KLHK dan Polda Bengkulu meringkus auktor intelektualis perambahan hutan di TWA Seblat. Mereka membuka lahan dan menanaminya dengan kelapa sawit. Kondisi ini bisa mengancam habitat satwa dilindungi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
KLHK
Petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Polda Sumsel melakukan operasi penangkapan auktor intelektualis perambahan hutan di kawasan Taman Wisata Alam Seblat, Rabu (12/10/2022). Perambahan ini mengancam habitat satwa dilindungi di kawasan tersebut.
BENGKULU, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kepolisian Daerah Bengkulu menangkap tiga auktor intelektualis perambah hutan di Taman Wisata Alam Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, Rabu (12/10/2022). Aktivitas perambahan di kawasan Seblat tergolong masif dan dikhawatirkan mengganggu habitat satwa dilindungi.
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengamanan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sustyo Iriyono, Sabtu (15/10/2022), menyatakan, operasi gabungan ini merupakan hasil patroli untuk mengamankan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat dari segala bentuk beragam aktivitas yang bisa mengancam kelestarian hutan dan lingkungan.
Setelah melakukan patroli gabungan tersebut, pihaknya menangkap tiga orang yang diduga autor intelektualis dari perambahan yang terjadi kawasan TWA Seblat. Ketiganya adalah S (52), R (60), dan A (51). Mereka bertiga tinggal di Desa Suka Merindu, Kecamatan Marga Sakti, Kabupaten Bengkulu.
Selain menangkap ketiga tersangka, petugas juga telah menyita beberapa peralatan kerja yang digunakan untuk melakukan penebangan dan pembukaan lahan. ”Pembukaan lahan ini digunakan untuk penanaman sawit,” kata Sustyo.
Setelah melakukan pemeriksaan, ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dan kini telah ditahan di Rutan Polda Bengkulu. Atas perbuatan mereka, pelaku dijerat dengan Pasal 78 Ayat (2) Jo Pasal 50 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah pada paragraf 4 Pasal 36 UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
”Ketiga tersangka terancam kurungan penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp 7,5 miliar,” ujar Sustyo .
Ia menyebutkan, selain ancaman perambahan, TWA Seblat juga menjadi tempat penebangan liar serta perburuan satwa dilindungi. Apalagi, kawasan ini merupakan kantong habitat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang tersisa di Bengkulu.
”Jika tidak dilakukan penegakan hukum, dikhawatirkan keberadaan gajah bisa terancam punah,” katanya.
Petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Polda Sumsel melakukan operasi penangkapan auktor intelektualis perambahan hutan di kawasan Taman Wisata Alam Seblat, Rabu (12/10/2022). Perambahan ini mengancam habitat satwa dilindungi di kawasan tersebut.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum LHK Rasio Ridho Sani mengatakan, hanya untuk mengeruk kepentingan pribadi, ketiga tersangka nekat merusak kelestarian lingkungan. Karena itu, tegas Rasio, KLHK berkomitmen tegas menindak pelaku kejahatan terhadap lingkungan hidup dan kehutanan.
Jika tidak dilakukan penegakan hukum, dikhawatirkan keberadaan gajah bisa terancam punah. (Sustyo Iriyono)
Aktivitas ini juga dianggap telah merugikan negara dan mengancam kehidupan masyarakat karena merusak ekosistem dan lingkungan hidup. ”Ini merupakan bentuk komitmen dan keseriusan kami menindak pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan,” katanya.
Efek jera
Karena itu, Rasio meminta agar pelaku kejahatan ini harus dihukum seberat-beratnya agar ada efek jera. ”Saya telah meminta kepada penyidik untuk pengembangan kasus ini agar ada efek jera, maka para pelaku harus dipidana dengan pasal berlapis,” ujarnya.
Penyidikan kasus ini tidak hanya menggunakan UU Kehutanan, tetapi menggunakan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Rasio menegaskan KLHK dalam beberapa tahun ini telah membawa 1.315 perkara pidana dan perdata ke pengadilan, baik terkait pelaku kejahatan korporasi maupun perseorangan.
Selain itu, lanjut Rasio, pihaknya juga telah menerbitkan 2.459 sanksi administratif dan melakukan 1.861 operasi pencegahan dan pengamanan hutan, 708 di antaranya operasi pemulihan keamanan kawasan hutan. Dengan cara ini diharapkan tindak kejahatan di dalam kawasan hutan dapat berkurang.
Masyarakat adat Marga Serampas selama turun-temurun menempati desa-desa tua yang secara geografis berada dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, di Kabupaten Merangin, Jambi. Hidup berdamai dengan alam, masyarakat memanfaatkan potensi hasil hutan sekadarnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan setempat terjaga lestari hingga kini. Tampak anak-anak Marga Serampas berangkat sekolah.
Direktur Kanopi Bengkulu Ali Akbar merasa heran dengan aksi nekat dari para perambah. Pasalnya, dibandingkan dengan kawasan lain di Seblat, TWA seluas sekitar 7.000 hektar itu merupakan kawasan yang paling ketat pengawasannya.
”Karena memang kawasan tersebut adalah taman wisata yang pengawasannya dilakukan langsung oleh KLHK,” katanya. Apalagi, secara topografi, TWA Seblat dikelilingi oleh hutan produksi (HP) dan hutan produksi tetap (HPT).
Karena itu, jika dibandingkan dengan kawasan TWA Seblat, kawasan di sekitar TWA yang dinilai lebih kritis, sebut saja di HPT Lebong Kandis, HPT Air Ipuh, HP Air Teramang, dan Air Rami. ”Sebenarnya di sinilah kerap ditemukan aksi perambahan, penebangan liar, dan perburuan satwa dilindungi,” katanya.
Kawasan tersebut merupakan area konektivitas koridor jelajah satwa yang dilindungi, yakni gajah sumatera dan harimau sumatera.
Terus dirambah
Dari hasil penelusurannya, ujar Ali, dari sekitar 80.000 hektar bentang alam Seblat yang kanopi awasi sekitar 21.000 sudah dirambah. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, perambahan semakin masif dengan luasan mencapai 6.200 hektar lahan yang dibuka untuk perkebunan.
Ali pun sudah mengirimkam data empat orang yang diduga auktor intelektualis di balik perambahan itu, yakni S, R, K, dan A. ”Hanya yang ditangkap kali ini bukan orang yang telah kami usulkan itu,” katanya. Tidak hanya melakukan jual-beli, keempatnya juga mendatangkan pekerja untuk membuka lahan.
Modus yang mereka gunakan adalah dengan menjual kawasan hutan kepada pemodal dengan harga sekitar Rp 5 juta-Rp 7 juta per hektar. Uang tersebut digunakan untuk kegiatan buka lahan yang dikenal dengan sistem tebang tumbur, yakni menebang pohon-pohon besar yang juga akan menghancurkan tanaman yang ada di sekitarnya.
”Setelah proses pembukaan lahan selesai selanjutnya ditanami tanaman perkebunan,” kata Ali.
Agar aksi mereka tidak diketahui, biasanya mereka akan mengincar lahan-lahan yang jauh dari pengawasan. Aksi seperti ini terus berulang dan sampai saat ini diduga masih terus berlangsung.
Jangan sampai, keterbatasan personel atau tidak adanya dana dijadikan alasan pemerintah untuk lalai dalam mengawasi lingkungan. ”Jika tidak segera ditangani, kerusakan hutan yang lebih parah lagi tinggal menunggu waktu,” tegas Ali.