PGI Minta PTPN III Hentikan Kekerasan dalam Konflik Lahan di Pematang Siantar
PGI meminta PT Perkebunan Nusantara III tidak menggunakan kekerasan dalam menangani konflik lahan di Pematang Siantar. Puluhan rumah dan ladang warga digusur dari lahan yang hak guna usahanya sudah mati belasan tahun.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
DOKUMENTASI WARGA KELURAHAN GURILLA
Warga menghadang petugas yang menjaga alat berat yang merobohkan rumah warga di lahan konflik masyarakat dengan PT Perkebunan Nusantara III di Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, Jumat (25/11/2022).
PEMATANG SIANTAR, KOMPAS — Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia meminta PT Perkebunan Nusantara III tidak menggunakan kekerasan dalam menangani konflik lahan di Kelurahan Gurilla, Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Puluhan rumah dan ladang warga sudah digusur dari lahan yang hak guna usahanya sudah mati belasan tahun itu.
Kepala Humas Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jeirry Sumampow mengatakan, penanganan konflik lahan antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III dengan masyarakat di Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Sitalasari, itu sarat penggunaan kekerasan. Aparat dikerahkan untuk berhadapan dengan warga. Sejumlah alat berat pun diturunkan untuk merobohkan rumah.
Jeirry meminta PTPN III membangun dialog dengan masyarakat agar konflik lahan bisa diselesaikan dengan lebih memperhatikan aspek kemanusiaan. ”Dari data yang kami terima, PGI menduga terjadi kerancuan koordinasi antara PTPN III dan Badan Pertanahan Nasional terkait lahan tersebut,” katanya.
Sekretaris Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi) Komter Sihaloho mengatakan, warga menggarap lahan seluas 129 hektar sejak hak guna usaha PTPN III di Kelurahan Gurilla tersebut habis pada tahun 2004. Futasi pun menjadi organisasi persatuan warga yang menggarap lahan tersebut.
”Di lahan itu kami bertani dan mendirikan rumah selama 18 tahun. Kami sudah punya KTP dengan alamat di area ini. Seharusnya dalam menerbitkan HGU baru, keberadaan kami dipertimbangkan,” kata Komter.
DOKUMENTASI WARGA KELURAHAN GURILLA
Petugas menjaga alat berat yang merobohkan rumah warga di lahan konflik masyarakat dengan PT Perkebunan Nusantara III di Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, Jumat (25/11/2022).
Komter menyebut, masyarakat hidup di sana dengan bertani tanaman semusim, seperti jagung, ubi, dan serai. Selain itu, mereka juga menanam durian, nangka, pinang, dan alpukat. Konflik pun mulai terjadi sejak tahun 2010 ketika petugas PTPN III meminta masyarakat meninggalkan lahan garapan bekas HGU itu.
”Ketika itu mereka tidak bisa menunjukkan surat perpanjangan HGU atau HGU baru sehingga tindakan perusahaan untuk mengusir kami pun berhenti,” ujarnya.
Seharusnya dalam menerbitkan HGU baru, keberadaan kami dipertimbangkan.
Komter mengatakan, HGU PTPN III di Pematang Siantar tidak diperpanjang untuk kepentingan pembangunan kota, seperti permukiman dan infrastruktur jalan. Sebagian dari lahan yang digarap masyarakat pun sudah dimanfaatkan untuk pembangunan jalan tol dan jalan lingkar luar Kota Pematang Siantar. Saat ini lahan yang digarap masyarakat sekitar 70 hektar.
Akan tetapi, pada 2022, HGU justru diterbitkan lagi di area itu. ”Beberapa kali kami ditunjukkan HGU yang baru terbit tahun 2022 dan kami diminta meninggalkan lahan yang sudah belasan tahun kami garap,” katanya.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Masyarakat adat dari Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, melakukan ritual membakar kemenyan dalam unjuk rasa di Kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (23/9/2019). Mereka meminta agar hak atas tanah ulayat mereka dikembalikan.
Dialog antara PTPN III dan masyarakat pun sudah beberapa kali dilakukan, tetapi berakhir buntu. Komter menyebut, hampir seluruh masyarakat tidak mau menerima uang tali asih dan tetap ingin bertahan di lahan itu. Ada beberapa yang sudah menerima uang tali asih dan rumahnya langsung dirobohkan.
”Beberapa hari terakhir ini ada delapan rumah yang dirobohkan meskipun tidak ada menerima uang tali asih. Tanaman kami pun dirusak oleh petugas dengan alat berat ekskavator yang sangat banyak,” kata Komter.
Ia menyebut, beberapa kali mereka menghadang ekskavator sehingga penggusuran batal. Namun, ratusan petugas didatangkan agar alat berat bisa merobohkan rumah warga.
Terkait hal itu, Dini Usman dari Humas PTPN III mengatakan, pihaknya akan memberikan jawaban atas pertanyaan Kompas pada Senin pekan depan.