Tak Bermitra dengan Pabrik, Petani Sawit di Kaltim Rentan Dipermainkan Tengkulak
Seiring dibukanya ekspor CPO, harga TBS sawit mulai naik dari sebelumnya merosot. Kendati demikian, petani yang tak bermitra dengan perusahaan belum sepenuhnya menikmati kenaikan harga tersebut.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Harga tandan buah segar sawit mulai naik seiring dibukanya ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) sejak Juli lalu. Kendati demikian, sejumlah petani kelapa sawit di Kalimantan Timur yang tak bermitra dengan perusahaan masih sulit mendapatkan harga yang pasti.
Terakhir, Dinas Perkebunan Kaltim merilis harga tandan buah segar (TBS) petani bermitra. Petani bermitra adalah petani yang sudah menjalin kerja sama dengan perusahaan atau pabrik sawit. Dengan kemitraan itu, petani bisa menjual langsung hasil panennya kepada perusahaan. Adapun perusahaan wajib membayar TBS itu sesuai harga yang sudah ditetapkan pemerintah provinsi.
Pada periode 16-31 Oktober 2022, harga TBS petani bermitra yang dipanen dari pohon berumur di atas 10 tahun naik dari Rp 2.191,57 menjadi Rp 2.220,86 per kilogram. Kenaikan itu terjadi di semua usia pohon sawit penghasil TBS, yakni umur 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun, 7 tahun, dan 9 tahun. Semua di atas angka Rp 2.000, kecuali untuk TBS dari pohon sawit umur 3 tahun yang naik dari Rp 1.932,21 menjadi Rp Rp1.958,29 per kilogram.
Kendati demikian, Erwan (39), petani sawit di Penajam Paser Utara, tak bisa menikmati ketetapan harga tersebut. Di periode tersebut, ia hanya mendapat harga Rp 2.020 per kilogram TBS atau selisih Rp 200 dari harga yang ditetapkan Pemprov Kaltim untuk TBS dari pohon sawitnya berusia di atas 10 tahun.
”Sekarang malah sudah turun lagi jadi Rp 1.970,” katanya, dihubungi dari Balikpapan, Jumat (4/11/2022).
Erwan memang tak bermitra dengan perusahaan atau pabrik sawit. Ia menjual hasil panen sawit ke pengepul atau tengkulak di sekitar desanya di Kecamatan Sepaku. Hal serupa juga dialami Ahmad Indradi (44), petani sawit di Kecamatan Babulu, Penajam Paser Utara.
Ahmad dan sejumlah kawannya sudah berulang-ulang mendaftarkan diri untuk bermitra dengan perusahaan sawit. Namun, berulang-ulang pula ia gagal menjalin kemitraan dengan pabrik sawit dengan berbagai alasan, salah satunya administrasi. Pihaknya pun tak mendapat kejelasan apa saja kekurangan syarat administrasinya.
”Posisi petani yang tak bermitra ini lemah sekali karena tak ada perlindungan harga TBS. Bermitra dengan perusahaan juga sulit. Kami pernah bersurat ke pemerintah dan perusahaan, tetapi sampai sekarang kami masih belum bisa menjalin kemitraan dengan pabrik,” ujar Ahmad.
Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ujang Rachmad mengatakan, untuk melindungi petani sawit dari naik-turunnya harga yang tak pasti, pemerintah sudah punya solusi. Hal itu tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS).
Posisi petani yang tak bermitra ini lemah sekali karena tak ada perlindungan harga TBS.
Peraturan itu dibuat agar petani sawit menerima harga jual TBS yang layak, yakni bermitra langsung dengan perusahaan atau pabrik sawit. Sebulan dua kali, pemerintah provinsi mengeluarkan harga acuan TBS melalui dinas perkebunan yang wajib ditaati perusahaan pengolah sawit saat membeli TBS dari petani.
Kendati demikian, ia mengakui bahwa masih terdapat sejumlah petani sawit di Kaltim yang belum bermitra dengan perusahaan. Ini menjadi celah tengkulak untuk memainkan harga. Kerja sama dan perhatian pemerintah di tingkat kabupaten/kota, kata Ujang, menjadi penting agar petani bisa bermitra dengan perusahaan sawit yang ada di sekitar daerahnya.
Ujang menyatakan, Dinas Perkebunan Kaltim sudah mengedarkan surat kepada bupati dan wali kota di Kaltim. Di dalamnya tercantum ajakan kepada para kepala daerah untuk membantu petani sawit bermitra dengan perusahaan agar terlindungi dari fluktuasi harga di tingkat tengkulak.
”Kami mendorong pemerintah kabupaten atau kota memfasilitasi kemitraan antara pekebun dan perusahaan perkebunan,” kata Ujang.