendatangkan beras dari luar, jadi kampung sawit. Padahal, sebelum itu adalah daerah persawahan. Mereka mandiri pangan. Sekarang mereka panen sawit dan beli beras. Yang jelas kebudayaan hancur ketika tidak sinkron dengan pangannya itu,” ujar pria yang juga dosen Sastra Minangkabau Universitas Andalas ini.
Sementara itu, antropolog Universitas Andalas, Dwi Setiawati, mengatakan, penyeragaman pangan dapat menjadi ancaman terhadap kedaulatan pangan. Penyeragaman itu menjalar di Kepulauan Mentawai. Warga Mentawai yang sehari-hari mengonsumsi sagu, keladi, dan pisang dari kebun didorong mengonsumsi beras. Walakin, sistem persawahan di sana tidak berjalan.
”Saat pandemi, mereka bisa bertahan karena pangan sendiri (komoditas lokal). Bagaimanapun kondisi beras, mereka tidak terganggu. Mereka kembali ke akar mereka, pangan mereka sendiri,” katanya.
Menurut Dwi, upaya menjaga ketahanan pangan di Mentawai menjadi penting. ”Menumbuhkan kembali keyakinan diri mereka bahwa makanan lokal mereka selama ini, sagu, itu menjadi luar biasa (pengaruhnya terhadap kedaulatan pangan),” ujarnya.