Restorasi Mangrove di Sumsel Menyimpan Potensi Pendapatan
Apalagi, saat ini Indonesia sedang berkomitmen untuk meminimalkan efek emisi rumah kaca ”net zero emission” pada tahun 2060.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Program restorasi mangrove diprediksi dapat menambah pendapatan bagi warga dari hasil penjualan karbon. Selain itu, pendapatan dari tambak juga akan lebih optimal karena minimnya ongkos produksi. Sosialisasi melalui praktik langsung di lapangan sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan warga setempat.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjajanto, Sabtu (26/11/2022), di Palembang, mengatakan, restorasi mangrove merupakan solusi yang paling tepat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir. ”Saat ini produksi tambak di kawasan pesisir Selat Bangka menurun karena memang jumlah pakannya berkurang,” ujar Pandji.
Karena itu, restorasi mangrove akan membuat pakan bagi ikan dan udang tersedia, yang pada akhirnya akan menambah pendapatan petambak, terutama dari berkurangnya ongkos produksi. ”Dengan hamparan tambak yang lebih sempit, ongkos produksi untuk pemeliharaan ikan dan udang juga akan semakin kecil,” ujarnya.
Tidak hanya itu, pendapatan juga bisa diperoleh dari penjualan karbon. Apalagi, saat ini Indonesia sedang berkomitmen untuk meminimalkan efek emisi rumah kaca net zero emission pada tahun 2060.
Pandji menjabarkan, secara total luasan kawasan mangrove di Sumsel mencapai 345.990 hektar. Area paling luas berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin. Dari luasan tersebut, 18,23 persen masuk dalam kategori kritis atau seluas 565 hektar dan 62,5 hektar berstatus sangat kritis.
Penyebabnya adalah munculnya perambahan liar untuk pembukaan tambak dan perluasan pelabuhan. Jika tidak segera ditanggulangi, situasi ini dikhawatirkan akan berdampak pada kerusakan ekosistem pesisir, termasuk risiko bencana alam.
Menurut Pandji, keberadaan hutan mangrove sangat penting sebagai penunjang keberadaan ekosistem esensial yang memiliki fungsi penyedia sumber nutrisi dan penjaga bentang daerah pesisir. ”Ekosistem mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan menjadi salah satu produsen perikanan laut di suatu daerah,” katanya.
Yang tak kalah penting, hutan mangrove menyimpan cadangan karbon yang tinggi, yakni mencapai 891,70 ton karbon per hektar. Angka itu hampir setara dengan kapasitas simpanan cadangan karbon di kawasan gambut.
Manajer Program Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (Mangrove Ecosystem Restoration Alliance/MERA) Deni Setiawan menuturkan, merestorasi mangrove diprediksi akan mendatangkan keuntungan, terutama di kawasan tambak.
Hasil kajian Yayasan Konservasi Alam Nusantara bersama akademisi dari Universitas Sriwijaya menunjukkan bahwa potensi karbon yang ada di pesisir Selat Bangka jika direstorasi mencapai Rp 19,58 triliun dengan stok karbon mencapai 6.069,78 ton CO2eq perhektar. Nilai ini lebih besar daripada manfaat langsung dari hasil tambak sebesar Rp 2,5 triliun.
Untuk itu, Deni mengajak para petambak di pesisir Selat Bangka, terutama di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, untuk merestorasi hutan mangrove di pesisir dengan menanam tanaman yang cocok hidup pada ekosistem mangrove di kawasan tambaknya. ”Sekarang kami sedang mengkaji mekanisme restorasi yang cocok diterapkan di kawasan tambak Tulung Selapan,” ucapnya.
Selama ini, ujar Deni, petambak di Tulung Selapan memilih untuk terus membabat mangrove karena konsep budidaya yang digunakan sangat tradisional sehingga perluasan lahan adalah satu-satunya jalan untuk meningkatkan produksi. Padahal, cara ini sangat tidak efektif karena bisa menghancurkan ekosistem mangrove dan operasionalisasinya berbiaya sangat tinggi.
Untuk meyakinkan para petambak, ujar Deni, pihaknya akan membuat demplot berupa tambak yang 70 persennya akan ditanami mangrove. ”Kami meyakini hasil ikan bandeng dan udang windu yang akan diperoleh pada tambak setidaknya sama dengan tambak yang belum direstorasi. Namun, petambak akan diuntungkan karena ongkos operasinya akan berkurang,” katanya.
Sebaliknya, jika program restorasi gagal, pihaknya berkomitmen akan mengganti kerugian petambak akibat penurunan produksi setelah restorasi. Sistem ini sudah dicoba di Jawa Tengah dan Kalimantan Timur. Untuk memastikan program ini berhasil atau tidak, dibutuhkan setidaknya tiga kali siklus pemanenan.
Sekretaris Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, Imam Khoiri menyatakan, saat ini penduduk tidak lagi membuka tambak di kawasan mangrove karena situasinya sudah berbeda. Hasil tambak sudah menurun signifikan dalam empat tahun terakhir.
Di desa itu, dari 1.100 keluarga yang tinggal di sana, 72 persen adalah petambak. Luas tambak yang berada di desa itu pun mencapai 4.000 hektar.
Sebelum tahun 2018, ujar Imam, jumlah bandeng yang bisa diperoleh dalam satu kali masa panen mencapai 2 ton. Sementara udang windu bisa mencapai 1 ton. Namun, dalam empat tahun terakhir, jumlahnya menurun. Hasil panen bandeng hanya 500 kilogram (kg) dan udang 300 kg.
Penurunan ini disebabkan oleh perubahan iklim yang membuat siklus musim tidak menentu. Akibatnya, pertumbuhan bandeng dan udang windu pun melambat. Biasanya udang bisa dipanen tiga bulan sekali, sekarang butuh waktu enam bulan pemeliharaan sebelum dipanen. Adapun bandeng biasanya butuh waktu enam bulan pemeliharaan sampai panen, tetapi sekarang waktu pemeliharaannya mencapai delapan bulan.
Imam menyatakan, warga akan menyambut baik rencana restorasi mangrove tersebut. ”Biasanya warga memang perlu ada contoh dulu sebelum memulai sesuatu. Semoga demplot yang akan dibuka nanti membuahkan hasil,” ujar Imam.