Mencegah Petaka Berulang di Lubang Tambang Sawahlunto
Ledakan di lubang tambang batubara di Kota Sawahlunto, Sumbar, berulang kali terjadi dan merenggut puluhan nyawa pekerja. Evaluasi menyeluruh dibutuhkan agar petaka tak lagi terulang.
Ledakan di lubang tambang batubara di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, berulang kali merenggut nyawa. Puluhan nyawa pekerja melayang dalam dua dekade terakhir. Mesti ada evaluasi menyeluruh agar petaka tak lagi terulang.
Jumat (9/12/2022) pagi, ledakan terjadi di lubang tambang batubara milik PT Nusa Alam Lestari (NAL) di Desa Salak, Kecamatan Talawi, Sawahlunto. Ledakan yang terjadi pukul 08.30 itu berlokasi di salah satu persimpangan lubang tambang di kedalaman sekitar 280 meter dari permukaan.
Petaka terjadi sekitar 10-15 menit setelah 14 petambang mulai bekerja. “Seluruh korban, 14 orang, berhasil dievakuasi. Sepuluh orang meninggal dan empat lainnya selamat,” kata Kepala Seksi Operasional Kantor Pencarian dan Pertolongan (SAR) Kelas A Padang, Octavianto.
Berdasarkan data Kantor Pencarian dan Pertolongan Kelas A Padang, identitas korban meninggal, yaitu Budiaman (40), Kaspion (50), Nori Indra (35), Asmidi (43), Guntur (37), Samidi, Robi Zaldi, Eri Mario, M Aljina (52), dan Budiman (43). Adapun korban selamat yaitu Aris Munandar (19), Baasyir (50), Prono (50), dan Turisman (43).
Baca juga: Total Sepuluh Pekerja Tewas dalam Ledakan Tambang Batubara di Sawahlunto
Ledakan tersebut diperkirakan dipicu munculnya gas metana di dalam lubang tambang. Saat proses evakuasi, kata Octavianto, tim SAR gabungan menemukan kandungan gas metana (CH) di seluruh lorong meskipun kadarnya tidak sebanyak saat terjadi ledakan. Di dalam lubang, terdapat pula gas berbahaya lainnya seperti hidrogen sulfida (HS).
Koordinator Inspektur Tambang Penempatan Sumbar Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Hendri M Sidik, Sabtu (10/12/2022), mengatakan, timnya telah mulai menginvestigasi kejadian itu. Namun, dia mengaku belum bisa menyimpulkan penyebab ledakan karena investigasi belum selesai.
Hendri mememastikan, jika ditemukan unsur kelalaian dalam kejadian itu, perusahaan akan diberi sanksi. "Selain itu, kami adakan evaluasi, baik itu terhadap kepala teknik tambang, pejabat pengawas, dan lainnya,” ujarnya.
Klaim perusahaan
Kepala Teknik Tambang PT Nusa Alam Lestari (NAL) Dian Firdaus di Padang, Selasa (13/12/2022), mengklaim, sebelum kejadian, pihaknya sudah menjalankan prosedur operasi standar (SOP). Pengawas operasional sekitar pukul 07.30 mengecek keamanan lubang, mulai dari kandungan gas berbahaya, sistem penyangga, hingga sistem ventilasi. Semuanya dalam kondisi aman.
Hasil pengecekan kondisi udara di lubang pada Jumat pagi itu antara lain kadar oksigen (O2) 20,09 persen atau normal (minimal 19,5 persen), kandungan karbon dioksida (CO2) 0 persen, metana (CH4) 0 persen, dan hidrogen sulfida (H2S) 0 persen. Detektor gas juga dipastikan berfungsi dan dikalibrasi sekali enam bulan. Begitu pula dengan sistem penyangga dan sistem transporasi juga aman.
Setelah dipastikan aman, kata Dian, pengawas mempersilakan pekerja masuk ke dalam lubang. Ada 14 pekerja masuk dengan dua lori, yaitu lori pertama 8 orang dan lori kedua 6 orang. Berselang 10-15 menit kemudian terjadi ledakan di dalam tambang. Empat pekerja bisa keluar menyelamatkan diri dengan lori pertama, sisanya tertinggal.
“Kami pun bingung kenapa bisa terjadi (ledakan). Karena hasil pengukuran sebelumnya aman. Sehari sebelumnya, 8 Desember, kondisinya juga aman. Kami sedang investigasi mencari apa penyebabnya,” kata Dian.
Di lokasi tambang batubara PT NAL, ada 21 bukaan pintu lubang tambang. Sejak kejadian itu, semua operasional tambang dihentikan hingga hasil investigasi selesai. Adapun perusahaan ini mempekerjakan 342 karyawan.
Penyelidikan
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar Komisaris Besar Dwi Sulistyawan mengatakan, sejauh ini, polisi sudah memeriksa delapan saksi dalam insiden di PT NAL. Para saksi itu antara lain pihak perusahaan dan pekerja yang selamat.
Dwi menyebut sejauh ini belum ada indikasi kelalaian. Namun, kepala teknik tambang menjelaskan, ledakan di dalam lubang kemungkinan terjadi karena adanya pertemuan percikan api dan gas metana. Di lokasi tambang tersebut, memang banyak gas metana.
“Kami sedang mengecek, sumber apinya dari mana. Apakah memang ada tindakan di luar SOP atau ada kelalaian dari petugas tambang termasuk pegawainya,” kata Dwi.
Perkiraan sementara, kata Dwi, percikan api berasal dari alat tambang jack hammer. Adapun gas metana muncul belakangan, diperkirakan terjadi saat aktivitas pengambilan batubara sedang berlangsung. “Kami akan jerat dengan sanksi pidana jika ditemukan unsur kelalaian,” ujar Dwi.
Petaka berulang
Ledakan atau kecelakaan tambang batubara di Sawahlunto bukan sekali ini saja merenggut nyawa para pekerja. Dari catatan Kompas, sejak 2009, setidaknya ada lima kali kejadian yang menewaskan sedikitnya 51 orang. Khusus PT NAL, ini merupakan kejadian kedua. Pada 26 Juli 2016, juga terjadi ledakan di lubang tambang yang dipicu gas metana yang menewaskan tiga pekerja dan dua lainnya luka-luka.
Selain PT NAL, ledakan atau kecelakaan tambang pernah terjadi di perusahaan lain. Pada 16 Juni 2009, lubang tambang batubara milik CV Perdana di perbatasan Kecamatan Talawi, Sawahlunto, dan Kecamatan Koto Tujuah, Sijunjung, meledak dipicu gas metana. Sebanyak 31 pekerja tewas.
Baca juga: Tambang Batubara di Sawahlunto Runtuh, Tiga Pekerja Meninggal
Kami akan jerat dengan sanksi pidana jika ditemukan unsur kelalaian (Komisaris Besar Dwi Sulistyawan)
Kemudian, 24 Januari 2014, lubang tambang milik PT Dasrat Sarana Arang Sejati di Desa Batu Tanjung, Kecamatan Talawi, runtuh dipicu ledakan gas metana di kedalaman 100 meter. Empat pekerja tewas dan satu pekerja hilang.
Pada 12 September 2020, lubang tambang batubara milik CV Tahiti Coal di Desa Sikalang, Kecamatan Talawi, runtuh pada kedalaman 150 meter dari permukaan. Tiga pekerja tewas dan satu pekerja luka berat.
Adapun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar mencatat selama 2009-2022, ada sekitar 50 orang meninggal dan belasan orang luka-luka akibat kecelakaan dan ledakan di tambang batubara di Sawahlunto.
Baca juga: Perbaiki Tata Kelola Tambang di Sawahlunto
Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Hidup Walhi Sumbar Tommy Adam, mengatakan, analisis Walhi menunjukkan, korban kecelakaan tambang itu berbanding lurus dengan persoalan buruknya tata kelola tambang yang terus berfokus pada eksplotasi sumber daya alam, tanpa memperhatikan aspek keselamatan manusia dan lingkungan.
“Selain itu, sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang sering kali tidak mendapat penanganan serius oleh pemerintah, bahkan cenderung diabaikan,” ujar Tommy. Akibatnya, ekspolitasi sumber daya alam tak terbarukan ini terus menuai beragam persoalan dan menabur bencana bagi pekerjanya, masyarakat sekitar, dan lingkungan.
Ditambahkan Tommy, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga memberi ruang langgengnya beragam persoalan tambang.
“Undang-undang baru ini sangat sentralistik, menjadi celah baru baru ’lepasnya’ tanggung jawab pemerintah daerah dalam memastikan operasional tambang yang sesuai aturan,” ujarnya.
Sanksi tegas
Kepala Bidang Sumber Daya Alam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Diki Rafiqi menduga PT NAL berupaya mencuci tangan dengan menyatakan pekerjaan sudah sesuai SOP di tengah proses investigasi sedang berlangsung.
“Perusahaan terlihat membentuk opini publik bahwa pihaknya menyatakan tidak bersalah dengan telah menjalankan SOP. Jika sudah menjalankan SOP, pertanyaan kritisnya, kenapa masih terjadi ledakan?” kata Diki.
Diki menyebut, ledakan di lubang tambang PT NAL sudah dua kali terjadi. Oleh karena itu, LBH Padang menduga kuat tidak ada penegakan hukum efektif sehingga kejadian serupa terulang kembali. Menteri ESDM harus tegas dalam penjatuhan sanksi, begitu pun Polda Sumbar segera memintai pertanggungjawaban hukum.
“Jangan sampai kasus menguap begitu saja padahal sudah banyak nyawa melayang yang tak akan bisa dikonversi uang sebanyak apapun,” ujarnya.
Tak berwenang
Wali Kota Sawahlunto Deri Asta mengatakan, kecelakaan tambang di PT NAL menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk bekerja ekstra hati-hati. Perusahaan tambang mesti meningkatkan lagi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan karyawan mematuhi SOP. Apalagi, batubara di Sawahlunto memiliki kalori tinggi sehingga biasanya ada gas metana.
Deri menyebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Sawahlunto tidak lagi punya wewenang untuk mengawasi tambang. Semua kewenangan ditarik ke pemerintah pusat. Untuk menjalankan pengawasan, pemerintah pusat menempatkan inspektur tambang di tingkat provinsi.
Deri meyakini, kemampuan inspektur tambang melakukan pengawasan terbatas karena mesti mengawasi 19 kabupaten/kota di Sumbar. Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah pusat menambah jumlah pengawas.
Khusus di daerah-daerah yang ada lokasi tambang, seperti Sawahlunto, mestinya ada kantor perwakilan atau unit pelaksana teknis sebagai tempat koordinasi perusahaan dengan inspektur tambang.
“Sekarang memang kesulitan untuk koordinasi. Memang (koordinasi) hanya melalui telepon dan segala macamnya. Tapi tidak kami salahkan, memang petugas/inspektur itu sangat terbatas, sedangkan kawasan yang dikelolanya sangat luas,” ujarnya.
Sejarah panjang
Tambang batubara di Sawahlunto sudah ada sejak zaman kolonial. Potensi besar kandungan batubara di Sungai Ombilin, Kota Sawahlunto, ditemukan insinyur pertambangan Belanda, Willem Hendrik de Greve pada 1868. De Greve meninggal terseret arus Sungai Ombilin tetapi penelitian terus dilanjutkan (Kompas, 4/10/2022).
Penggalian pertama dilakukan tahun 1890 oleh ribuan orang rantai (tahanan Belanda yang dirantai kakinya) dan kuli kontrak dari berbagai daerah. Produksi pertama tahun 1892 sebesar 40.000 ton dari lapangan Sungai Durian. Tambang itu kemudian dikenal dengan nama Tambang Batubara Ombilin.
Pascakemerdekaan Indonesia, pertambangan itu dikelola oleh negara melalui PT Tambang Batubara Ombilin. Kemudian, perusahaan tersebut dilikuidasi menjadi anak usaha PT Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, sejak 1990.
Pertambangan rakyat di Sawahlunto mulai muncul pascareformasi 1998 (Kompas, 18/6/2009). Masyarakat banyak menguasai tambang bawah tanah bekas tambang PT Bukit Asam yang sudah tidak dieksplorasi lagi karena kecilnya cadangan.
Pada 6 Juli 2019, peninggalan tambang batubara Ombilin di Sawahlunto, termasuk peninggalan jalur kereta pengangkut batubara dan gudang batubara di Pelabuhan Teluk Bayur, ditetapkan sebagai warisan dunia UNESCO. Keputusan itu ditetapkan pada sidang Komite Warisan Dunia ke-43 di Baku, Azerbaijan.
Tambang batubara seolah tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sawahlunto. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020, kontribusi sektor pertambangan terhadap produk domestik regional bruto Sawahlunto mencapai 4,82 persen.
Deri menyebut, keberadaan tambang batubara penting sebagai penopang perekonomian masyarakat. Pemkot Sawahlunto mencatat, ada sekitar 3.000 warga Sawahlunto bekerja di perusahaan tambang. Selain itu, tambang batubara di kota ini juga menyuplai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin.
Dengan kondisi itu, Deri berpendapat, aktivitas tambang batubara di Sawahlunto masih dibutuhkan. Namun, agar tak lagi timbul korban, perlu evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola tambang.