Didominasi Impor, Aspal Buton Hanya Terserap 0,9 Persen
Meski memiliki deposit ratusan juta ton, aspal Buton baru terserap 0,9 persen dari pemakaian aspal secara nasional. Sementara impor aspal mencapai 82,6 persen dengan nilai Rp 9,2 triliun.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Meski memiliki deposit ratusan juta ton, aspal Buton baru terserap 0,9 persen dari pemakaian aspal secara nasional. Sejumlah masalah muncul, mulai dari produksi, distribusi, hingga sejumlah perusahaan aspal berhenti beroperasi sementara.
Aspal dari Buton telah lama dikenal di Indonesia. Penggunaannya dimulai sejak masa pendudukan Belanda melalui perusahaan Buton Asphalt (Butas). Cadangan aspal di wilayah ini diperkirakan mencapai 667 juta ton.
Penjabat Bupati Buton Basiran mengungkapkan, pemakaian aspal Buton masih sangat minim dibandingkan dengan aspal impor. Jumlahnya baru 0,9 persen dari total pemakaian aspal nasional dalam setahun. Kondisi ini telah berlangsung selama puluhan tahun.
”Mengikuti arahan Presiden RI Joko Widodo, minggu lalu, kami rapat bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pengusaha, serta asosiasi aspal. Aspal Buton yang terserap pada 2021 baru 4.826 ton. Jumlah ini hanya 0,9 persen dari total konsumsi aspal kita di angka 888.557 ton,” kata Basiran, dihubungi dari Kendari, Minggu (16/10/2022).
Berdasarkan data Asosiasi Pengembang Aspal Buton Indonesia (Aspabi), pemakaian aspal nasional pada 2021 sejumlah 888.557 ton. Sebanyak 82,6 persen atau 707.324 ton di antaranya adalah impor. Nilai impor berada di kisaran Rp 9,2 triliun.
Setelahnya adalah produksi aspal minyak dari PT Pertamina Cilacap sebanyak 146.527 ton atau 16,5 persen. Terakhir adalah aspal Buton dengan persentase 0,9 persen.
Basiran melanjutkan, sejumlah permasalahan lantas dibahas dan dicari jalan keluarnya. Dari hulu, misalnya, dari sedikitnya 40 jumlah izin usaha pertambangan (IUP) aspal di Buton, hanya 10 persen yang aktif dengan produksi yang minim.
Perusahaan milik negara, yaitu PT Wika Bitumen, bahkan berhenti beroperasi sementara hingga merumahkan karyawan di tahun ini. Kinerja perusahaan lain juga dirasa belum optimal.
Selain itu, ada juga masalah kapasitas produksi. Pasar, utamanya pemerintah daerah, kesulitan menata kinerja karena ketersediaan stok yang tidak menentu. Belum lagi soal distribusi yang disebut mahal sehingga banyak dari mereka lebih memilih aspal impor.
Basiran mengakui, infrastruktur daerah selama ini masih tekendala. Jalan tambang yang dibuat baru dalam tahap pembukaan dan pengerasan. APBD Buton belum mampu untuk membiayai penyelesaian infrastruktur tersebut. Pengusulan Kawasan Ekonomi Khusus untuk aspal di Buton seluas 1.000 hektar juga belum terealisasi.
”Kami telah mengajukan ke Kementerian PUPR untuk membantu pembangunan jalan. Pembangunan pelabuhan beserta desain dan penganggarannya juga telah diajukan ke Kementerian Perhubungan. Pengelolaan aspal harus bersama dan tidak parsial. Lebih baik jika menjadi kawasan industri nasional sehingga semuanya ada dalam satu visi misi,” ucapnya.
Sebelumnya, pada 27 September 2022, Presiden RI Joko Widodo berkunjung ke Buton. Ia melihat dan mengecek proses pengelolaan aspal yang melimpah dengan stok cadangan sekitar 622 juta ton. Menurut Presiden, saat ini, semuanya harus dikerjakan di Buton. Dalam dua tahun ke depan, impor aspal akan dihentikan.
”BUMN silakan, swasta silakan, join dengan asing juga silakan. Tetapi, kita ingin ada nilai tambah dari aspal yang ada di Buton karena ada potensi 662 juta ton di sini. Gede sekali sehingga kita harapkan, Buton hidup kembali sebagai industri penghasil aspal, bukan tambang,” kata Presiden.
Ketua Aspabi Dwi Putranto menyampaikan, masalah utama penggunaan aspal buton saat ini adalah belum sinerginya antara permintaan dan ketersediaan. Selama ini, produsen aspal Buton hanya produksi saat ada permintaan. Sebab, jika melakukan produksi tinggi, dikhawatirkan justru tidak akan terserap pasar.
”Akibatnya, rata-rata pabrik pengolahan hanya beroperasi 5 persen dari kapasitas maksimal. Karena itu, sebagian karyawan diistirahatkan dan baru dipanggil saat ada permintaan. Berdasarkan diskusi dengan Kementerian PUPR, ini yang akan diubah. Kami juga siapkan roadmap pengelolaan aspal Buton dari hulu ke hilir,” katanya.
Padahal, ia melanjutkan, aspal Buton yang ada saat ini secara umum memiliki kualitas di performance grade (PG) 70. Kategori ini setara dengan aspal minyak polimer. Secara harga, aspal Buton tidak jauh beda dengan aspal minyak, bahkan bisa dikategorikan lebih murah ketimbang aspal minyak kualitas tinggi.
Oleh sebab itu, ia berharap semua pihak fokus menggunakan aspal Buton. Semua permasalahan dituntaskan dan diselesaikan secara bertahap. Seturut dengan itu, upaya perbaikan dilakukan dari hulu hingga hilir.
Dihubungi terpisah, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) Syamsir menjabarkan, aspal di Sultra memang belum dikelola dengan baik. Dengan cadangan melimpah, aspal di wilayah Buton seharusnya menjadi sumber utama penggunaan aspal dalam negeri atau untuk pasar ekspor.
”Selain lahan, infrastruktur dan sumber daya manusia sangat vital. Kita belum punya pelabuhan skala internasional yang bisa mewadahi pasar ekspor. Terlebih, terkait sumber daya manusia yang belum maksimal. Jangan sampai warga nantinya hanya menjadi penonton di kawasan tersebut,” kata Syamsir.