Palembang, Kota Sungai yang Gamang Hadapi Banjir
Berbagai upaya dilakukan Pemerintah Kota Palembang dan pihak terkait untuk menanggulangi banjir di kota tertua di Indonesia ini. Namun, praktiknya, beragam halangan ditemui. Banjir pun tak terhindarkan.
Berbagai upaya dilakukan Pemerintah Kota Palembang, Sumatera Selatan, dan pihak terkait untuk menanggulangi banjir di kota tertua di Indonesia ini. Namun, pada aplikasinya di lapangan, beragam halangan ditemui. Alhasil, bencana tahunan itu pun tak terhindarkan.
Wakil Wali Kota Palembang Fitrianti Agustinda tampak gusar mendengar alasan jajaran PT Pupuk Sriwidjaja yang dianggap tidak serius dalam menanggulangi banjir di sekitar kawasan pabriknya. ”Kita sudah membicarakan ini sejak 2021, tetapi sampai sekarang masih tetap mengkaji dan tidak ada perkembangan signifikan,” ujar Fitrianti saat memimpin rapat dengan sejumlah pemangku kepentingan di kantor Bappeda Litbang, Kota Palembang, Jumat (14/10/2022).
Orang nomor dua di Palembang itu mengusulkan adanya pembuatan saluran yang akan mengalirkan air langsung ke arah Sungai Buah yang terhubung langsung ke Sungai Musi. Namun, langkah itu terhambat lantaran pembangunan saluran harus melewati pabrik kantor Pusri Palembang yang merupakan obyek vital negara.
Jika tidak dibangun segera, ratusan warga yang tinggal di sekitar pabrik PT Pusri harus terus dihantui musibah banjir apabila hujan deras mengguyur. Peristiwa itu terjadi pada Kamis (6/10/2022). Saat itu, banjir merendam beberapa titik di Palembang. Yang terparah adalah di kawasan Jalan R Soekamto, Kecamatan Ilir Timur II, dan Jalan Mayor Zen, Kecamatan Kalidoni, dengan ketinggian air mencapai 70 sentimeter.
Baca juga: Drainase Kota Palembang Masih Buruk, Pompanisasi Krusial Diterapkan
Aktivitas warga pun terhambat. Bahkan, di beberapa tempat dampak banjir dirasakan warga dalam dua sampai tiga hari setelahnya. ”Bapak-bapak (pejabat Pusri) bisa hidup nyaman di area pabrik yang tidak kebanjiran. Tapi tolong pikirkan warga lain yang terkena dampak banjir karena air tidak mengalir lancar,” kata Fitrianti.
Dari hasil pemantauan di lapangan, ujar Fitrianti, penyebab banjir di Palembang disebabkan oleh dua hal krusial, yakni tidak optimalnya saluran air (drainase) akibat topografi wilayah dan pembangunan yang serampangan.
Dia mencontohkan, di Kecamatan Kalidoni dan Kecamatan Ilir Timur I, banjir disebabkan oleh tidak mengalirnya air di permukiman warga akibat topografi (kontur) tanah di kawasan tersebut di mana jalur menuju sungai lebih tinggi dibandingkan kawasan permukiman.
”Kondisi ini membuat air dari daratan tidak bisa mengalir secara optimal,” ujarnya.
Selain itu, ungkap Fitrianti, adanya instalasi bawah tanah yang melintangi drainase juga menghambat mengalirnya air. Instalasi bawah tanah itu seperti saluran pipa gas, instalasi telekomunikasi, dan juga jaringan instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
Karena itu, dalam prosesnya butuh izin dari sejumlah pihak agar pembangunan saluran nantinya tidak menyalahi prosedur. ”Permasalahan ini cukup kompleks sehingga butuh komitmen dari semua pihak,” ujarnya.
Kami sudah dalam pengajuan legal opinion dan melihat sejumlah perizinan, termasuk amdal. (Soeryo Hartono)
Menanggapi kegusaran tersebut, Vice President Humas PT Pusri Soeryo Hartono mengutarakan, sebenarnya beragam upaya sudah dilakukan jajaran PT Pusri untuk menanggulangi banjir, misalnya dengan melebarkan bentang Sungai Buah agar daya tampung air bisa lebih banyak.
Tidak hanya itu, ujar Soeryo, pihaknya sudah membentuk tim guna mengukur elevasi dan topografi tanah dari rencana sodetan yang akan menjadi tempat mengalirnya air dari luar kawasan Pusri menuju langsung ke Sungai Musi.
”Kami sudah dalam pengajuan legal opinion dan melihat sejumlah perizinan, termasuk amdal,” ujarnya.
Aturan ini harus dilalui karena pabrik Pusri merupakan obyek vital negara. Namun, untuk mengatasi permasalahan banjir dalam jangka pendek, Soeryo menyarankan agar diletakkan pompa untuk membantu mempercepat aliran air ke Sungai Buah sehingga banjir yang terjadi bisa lebih cepat surut.
Kepala Bidang Operasi dan Pemeliharaan Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera VIII Arliansyah mengatakan, biasanya banjir yang terjadi di Palembang disebabkan oleh akumulasi hujan deras yang terjadi ditambah sirkulasi pasang surut di hari sebelumnya.
”Di pagi hari, Sungai Musi surut. Namun, pada sore dan malam hari, Sungai Musi akan pasang. Jika terjadi hujan deras, pasti akan terjadi banjir,” ungkapnya.
Apalagi Palembang merupakan kota dengan tiga pertemuan sungai besar sehingga risiko banjir akibat pasang surut air sungai pun sangat rentan terjadi. Kondisi ini diperparah dengan kondisi drainase yang kurang baik akibat tersumbat oleh sampah dan pembangunan yang menutupi saluran air.
Sebenarnya, ujar Arliansyah, sistem pompa berkapasitas 3.600 liter per detik sudah disiapkan di Rumah Pompa Bendung. Namun, drainase yang buruk membuat air tidak bisa mengalir ke sungai tersebut sehingga pompa pun tidak bekerja optimal.
Menurut dia, normalisasi sungai adalah salah satu solusi yang bisa dilakukan karena ketika sungai dinormalisasi daya tampung air pun akan meningkat. Hasil dari normalisasi Sungai Sekanak-Lambidaro menunjukkan risiko banjir di daerah itu pun berkurang. Saat ini, pihaknya tengah fokus untuk melakukan revitalisasi terhadap tiga daerah aliran sungai, yakni Sungai Sekanak, Sungai Buah, dan Sungai Bendung.
Baca juga: Buruknya Drainase Picu Banjir di Palembang
Kolam retensi
Titik banjir yang cukup besar juga ada di Jalan R Soekamto, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Bahkan, banjir merendam jalan utama dalam kota yang menghambat lalu lintas. Tidak hanya di jalan besar, banjir juga merendam beberapa rumah di 8 Ilir. Aidil (29), warga 8 Ilir, Palembang, juga harus kerepotan melewati banjir yang terjadi di rumahnya.
Dia mengatakan, sejak empat tahun terakhir, kawasan tempat tinggalnya selalu dilanda banjir. ”Kondisi ini terjadi akibat adanya pembangunan hotel dan bangunan mewah yang menimbun kawasan rawa,” ujarnya. Belum lagi adanya pembangunan jembatan layang.
Banjir terbesar di lingkungannya terjadi pada 25 Desember 2021. Saat itu, ketinggian air mencapai 1 meter. ”Saya khawatir di akhir tahun ini banjir besar bisa kembali terulang,” ujar Aidil.
Pejabat Pembuat Komitmen Jalan Nasional Dalam Kota Palembang Kamelia mencatat, setidaknya ada 21 titik rawan banjir yang jalan nasional Kota Palembang. Penyebabnya karena tertutupnya saluran akibat pembangunan perumahan atau ruko-ruko di pinggir jalan. ”Akibatnya, air tidak mengalir dan akhirnya menggenangi jalan,” ujarnya.
Baca juga: Banjir di Palembang Telan Dua Korban Jiwa
Untuk mengantisipasi risiko banjir, pihaknya sedang membuat kajian guna memperlebar saluran terutama di kawasan Basuki Rahmat yang kerap menjadi langganan banjir. Selain itu, ujar Kamelia, pihaknya juga telah mengajukan bantuan pompa jika terjadi genangan di jalan nasional.
Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Palembang Marlina Sylvia mengakui, permasalahan drainase masih menjadi pekerjaan rumah yang terus dibenahi. Sudah ada 248 bangunan yang ditertibkan karena dinilai menutup saluran air.
Namun, masih banyak warga yang bandel melakukan pembangunan di atas saluran air atau membuang sampah sembarangan. ”Kami tetap melakukan pendekatan terlebih dahulu sebelum membongkar bangunan. Terkadang banyak yang mengeluh banjir, tetapi mereka tidak mau membongkar bangunan yang menutupi saluran,” ujar Marlina.
Selain itu, banyak pengembang perumahan yang menimbun rawa tanpa membangun kolam retensi sehingga banjir pun tidak terhindarkan. Jika menilik pada aturan, setiap penimbunan di atas 5.000 meter persegi harus disediakan lahan untuk pembangunan kolam retensi. Namun, Marlina menyebut, masih banyak pengembang yang melanggar.
Fitrianti menegaskan, pihaknya akan terus memantau dan memberikan peringatan bagi ruko atau perumahan yang membandel. ”Jika tidak ada perubahan, kami akan mengkaji lagi izinnya. Kalau perlu, kita cabut saja izinnya,” katanya.
Nyatanya infrastruktur yang dibangun saat ini jauh dari memadai. (Yusri Arafat)
Ketegasan inilah yang dituntut oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel. Kepala Divisi Hukum dan HAM Walhi Sumsel Yusri Arafat menyebut, banjir yang terjadi di Palembang tidak lain disebabkan oleh kelalaian pemerintah dalam menjalankan Peraturan Daerah kota Palembang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palembang Tahun 2012-2032.
Hal ini ditandai dengan tidak terjaganya keberadaan ruang terbuka hijau, yakni sebesar 30 persen dari luas wilayah Kota Palembang dan mengembalikan fungsi rawa konservasi seluas 2.106,13 hektar sebagai pengendali banjir. Selain itu, menyediakan kolam retensi yang cukup sebagai fungsi pengendali banjir.
”Nyatanya infrastruktur yang dibangun saat ini jauh dari memadai,” katanya.
Sebagian besar lahan rawa digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti membangun perumahan. Akibatnya, wilayah tangkapan air pun berkurang. Yusri berharap pemerintah bisa tegas menegakkan RTRW yang sudah ditetapkan.
Selain itu, pemerintah juga harus memiliki komitmen untuk menyediakan anggaran untuk membangun infrastruktur penanganan banjir di Kota Palembang. Komitmen dari sejumlah pihak perlu diperkuat utamanya untuk menjaga kelestarian alam agar bencana itu tidak lagi berkunjung.