Imajinasi Tak Terbatas Anak-anak Berkebutuhan Khusus
Anak-anak berkebutuhan khusus juga memiliki kemampuan dan bakat yang istimewa. Mereka hanya memerlukan ruang dan kesempatan untuk membuktikannya.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Kuliner nasi grombyang khas Pemalang, Jawa Tengah, dan nasi gudeg khas Yogyakarta tampak tergambar detail dalam goresan pensil warna karya Latisha (10). Sendok, mangkuk, daun pisang sebagai alas penyajian, teh sebagai minuman pendamping, serta segala lauk, dalam bentuk utuh dan potongan kecil ada di sana. Semua terlihat tergores dengan jeli, cermat, dan hati-hati.
Keindahan detail tersebut tidak hanya tergambar dalam bentuk. Setiap hal detail itu pun diberinya warna yang berbeda-beda, menyerupai warna aslinya. Warna coklat teh pun sengaja diperlihatkannya dengan sebagian cairannya yang digambarkan sedikit meluber di atas permukaan gelas.
Semuanya digambarkannya dengan sukacita karena dia memang senang menggambar ragam kuliner. Kenapa makanan?
”Saya suka menggambar makanan karena saya suka makan,” ujar gadis kecil berkacamata tebal ini sembari tertawa lebar.
Minggu (6/11/2022), Latisha bersama tiga temannya asyik menggambar, memeragakan kepiawaian mereka menggoreskan pensil, membuat beraneka ragam bentuk di atas kertas gambar.
Latisha bukanlah anak dengan daya penglihatan bagus. Dua matanya mengalami gangguan retina. Penglihatannya hanya sepenuhnya bergantung pada mata kanan yang sebenarnya juga tidak mampu berfungsi optimal karena kondisinya minus 7 dan gangguan silinder.
Ibu Latisha, Popi Yulianti (44), mengaku, dirinya juga kerap heran karena kondisi putrinya, yang sering kali diakuinya ”ajaib”. Sekalipun memiliki gangguan penglihatan, Latisha, saat di rumah, tetap bisa naik turun tangga, berlari-lari, dan bermain tanpa kacamata. Dia pun juga masih bisa memasukkan benang ke dalam jarum jahit.
Di tengah semua kekurangannya, Popi pun kurang paham kenapa anak sulungnya ini bisa begitu cermat dengan detail dan hal-hal kecil.
”Keajaiban dari Tuhanlah yang membuatnya bisa begitu,” ujarnya.
Gangguan penglihatan Latisha dialami sejak lahir. Popi menuturkan, gadis kecil ini dahulu dilahirkannya secara prematur, saat usia kandungannya baru menginjak usia enam bulan. Kelahiran sebelum waktunya tersebut terpaksa dilakukan karena saat itu Popi mengalami tekanan darah tinggi.
”Jika tidak dilahirkan saat itu, saya dikhawatirkan justru mengalami preeklamsia,” ujarnya.
Preeklamsia adalah komplikasi kehamilan yang bisa berakibat fatal baik bagi ibu maupun bayinya. Mempertimbangkan kondisi tersebut, Latisha pun dilahirkan dengan berat lahir hanya berkisar 8 ons.
Sekalipun melalui masa-masa penuh kekhawatiran merawatnya semasa bayi, saat beranjak besar, Latisha justru menampakkan bakat dalam menggambarkan dan membuat desain. Saat bersekolah di taman kanak-kanak, dia pun bisa membuat prakarya, merancang dan menciptakan baju berbahan karton, dengan bentuk unik.
Latisha sering disebut sebagai anak berkebutuhan khusus, dengan gangguan pada penglihatan atau low vision. Gangguan inilah yang kemudian juga menghambat kemampuan akademisnya, membuat dia masih kesulitan untuk membaca dan menulis.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka, setelah sempat menempuh pendidikan reguler di jenjang TK, Popi kemudian memutuskan mengalihkan Latisha untuk belajar di Pusat Kegiatan Belajar (PKBM) Puspa Terang Nusantara di Kecamatan Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat. PKBM Puspa Terang Nusantara adalah PKBM yang secara khusus menangani anak-anak berkebutuhan khusus agar bisa lebih mandiri dan mengembangkan potensinya secara maksimal.
Kreativitas dan kemampuan untuk menggambarkan setiap detail dengan indah tersebut juga dimiliki oleh penyandang autis Matthew Marthen Kurnia (15). Tahun 2017, karya Marthen yang dikirim ke 45th International Children’s Exhibition of Fine Arts (ICEFA) bahkan mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Ceko. Karyanya yang menggambarkan orang sedang menyantap piza itu pun dipajang selama enam bulan di Lidice, Ceko.
Ibunya, Agustina (52), mengatakan, sejak masih berusia 2 tahun, Marthen, anak tunggalnya, yang kini bersekolah di PKBM Puspa Terang Nusantara ini, sudah sangat gemar menggambar.
”Tembok, lantai, dan setiap sudut rumah, semuanya penuh dengan coret-coretan dia (Marthen),” ujarnya.
Pengajar artistik PKBM Nusantara, Desma, mengatakan, Marthen suka menggambar apa saja, baik yang dilihatnya secara langsung maupun yang sebatas dilihat secara daring di Google atau Pinterest.
Marthen sangat terbuka dengan masukan. Ketika kemudian mendapatkan kritik bahwa bentuk yang digambar kurang proporsional, dia tidak akan ragu untuk langsung menghapus atau memperbaikinya.
Namun, Desma menuturkan, anak tersebut tidak bisa menerima masukan perihal warna. ”Warna yang dipakai tidak selalu harus sesuai dengan warna asli benda yang digambar. Pilihan warna yang digunakan adalah bagian dari kemerdekaan dari imajinasinya sendiri,” ujarnya.
Hal itu pun langsung dibuktikan Marthen saat menggambar Candi Borobudur, Minggu (6/11/2022). Sama sekali tidak menggunakan warna asli batuan seperti hitam atau abu-abu, siang itu, candi yang digambarnya terlihat lebih ”ceria”, karena dia membubuhkan warna-warna cerah seperti merah muda dan biru pada susunan batuannya.
Latisha dan Marthen adalah contoh bahwa anak-anak berkebutuhan khusus pun adalah anak yang istimewa. Dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki, dua anak ini pun menjadi bagian dari 40 anak berkebutuhan khusus yang karya gambarnya dicetak menjadi desain kaus-kaus dari merek apparel asal Jakarta, Zoleka.
Founder Zoleka, Irene Ridjab, mengatakan, sebanyak 40 anak tersebut kini telah membuat sedikitnya 30 desain atau gambar yang dicetak di atas kaus. Tahun ini, sebagian dari mereka bahkan dilibatkan untuk membuat desain jersey peserta wisata sepeda Tour de Borobudur 2022. Gambar Candi Borobudur karya Marthen bahkan tergambar jelas di bagian dada dari jersey tersebut.
Selama setahun terakhir, Irene mengatakan, produk-produk Zoleka memang difokuskan memakai desain karya anak-anak berkebutuhan khusus ini. Hal itu sengaja dilakukan untuk memberikan ruang bagi mereka untuk berkarya.
”Selama ini, anak-anak berkebutuhan khusus sering kali cuma dianggap beban, aib, obyek yang patut dikasihani belaka. Mereka membutuhkan ruang sebagai media pembuktikan diri bahwa sebenarnya masing-masing dari mereka sebenarnya memiliki kemampuan dan keistimewaan,” ujarnya.
Sebanyak 40 anak tersebut selama ini juga selalu mendapatkan royalti dari hasil penjualan kaus dengan persentase yang telah disepakati sejak awal.Khusus untuk jersey Tour de Borobudur, anak-anak langsung mendapatkan royalti dengan perhitungan semua jersey habis terjual.
Tour de Borobudur 2022 diikuti oleh 1.500 peserta. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang juga terlibat sebagai salah satu peserta, memuji karya anak-anak tersebut sebagai karya yang luar biasa.
”Kami akan berupaya agar anak-anak ini juga bisa terlibat, kembali berkarya membuat desain untuk kaus untuk acara-acara lainnya,” ujarnya.
Lewat desain, anak-anak berkebutuhan khusus membuktikan bahwa mereka tidak sekadar butuh perhatian. Anak-anak ini membutuhkan ruang dan kesempatan untuk membuktikan bahwa kemampuan mereka pun layak untuk diperhitungkan.