Ekshumasi Akan Ungkap Penyebab Kematian Korban Kanjuruhan
Proses ekshumasi dan otopsi keduanya dilakukan selama hampir tujuh jam.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Otopsi terhadap jenazah Natasya Debi Ramadani (16) dan adiknya, Nayla Debi Anggraeni (14), yang dilakukan oleh tim dokter forensik, Sabtu (5/11/2022), di makam Desa Sukolilo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, Jawa Timur, diharap akan mengungkap penyebab kematian korban.
Proses ekshumasi dan otopsi keduanya dilakukan selama hampir tujuh jam. Penggalian makam dimulai selepas pukul 09.00 atau setelah ayah korban, Devi Athok Yulfitri (43), tiba di lokasi. Sedangkan proses otopsi berakhir sekitar pukul 15.45.
Kegiatan ini melibatkan tim dokter forensik independen, terdiri atas dua penasihat dan enam operator. Mereka berasal dari tiga elemen institusi pendidikan kedokteran dan empat fasilitas kesehatan.
Institusi pendidikan yang dimaksud adalah Fakultas Kedokteran Hang Tuah Surabaya; Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya; dan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
Sedangkan empat fasilitas kesehatan ialah RSUD Kanjuruhan; RSUD dr Soetomo, Surabaya; RSUD Sarifah, Bangkalan; dan RS Pendidikan Universitas Airlangga.
Seusai melakukan otopsi, Ketua Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) wilayah Jawa Timur sekaligus Ketua Tim Exhumatio dan Otopsi Tragedi Kanjuruhan, Nabil Bahasuan, mengatakan, pihaknya telah melakukan serangkaian pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, dan pemeriksaan penunjang.
Proses otopsi memakan waktu karena terkendala penggalian. Menurut Nabil, kondisi jenazah telah mengalami proses pembusukan karena sudah satu bulan dimakamkan.
Tim dokter mengambil sampel untuk diperiksa di laboratorium independen, tetapi Nabil enggan membeberkan sampel yang dimaksud.
”Pemeriksaan (laboratorium) paling lama delapan minggu, tetapi bisa dipercepat,” ucapnya tanpa menyebut waktu secara pasti kapan pemeriksaan paling cepat bisa dilakukan.
Disinggung apakah ada luka dari hasil pemeriksaan fisik, Nabil akan menjawabnya dalam laporan visum nantinya.
Devi Athok Yulfitri berharap ada kejujuran, keterbukaan, dan keadilan untuk anak-anaknya yang menjadi korban tragedi yang menewaskan 135 orang itu. Devi yakin kedua anaknya meninggal akibat gas air mata. Hal itu terlihat di wajah korban yang biru kehitaman. ”Natasya hidung keluar darah, sedangkan Nayla keluar busa. Sedangkan di badan tidak ada bekas terinjak,” katanya di sela-sela ekshumasi.
Ungkap penyebab
Deputi V Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Irjen Armed Wijaya mengatakan, dari hasil otopsi ini diharapkan semua yang menjadi penyebab kematian korban jelas dan terang benderang. Pihaknya akan terus memonitor hasil otopsi serta bagaimana tindak lanjutnya dalam proses penyidikan.
”Otopsi akan membuktikan penyebab kematian korban bukan lantaran terinjak (berdesakan). Karena isu yang berkembang salah satu penyebab kematian diakibatkan oleh gas air mata. Ditemukan juga gas air mata kedaluwarsa,” ujar Armed yang datang langsung ke pemakaman Desa Sukolilo menyaksikan proses ekshumasi.
Terkait penyidik yang belum menanggapi temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Armed mengatakan pihaknya juga terus memonitor.
Rekomendasi TGIPF, lanjut dia, sudah jelas untuk memeriksa semua petugas yang terlibat saat kejadian. Saat ini ada enam orang yang menjadi tersangka. Diharapkan, jika ada pihak lain yang benar-benar terlibat mesti dilakukan pemeriksaan.
Hal senada disampaikan Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny J Mamoto. Menurut Benny, penggalian makam dan otopsi menjadi bagian dari proses penyidikan. Tujuannya untuk mengetahui penyebab kematian korban.
Benny menyatakan, Kompolnas sejak awal telah mengawal dan menyupervisi proses penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur. ”Untuk proses penyidikan perlu ada kerja sama yang baik dari semua pihak, termasuk pihak keluarga, sehingga penyidikan bisa dilakukan optimal,” katanya.
Selain Kemenko Polhukam dan Kompolnas, proses ekshumasi juga disaksikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hadir pula sejumlah Aremania dan kuasa hukum keluarga korban.
Meski otopsi sudah dilakukan, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, pelindungan terhadap korban dan keluarganya tetap berlangsung. Hal itu dilakukan agar mereka tidak mendapat intimidasi dan tekanan selama proses peradilan.
Menurut Hasto, pendampingan terhadap korban dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Bentuk pelindungan dan pendampingan juga bergantung pada keperluan. Sejauh ini ada 18 korban dan keluarga Tragedi Kanjuruhan yang didampingi LPSK.
”Kalau mereka memerlukan pelindungan fisik, kami berikan pelindungan fisik. Kalau cukup pelindungan prosedural, kami berikan. Kalau ada yang butuh bantuan rehabilitasi medis kami berikan, psikologis juga begitu,” katanya.