Nilai ekspor olahan nikel Sulawesi Tenggara pada Januari-Oktober 2022 mencapai 4,7 milliar dollar AS atau setara Rp 71 triliun. Meski melesat, ekspor olahan nikel dinilai belum berpengaruh besar terhadap ekonomi daerah.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Nilai ekspor besi dan baja di Sulawesi Tenggara, terutama dari pengolahan nikel, sepanjang Januari-Oktober 2022 melejit mencapai 4,7 milliar dollar AS atau setara Rp 71 triliun. Meski terus melesat, ekspor olahan nikel dinilai belum berpengaruh besar terhadap ekonomi daerah dan masyarakat.
Data Badan Pusat Statistik Sultra, periode Januari hingga Oktober 2022, total ekspor Sultra mencapai 4,8 milliar dollar AS. Adapun total volume ekspor mencapai 2,2 juta ton. Nilai dan volume ini meningkat masing-masing 36 persen dan 24 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari total ekspor ini, sebanyak 99,53 persen atau 4,7 milliar dollar AS berasal dari golongan besi dan baja. Nilai ini setara Rp 71 triliun dengan kurs dollar rata-rata Rp 15.000. Produk ekspor tersebut berupa fero nikel (feNi), nickle pig iron (NPI), dan baja tahan karat yang diproduksi oleh sejumlah pabrik peleburan (smelter) nikel di wilayah ini. Ekspor lain dengan jumlah di bawah 1 persen adalah ikan dan udang serta olahan daging dan ikan.
Saat ini, ada tiga smelter nikel yang beroperasi di Sultra, yakni BUMN PT Antam di Kabupaten Kolaka dan Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI), serta PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe. PT VDNI dan PT OSS merupakan investasi asing asal China.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra Siti Saleha mengungkapkan, ekspor pertambangan Sultra memang terus didominasi bidang pertambangan. Persentase bidang ini terus meningkat dan mencapai hampir 100 persen saat ini.
”Yang paling besar itu memang bidang pertambangan, khususnya pengolahan nikel. Setelahnya, baru sektor kelautan dan perikanan, yaitu udang, ikan, dan olahan lainnya. Persentasenya sangat timpang,” kata Saleha di Kendari, Senin (5/12/2022).
Sebelumnya, ia mengungkapkan, sektor pertambangan belum berperan besar terhadap kemajuan perekonomian masyarakat secara luas. Sumbangan pendapatan daerah dari sektor ini juga terbilang kecil. Pada 2018 dana bagi hasil dari sektor pertambangan sebanyak Rp 93 miliar, dan menjadi Rp 166 miliar pada 2019. Saat ini, nilainya di kisaran Rp 200 miliar.
Oleh karena itu, menurut Saleha, sejumlah upaya memajukan ekspor di luar pertambangan terus dilakukan. Sebab, potensi di luar pertambangan sangat besar jika bisa dikelola. Berbagai upaya yang dilakukan, antara lain, pendampingan bagi petani kakao, kelapa, dan mete, serta nelayan yang membudidayakan rumput laut dan udang.
Namun, kendala permodalan hingga keberlanjutan produksi masih membayangi. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama kuat dari lintas sektor untuk menggenjot kualitas, produksi, dan mencari pembeli.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsu Anam menjabarkan, selama lima tahun terakhir, konfigurasi ekspor Sultra terus didominasi produk besi dan baja. Ini, utamanya, berbagai turunan pengolahan nikel dalam bentuk fero nikel dan NPI setelah ekspor bahan mentah nikel dihentikan.
Selama hilirisasi baru di tahap awal, maka nilai tambah sektor ini tidak akan berlipat.
Namun, ekspor yang tinggi ini belum berdampak banyak pada perekonomian daerah. Terlihat dari pertumbuhan ekonomi Sultra yang berada di kisaran 5-6 persen. Padahal, daerah lain penghasil nikel, seperti Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Maluku Utara (Malut), jauh di atas angka tersebut. Pertumbuhan ekonomi Sulteng berada di angka 11 persen, sementara Malut bahkan di angka 24 persen.
Tidak hanya itu, dia menambahkan, penerimaan daerah juga minim. Selain dana bagi hasil, penerimaan pajak tidak tinggi akibat belum optimalnya penerimaan pajak di kawasan pertambangan. Akibatnya, nilai tambah sektor pertambangan tidak begitu terasa meski ekspor terus melejit.
”Ekspor meningkat memang berarti kegiatan industri di daerah juga berjalan. Tapi, selama hilirisasi baru di tahap awal, maka nilai tambah sektor ini tidak akan berlipat. Jika hilirisasi hingga tahap akhir berjalan, dampak ekonominya akan tinggi dirasakan masyarakat,” katanya.
Di luar itu, ia berharap pemerintah tetap mengupayakan peningkatan sektor di luar pertambangan. Sebab, struktur yang timpang berbahaya bagi ekonomi daerah. Saat sektor pertambangan mandek, maka sektor-sektor lain yang bergantung akan ikut tertahan yang membuat masyarakat merasakan dampak buruknya. Padahal, sektor pertanian dan kelautan adalah dua sektor utama yang menopang perekonomian selama ini.
Dalam dua gelombang menjamurnya pertambangan di Sultra, terjadi migrasi tenaga kerja yang tinggi, khususnya dari sektor pertanian. Dalam periode pertama, 2008-2012, tenaga kerja di sektor pertanian berkurang 139.201 orang. Pada periode kedua meningkatnya sektor pertambangan, terjadi penurunan tenaga kerja sektor pertanian sebanyak 49.960 orang dalam kurun 2016-2018.