Perempuan Pesisir Selat Bangka Berdaya dengan Pangan Lokal
Potensi kawasan pesisir tidak berhenti di hasil tambak dan laut. Tangan-tangan kreatif mengolah bahan pangan pesisir menjadi kudapan bernilai ekonomi tinggi. Para perempuan pesisir selat Bangka sedang mengembangkannya.
Jari jemari Sri Natoya tampak terampil mengolah campuran 100 gram tepung nipah dengan 100 gram tepung terigu. Ia lalu menambahkan 125 gram mentega dan 140 gram gula halus. Adonan itu digunakan untuk membuat choco chips.
Setelah diaduk rata, ia kemudian menambahkan 1 sendok baking powder, vanili bubuk, satu butir telur. Adonan itu kemudian dibentuk lempengan untuk menjadi kue kering. Sebelum dimasukkan oven, butiran coklat diletakkan di atasnya. Adonan yang sudah dicetak itu kemudian dipanggang dalam oven selama 30 menit dengan panas sekitar 160 derajat celcius.
Sri bersama tujuh wanita lainnya berkumpul di salah satu rumah warga yang ada di Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Mereka tengah mengikuti pelatihan yang digelar oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara Kamis, (17/11/2022).
Desa dengan jumlah penduduk sebanyak 1.164 kepala keluarga ini terletak sejauh sekitar 6,5 kilometer dari Selat Bangka. Adapun dari Palembang, pengunjung harus menggunakan dua moda transportasi yakni moda transportasi darat dan sungai. Jalur darat membentang dari Palembang menuju dermaga Tulung Selapan sejauh 102 kilometer. Setelah itu perjalanan dilanjutkan melalui jalur sungai menggunakan kapal cepat dengan waktu tempuh sekitar 2,5 jam.
Di sana, warga diajari cara mengolah sejumlah bahan pangan seperti terigu nipah dan juga bandeng. Sejumlah variasi pangan berbasis kekayaan pangan lokal tercipta di rumah tersebut. Didampingi oleh Indah Widiastuti, dosen Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, para ibu mulai mempraktikan cara mengolah panganan berbahan dasar tepung nipah.
Baca juga : Indah Widiastuti dan Manfaat Ajaib di Balik Tepung Nipah
Bagi Sri, pelatihan ini cukup menarik karena selama ini dia tidak menyadari bahwa buah nipah tua bisa diolah menjadi tepung. "Selama ini, buah nipah tua biasanya kami buang karena dianggap tidak berguna. Ternyata dari tepung nipah kita bisa membuat kue yang menyehatkan," ujarnya.
Setelah dipanggang selama 30 menit, kue choco chips kreasi para ibu itu pun matang dan siap disajikan. Para warga yang sudah menunggu tidak sabar untuk segera mencicipi. "Rasanya seperti choco chips bertekstur kelapa," ujar Ahmad Soleh salah satu warga yang mencicipi kue hasil karya ibu-ibu tersebut.
Baca juga : Sekitar 20 Persen Lahan Mangrove di Sumsel Kritis
Pelatihan tidak berhenti di sana, di saat yang sama mereka juga dilatih untuk membuat sejumlah panganan berbahan bandeng. Ikan air payau itu merupakan hasil tambak dari para petambak di kawasan tersebut. Dari 1.100 kepala keluarga yang ada di desa Simpang Tiga Abadi, 72 persen bekerja sebagai petambak udang dan bandeng.
Adalah Nuraeni (53) inisiator Kelompok Wanita Nelayan Fatimah Az-zahra dari Makassar yang khusus didatangkan untuk mengajarkan para ibu-ibu di daerah itu bagaimana membuat abon bandeng, nuget bandeng, dan bandeng tanpa duri. Menurutnya, bandeng menjadi bahan utama karena banyak tersedia di kawasan Tulung Selapan.
Hasilnya cukup menjanjikan. Abon bandeng hasil karya warga, misalnya, akan dijual seharga Rp 25.000 per 100 gram. Keuntungan yang bisa diperoleh mencapai 30 persen.
Perempuan mandiri
Nuraeni berharap, perempuan pesisir di Tulung Selapan bisa lebih konsisten menjalankan usahanya dengan fokus pemasaran di wilayah sekitarnya terlebih dahulu lalu kemudian menyebar ke sejumlah wilayah.
Pola ini sudah ia terapkan sejak membina perempuan pesisir mulai tahun 2007. "Saya mau ibu-ibu di desa ini bisa hidup mandiri untuk membantu perekonomian suaminya tidak hanya duduk diam menunggu hasil dari suami," ucap ibu tiga anak ini.
Ketika perempuan pesisir mandiri dan cerdas, kehidupan keluarga di kawasan pesisir pun berangsur membaik.
Menurutnya, permasalahan yang terjadi di kawasan pesisir tidak lepas dari kurang berdayanya perempuan pesisir. "Keluarga nelayan di pesisir biasanya terjerat masalah ekonomi karena utang dengan para tengkulak yang tidak pernah tuntas," ucapnya.
Akar masalah itu menjalar ke masalah lain seperti kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan dini, hingga kematian akibat mencari ikan dengan cara ilegal. "Ketika muncul masalah dalam rumah tangga, istri lah yang yang menjadi korban utama," ucap Nuraeni
Menurutnya, setiap perempuan yang tinggal di pesisir memiliki permasalahan yang tidak jauh berbeda. Solusinya pun juga hampir serupa. Karena itu, pelatihan dalam membuat aneka panganan terus ia sampaikan agar perempuan di pesisir bisa lebih mandiri. Ketika perempuan pesisir mandiri dan cerdas, Nuraeni meyakini kehidupan keluarga di kawasan pesisir pun berangsur membaik.
Baca juga : Tergerus Perambahan, Hutan Mangrove di Sumsel Kian Mengkhawatirkan
Menurut Nuraeni, perempuan itu bagaikan leher dalam keluarga. Dia adalah penggerak dan pemberi masukan untuk suaminya. Ketika lehernya kuat, maka kepalanya akan tangguh. "Karena itu untuk memperbaiki kawasan pesisir, mulailah dari istri para nelayan atau petambak," ujar Nuraeni.
Sekretaris Desa Simpang Tiga Abadi Imam Khoiri mengutarakan, selama ini perempuan di desanya dianggap sebelah mata. "Banyak yang menganggap perempuan di desa ini urusannya tidak jauh dari sumur, dapur dan kasur," ucapnya.
Dengan pelatihan ini diharapkan para ibu-ibu dapat mengembangkan kemampuannya termasuk membantu suaminya mencari nafkah. Imam juga berharap pendampingan tidak hanya berhenti pada pelatihan semata tetapi berlanjut pada permodalan dan juga pemasaran produk.
Selama ini, kebanyakan hasil sumber daya alam dari Tulung Selapan hanya dijual dalam bentuk mentah tanpa diolah. Misalnya bandeng dan udang windu dijual ke Jakarta, Bangka Belitung, dan Palembang. "Itulah sebabnya ketika harga ikan jatuh tentu akan sangat berpengaruh pada pendapatan para petambak," ujarnya.
Namun ia meyakini jika hasil tambak dikelola terlebih dahulu sebelum dipasarkan, harganya akan jauh lebih besar. Hal ini sudah ia buktikan ketika harga bandeng yang berukuran 100 gram hanya dihargai Rp 2.500 per kg, namun ketika disulap menjadi bandeng presto harganya melambung menjadi Rp 35.000 untuk lima ekor bandeng," ujar Imam.
Dikirim mentah
Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten Ogan Komering Ilir Eka Nurmayani menuturkan potensi perikanan di Ogan Komering Ilir sangat besar. Hanya saja, pemasaran dan sumber daya manusia masih menjadi kendala. Ia mencontohkan udang yang diambil dari kawasan pesisir Ogan Komering Ilir mentah-mentah dikirim ke Bangka Belitung. Di sana justru dijadikan terasi Bangka.
Pemerintah sendiri terus membangun kerjasama dengan berbagai pihak terkait untuk memperkuat kerjasama agar hasil perikanan dari daerah potensial dapat diangkat dan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat setempat. "Jangan sampai bahannya dari kita tetapi yang dapat nama daerah lain," kata dia.
Manager Program Aliansi Restorasi Ekosistem Mangrove (Mangrove Ecosystem Restoration Alliance/MERA) Deni Setiawan menyebut, potensi alam di Tulung Selapan sungguhlah besar. Hasil penelitian menggambarkan, nilai manfaat langsung dari budidaya tambak yang digeluti sebagian besar warganya mampu memberikan nilai ekonomi hingga Rp 2,1 triliun per tahun .
Angka itu belum termasuk nilai manfaat langsung hutan mangrove yang mencapai Rp 113 miliar per tahun. Dengan karunia ini , ujar Deni, sudah seharusnya, warga Tulung Selapan terus mengembangkan kapasitasnya agar nilai manfaat yang sudah diperoleh dapat dikelola dengan bijak.