Larangan Membakar untuk Berladang Dinilai sebagai Pelanggaran HAM
Masyarakat adat di Kalimantan menilai larangan membakar untuk berladang merupakan pelanggaran HAM. Akibat larangan ini, banyak peladang tradisional meninggalkan ladangnya sehingga ketahanan pangan keluarga terganggu.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Masyarakat adat di Kalimantan menilai larangan membakar untuk berladang merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Akibat larangan ini, banyak peladang tradisional meninggalkan ladangnya sehingga ketahanan pangan keluarga pun terganggu. Hal itu memperburuk kondisi masyarakat adat yang kini merasakan dampak dari perubahan iklim.
Demikian terungkap dalam diskusi daring yang diselenggarakan Forum Masyarakat Adat Heart of Borneo (HoB) di Palangkaraya, Sabtu-Minggu (15-16/10/2022). Dalam diskusi bertema ”Masyarakat Adat dan Keadilan Iklim” itu, hadir perwakilan masyarakat adat dari seluruh Pulau Kalimantan serta Sarawak dan Sabah di Malaysia.
Ketua Forum Masyarakat Adat HoB Marko Mahin mengungkapkan, aktivitas masyarakat adat Dayak di Kalimantan menjadi sangat terbatas setelah adanya larangan membakar untuk berladang. Apalagi, dia menyebut, sesudah adanya larangan itu, ratusan peladang tradisional telah dipenjara.
Padahal, menurut Marko, dampak dari aktivitas pembakaran untuk berladang itu tak seberapa ketimbang aktivitas industri yang membuang karbon ke udara secara lebih masif sehingga berujung pada pemanasan global. ”Di Indonesia, masyarakat diminta menjaga hutan. Tapi, di sisi lain, mereka dilarang membakar untuk berladang sehingga sumber makanannya pun hilang,” katanya.
Marko mengungkapkan, aktivitas masyarakat adat, khususnya masyarakat Dayak di Kalteng, masih sangat sesuai dengan cita-cita kelestarian ekosistem. Dia juga menyebut, kearifan lokal masyarakat adat tidak pernah membuat bencana asap ataupun kebakaran hutan dan lahan.
Akan tetapi, masyarakat adat justru menjadi korban dari aturan terkait larangan membakar untuk berladang. Larangan membakar itu mulai gencar disosialisasikan ke masyarakat setelah bencana asap tahun 2015 akibat kebakaran hutan dan lahan.
Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi menjelaskan, setelah adanya larangan membakar itu, masyarakat adat Dayak yang didominasi oleh peladang tradisional harus meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan baru. Hal semacam ini jarang terjadi sebelumnya karena mereka sebenarnya memiliki ladang.
Uang hasil bekerja di luar desa itu juga hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan. Akibatnya, sejumlah masyarakat adat mulai kesulitan memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pendidikan.
”Peladang bukan penjahat. Kenapa mereka dipenjara hanya karena mengolah ladang untuk ditanami padi? Padahal, ada pembukaan lahan ribuan hektar yang jauh lebih merusak. Bahkan, sejak tahun 2015, masih ditemukan praktik membakar di perkebunan sawit,” ungkap Habibi.
Gat Khaleb, masyarakat adat di Kalimantan Utara, mengungkapkan, larangan membakar merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lantaran ladang merupakan sumber pangan bagi masyarakat adat. Apalagi, dengan kearifan lokalnya, aktivitas membakar ala masyarakat Dayak sebenarnya tidak pernah merusak dan menyebabkan bencana asap.
”Ini pelanggaran HAM. Kebijakan itu, kan, sudah sepatutnya didasari oleh kearifan lokal, apalagi jika kebijakan itu berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat adat,” ungkap Gat.
Kemiskinan struktural
Among dari Yayasan Padi Indonesia yang mewakili masyarakat adat Mului mengungkapkan, kebijakan larangan membakar untuk berladang itu telah menyebabkan terjadinya kemiskinan struktural. ”Negara justru membuat masyarakat itu miskin,” katanya.
Michael Mering Jok dari SCRIPS Sarawak, Malaysia, mengungkapkan, ketahanan pangan masyarakat bakal terganggu karena banyak ladang yang berubah fungsi menjadi perkebunan dan pertambangan. Hal serupa terjadi di Malaysia sejak puluhan tahun lalu. ”Masyarakat adat itu kunci dari kelestarian ekosistem karena kearifan lokalnya,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bayu Herinata mengatakan, situasi di Kalteng diperburuk dengan adanya pembukaan lahan untuk program strategis nasional food estate. Dalam program itu, ladang milik masyarakat adat dibuka dengan alat berat dan berganti menjadi sawah.
Bayu menilai, pembukaan food estate itu bukanlah solusi untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat Dayak. Apalagi, proyek tersebut juga berpotensi gagal dikembangkan beberapa tahun ke depan. ”Yang perlu diantisipasi adalah bencana setelah lahan-lahan itu dibuka dan jadi sawah,” katanya.
Ini pelanggaran HAM. Kebijakan itu, kan, sudah sepatutnya didasari oleh kearifan lokal, apalagi jika kebijakan itu berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat adat. (Gat Khaleb, masyarakat adat di Kalimantan Utara)
Apalagi, selama beberapa waktu terakhir, masyarakat adat di Kalteng juga menghadapi bencana hidrometeorologi. Di Kota Palangkaraya, misalnya, belasan hektar kebun masyarakat terendam banjir. Di Kabupaten Katingan, puluhan hektar ladang tak bisa ditanami karena banjir yang melanda.
Suryati (49), warga Buntut Bali, Kabupaten Katingan, mengungkapkan, ladangnya tidak bisa ditanami lantaran masih terendam banjir. ”Padahal, seharusnya bulan-bulan ini tanaman sayuran dan buah itu sudah selesai ditanam dan tinggal menunggu hasil,” ungkapnya.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, banjir di Kalteng merendam tujuh kabupaten dengan total 28 kecamatan di 127 desa dengan jumlah warga terdampak mencapai 27.138 jiwa.