Akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk membersihkan kampung. Bukan karena sampah tetapi karena banyaknya ancaman, konflik, dan bencana yang mendera hidup masyarakat di Lamandau, Kalteng. Mereka pun gelar Muda'i Laman.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·6 menit baca
“Kampung kami kotor. Banyak bencana dan konflik, maka harus dibersihkan,” begitu kata Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing di sela-sela ritual ada Muda’I Laman. Sebuah ritual untuk membersihkan kampung dari segala petaka yang menurutnya dipicu keserakahan manusia.
Kotor yang dimaksud Buhing bukan karena sampah-sampah plastik atau limbah. Kotor melambangkan petaka, konflik dan bencana yang dihadapi masyarakat adat Laman Kinipan setidaknya 10 tahun terakhir, tepatnya sejak mereka menolak perkebunan sawit tahun 2012. Kampung itu didera konflik berkepanjangan karena hutan adat yang mereka jaga secara masif diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Selain itu, selama dua tahun terakhir banjir juga melanda kampung itu. Banjir jadi bencana yang selama ini tak pernah mereka rasakan seumur hidup mereka sebelumnya. Ditambah pandemi yang membatasi aktivitas mereka.
Atas dasar itu, mereka menggelar ritual adat yang sudah 59 tahun tak pernah digelar lagi. “Ini pertama kalinya saya menyaksikan ritual adat ini,” ujar Buhing. Buhing baru lahir di tahun 1969 sedangkan ritual adat Muda’I Laman terakhir digelar tahun 1963.
Siang itu, Selasa (6/12/2022) Lecon (70) datang dari Desa Benakitan, tetangga Desa Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalteng. Ia datang dengan murka. Wajahnya yang keriput memerah dari atas bak mobil pikap. Tiba di Kinipan saat matahari sedang panas-panasnya, Lecon menunjuk-nunjuk ke arah orang-orang Kinipan yang dihadapannya.
Antara warga Benakitan dan Kinipan dipisah oleh dua potong kayu dan gapura kecil yang sudah dihias kain. Lecon masih berteriak menggunakan Bahasa Dayak Tomun, salah satu sub suku Dayak di Kalteng.
“Kenapa kampung ini ditutup. Kami mau masuk,” begitu kira-kira yang diungkap Lecon setelah diterjemahkan oleh dirinya sendiri.
Dibalas oleh Yosep Sedan, salah satu tokoh adat Kinipan. “Kampung ini kotor jangan ke sini,” balasnya.
“Kalau kampung ini kotor, kami datang untuk membantu membersihkannya,” timpal Lecon dengan mata tajam menatap Yosep.
Kayu yang memisah kedua warga desa itu disiapkan sebagai ritual potong pantan. Kayu itu harus dipotong hingga terbelah dua yang menandakan tamu datang dengan niat baik.
Lecon pun mengambil Mandau atau parangnya dan menebas kayu itu. Hanya beberapa kali pukulan kayu itu terbelah. Orang-orang bersorak. Lecon disuguhi tuak dan arak yang sudah disiapkan dan disimpan dalam gading gajah juga tanduk kerbau. Tanpa ragu, Lecon dan rombongannya menenggak minuman tradisional yang terbuat dari fermentasi beras itu.
Lecon datang tidak membawa tangan kosong. Sudahlah datang membersihkan desa, ia juga datang membawa sejumlah karung beras dan hewan persembahan seperti ayam dan babi. Kian lengkaplah upacara adat itu.
Upacara kemudian berpindah tempat ke salah satu tenda kemah yang mereka buat dari kayu. Di tempat itu Lacak, tokoh adat Kinipan sudah menunggu. Lacak punya peran penting karena ia satu-satunya pebantan laman atau orang yang menjaga kampung.
Pebantan laman seperti gelar, namun memiliki tanggung jawab besar. Lacak sudah bersumpah menjadi pebantan laman dan dipilih melalui ritual. Kampung tak punya pilihan lain, karena seorang pebantan laman haruslah seorang penghayat Kaharingan. Lacak jadi satu-satunya tokoh yang masih asli Kaharingan, tokoh lainnya sebagian besar memeluk agama yang diakui negara.
Di tenda itu, Lacak memimpin upacara ritual bejaraga. Ia menyalakan api di pelita yang sudah disiapkan. Api itu mereka jaga semalaman hingga pagi hari. Api itu melambangkan cahaya di tengah gelap, bukan karena di desa itu belum masuk listrik saja, kegelapan yang dimaksud adalah petaka yang datang silih berganti.
Selama menjaga itu, agar para penjaga tidak tidur, mereka melakukan manengah atau bercerita. Lacak menceritakan Kembali sejarah kampung, saat di mana tak ada konflik dari luar, hidup aman dan tenteram bahkan tanpa bencana. Semua orang mulai mendengar Lacak dengan seksama. Lecong tak mau kalah dengan cerita-cerita kelakarnya yang membuat orang tertawa.
Saat para tokoh adat lainnya sedang bercerita, beberapa orang lain membuat ancak. Ancak merupakan tempat sesajen, diisi oleh beras, beberapa potong daging ayam yang sudah dibakar, usus ayam, hati babi, dan banyak lagi. Tidak lupa tuak beras yang disimpan dalam bambu kecil.
Ancak itu ditaruh di berbagai penjuru desa, di bukit, di sungai, di perbatasan desa, hingga di hutan. Tujuannya untuk memanggil para leluhur dan menjaga semua penjuru desa. Doa-doa yang dirapalkan ditujukan pada Tuhan, juga para leluhur agar datang dalam terang menyelamatkan kampung dari petaka dan menjaga kampung di tahun-tahun berikutnya agar dijauhi dari petaka.
Sampai lah pada Rabu (7/12/2022) mereka mematikan api dan lagi-lagi menyiapkan ancak. Proses membersihkan desa dianggap sudah selesai. Leluhur mengerjakan semuanya, mereka yang masih tinggal di bumi menjaga yang tersisa.
Mengakhiri konflik
Ritual Muda’i Laman dilaksanakan akhir tahun sekaligus untuk menyambut tahun yang baru. Effendi Buhing mengungkapkan, dengan adanya bersih-bersih kampung ini masyarakat desa dan wilayah kampung bisa dijauhi dari petaka, baik bencana maupun konflik.
Masyarakat adat Laman Kinipan kini masih menunggu untuk diakui sebagai komunitas adat oleh negara sekaligus juga perlindungan wilayah Kelola adat atau hutan adat mereka. Sebelumnya, Buhing sudah pernah diseret dan ditangkap polisi lantaran dituduh mencuri dan mendalangi kerusuhan yang akhirnya tidak terbukti. Mantan Kepala Desa Kinipan Willem Hengki juga pernah dituduh korupsi jalan desa yang kemudian diputus bebas oleh pengadilan.
Semua itu dipicu oleh konflik masyarakat dengan beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perusahaan kayu yang izinnya tiba-tiba terbit di atas hutan adat yang sudah mereka jaga ratusan tahun.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) memetakan luas wilayah adat di Desa Kinipan sekitar 16.000 hektar pada tahun 2016. Dalam proses identifikasi masalah di Kinipan, Pemerintah Provinsi Kalteng mencatat setidaknya 2.629 hektar atau hampir setengah luas D.I Yogyakarta, hutan adat itu yang dibabat untuk ditanami sawit.
“Muda’i Laman ini berkaitan erat dengan hutan adat Kinipan, hidup kami tanpa hutan adat dan budaya tidak akan jalan. Hutan habis, lalu adat seperti ini tidak akan bisa diadakan lagi,” ungkap Buhing.
Tak hanya di Kinipan, di Palangkaraya pada Rabu (14/12/2022) juga melaksanakan ritual serupa Bernama mamapas lewu atau membersihkan kampung. Ritual yang diselenggarakan pemerintah kota itu kurang lebih sama. Acara utamanya adalah menanam kepala kerbau di tanah agar leluhur mau menjaga wilayah itu.
Tokoh adat Kaharingan di Palangkaraya, Parada, mengungkapkan, kepala kerbau merupakan hewan kurban yang menjadi simbol terima kasih masyarakat kepada alam, penguasa alam bawah. “Kami berjanji tidak merusak alam, kami menjaganya, sesuai perintah Tuhan,” katanya.
Bagi Parada maupun Buhing, alam diciptakan untuk kehidupan semua makhluk hidup yang harus dijaga bersama. Hutan yang terkikis menimbulkan bencana seperti banjir dan bencana lainnya. Semua itu dipicu oleh keserakahan manusia. Ritual ini juga mengingatkan bahwa manusia tidak hidup sendiri di bumi sehingga harus benar-benar bijak. Bukan hanya kampung yang dibersihkan tetapi juga membersihkan diri dari segala niat jahat.