Munculnya petenun muda, seperti Ana dan Mika, di perkampungan Baduy Luar merupakan angin segar dalam pelestarian motif-motif khas tenun Baduy. Mereka penerus budaya menenun Baduy.
Entakan cangcangan dan barera dari alat tenun mengiringi gerak lincah tangan Ana (12). Jarum jam baru menunjukkan pukul 09.00, tetapi warga Kampung Balimbing, Desa Kanekes, Lebak, Banten, ini sudah larut dalam keasyikan merangkai benang.
Alat tenun atau pakara yang digunakan Ana berukuran 1,5 meter x 1 meter. Alat ini dibuatkan uwaknya, Sarpin (50), sejak Ana menunjukkan minat untuk mulai menenun.
”Saya belajar menenun sejak umur tujuh tahun karena melihat (proses menenun),” kata Ana, Jumat (28/10/2022).
Keluwesan Ana menenun adalah buah ketekunan belajar. Di awal belajar, Ana pernah gagal membuat pola motif. Tangisnya pecah karena tidak berhasil merangkai dan menyelesaikan pola motif kain.
Namun, Ana tidak menyerah. Ia tidak meminta bantuan sang uwak, Ambu Misna, yang menjadi mentornya menenun. Kegagalan itu dicarikannya jalan keluar sendiri. Hingga akhirnya motif kain bisa terbentuk sempurna. Senyum Ana merekah setelah pola alur benang menampakkan motif tenun yang dikehendakinya. Kini, peluhnya berbuah manis setelah para wisatawan yang berkunjung ke permukiman masyarakat Baduy kerap membeli kain-kain hasil karyanya.
Di Kampung Marengo yang bertetangga dengan Kampung Balimbing, Mika (6) juga terlihat serius menggerakkan perangkat di pakara, seperti cangcangan, taropong, barera, dan sisir atau jinjingan.
Saat banyak anak kota seusia Mika asyik bermain atau mulai sekolah, Mika dan anak-anak perempuan Baduy mulai mengenal tenun. Kain yang tengah dikerjakan Mika merupakan kain tenunan keduanya. Meskipun belum selancar Sherina (16), kakak Mika, bocah cilik ini tetap setia menggeluti proses merangkai benang menjadi kain.
”Saya diajarin Mama menenun. Setelah sarapan, saya mulai menenun sampai pukul 16.00,” ujar Mika yang tengah menyelesaikan tenun untuk ikat kepala.
Sesekali, ia mengibas poni rambut dan melirik kakaknya yang juga sedang menenun. Mamanya dan Sherina seperti membiarkan Mika yang masih bingung untuk tetap fokus menyelesaikan pekerjaannya. Dari balik pundaknya, Sherina hanya tersenyum melihat muka tegang sang adik.
Munculnya petenun muda seperti Ana dan Mika di perkampungan Baduy Luar merupakan angin segar dalam pelestarian motif-motif khas tenun Baduy. Mereka kelak penerus budaya menenun Baduy.
Terlambat belajar
Ambu Misna (49), bibi Ana, mengenalkan keponakannya itu pada alat tenun. Namun, sejatinya perjalanan Misna menenun amat terlambat dibandingkan Ana.
Misna yang menghabiskan masa kecil di Kampung Kaduketug 3 mulai menenun di usia 15 tahun. Saat itu, Misna sudah menikah. Saat seusia Mika atau Ana, Misna masih menolak menenun. Ia memilih ke ladang atau bermain dengan teman sebaya.
Ibu Misna tidak kuasa menyuruh anaknya belajar menenun. Hingga menjelang menikah, kain yang digunakan untuk upacara adat pernikahan harus ditenun oleh ibunya. Seharusnya, kain itu ditenun sendiri oleh calon pengantin perempuan.
Keinginan belajar menenun baru tebersit saat ia melihat ibu mertuanya hanyut dalam pakara-nya. Niat itu diteruskan dengan kerja keras hingga Misna kini mahir menenun, bahkan motif-motif yang sukar sekalipun. Ia pun menurunkan keterampilan membentuk motif kain ini kepada perempuan lain, termasuk Ana.
Ini salah satu cara agar mereka (perempuan Baduy) belajar, mengenal dan terus mewariskan budaya Baduy melalui tenun.
Misna juga memasok benang kepada sejumlah petenun dan membantu pemasaran kain-kain tenun mereka. Tak kurang 70 petenun dipegang oleh Misna. Hasil tenunan itu ditawarkan kepada tamu-tamu yang singgah ke rumahnya. Adakalanya Misna pergi ke kota untuk mengikuti pameran dan menjual kain-kain tenun ini. Dari hasil menenun, para perempuan Baduy berdaya secara ekonomi sekaligus membantu memenuhi kebutuhan harian keluarga.
Menenun juga memiliki tempat dalam ritual adat masyarakat Baduy yang kental dengan budaya lisannya. ”Ini salah satu cara agar mereka (perempuan Baduy) belajar, mengenal dan terus mewariskan budaya Baduy melalui tenun. Penting juga mereka belajar dari kecil agar nanti saat mau menikah tidak merepotkan orangtua. Mereka wajib membuat kain tenun untuk calon pasangan hidup mereka kelak,” ujar ibu dua anak itu.
Seperti tradisi berladang, menenun juga memiliki rangkaian ritual. Para petenun harus mengikuti aturan atau pantangan, seperti tidak menenun saban tanggal 16 purnama dalam waktu tertentu. Konon, tanggal itu dikhususkan bagi dewi kahyangan yang sedang menenun.
Motif tertentu juga membutuhkan ritual. Motif suat songket, misalnya, harus melalui ritual khusus. Jika petenun tidak menjalani ritual, maka di akhirat dia akan disiksa oleh kain tersebut. Dari sekitar 40 motif tenun Baduy, kain suat songket merupakan ratu kerajinan tenun.
Ada pula motif samping carang yang hanya boleh dibuat oleh perempuan yang sudah berhenti menstruasi. Dalam proses pembuatannya, sang petenun motif ini juga harus mematuhi pantangan, yakni tidak boleh menenun pada Selasa dan Jumat.
Secara umum, proses menenun mengajarkan kedisiplinan dan ketaatan, mengasah kreativitas, serta menjunjung adat istiadat. Kain tenun menjadi cermin kehidupan adat dan budaya Baduy yang bersahaja dan harmonis dengan alam.
Semua bagian pakara berasal dari pohon bambu dan kayu. Semua diambil dari hutan yang ada di wilayah ulayat masyarakat Baduy. Setiap anak yang mulai menenun akan dibuatkan alat tenun sendiri. Bunyi pakara saat menjalin benang menjadi kain juga menandakan hutan Baduy yang memberikan kehidupan bagi masyarakatnya.