Festival Budaya Matrilineal Digelar di Perkampungan Adat Sijunjung
Kemendikbudristek menggelar Festival Budaya Matrilineal 2022 bertajuk ”Alek Mandeh” di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, 28-30 Oktober 2022, sebagai upaya memetakan praktik budaya matrilineal di Minangkabau.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek menggelar Festival Budaya Matrilineal 2022 bertajuk ”Alek Mandeh” di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, 28-30 Oktober mendatang. Festival itu sebagai salah satu upaya memetakan praktik budaya matrilineal di Minangkabau saat ini.
Festival ini dihelat di perkampungan adat Jorong Padang Ranah dan Jorong Tanah Bato, Nagari Sijunjung. Penyelenggaranya ialah Direktorat Perfilman Musik dan Media, Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan, Kemendikbudristek menggandeng Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumbar, pemerintah daerah setempat, dan lainnya.
Kepala BPNB Sumbar Undri di Padang, Selasa (11/10/2022), mengatakan, ”Alek Mandeh” adalah puncak dari Festival Budaya Matrilineal 2022. Sebelumnya dilakukan prakegiatan festival pada 29-31 Juli di dua jorong, yaitu Padang Ranah dan Tanah Bato.
Undri menjelaskan, kegiatan ini dilakukan di kedua jorong itu karena di sana terdapat perkampungan adat yang merupakan kawasan strategis. Pada 2018 kawasan tersebut ditetapkan sebagai daftar tentatif warisan budaya dunia UNESCO.
”Di dua jorong itu, ada 76 rumah gadang yang merupakan sebuah kawasan unik. Di sana hidup budaya dan tradisi Minang, seperti batoboh kongsi dan bakaua adat. Kami lihat posisi itu sebagai miniatur matrilineal yang ada di Sumbar,” kata Undri dalam konferensi pers.
Rangkaian ”Alek Mandeh” dimulai dengan Muhibah Budaya Matrilineal ke enam nagari dan kerajaan di wilayah Minangkabau sebagai lokus budaya matrilineal sejak pekan pertama Oktober ini. Keenam nagari itu adalah Pariangan (Tanah Datar), Sijunjung (Sijunjung), Siguntur (Dharmasraya), Lingkuang Aua (Pasaman Barat), Ulakan (Padang Pariaman), dan Inderapura (Pesisir Selatan).
Dalam kunjungan ke nagari-nagari tersebut, tim berdiskusi dengan ninik mamak (tokoh adat) dan mande sako (perempuan tertua di kaumnya dan penentu kebijakan) tentang bagaimana matrilineal diterapkan di tempat masing-masing. Perwakilan masyarakat nagari tersebut akan terlibat pula dalam Musyawarah Gadang (besar) pada puncak acara di Sijunjung.
”Kami ingin membaca praktik matrilineal itu di lapangan untuk kemudian kita bawa menjadi bahan berharga bagi ekspresi-ekspresi budaya yang nuansanya berwawasan ke masa depan,” kata Dede Pramayoza, Direktur Pelaksana ”Alek Mandeh”.
Berbagai kegiatan juga akan mengisi perhelatan tiga hari itu, antara lain Pergelaran Baju Kuruang Basiba dan Pameran Atribut Budaya Matrilineal. Selain itu, ada pula pertunjukan seni tari, musik, dan teater yang masing-masing dibawakan perempuan seniman, yaitu koreografer Hartati, koreografer Deslenda, sutradara teater Zurmailis, komposer Rani Jambak, dan komposer Azura.
Karya Hartati bertajuk ”Jarum dalam Jerami” tribute to Gusmiati Suid yang ditampilkan pada acara penutupan, misalnya, akan mengajak penonton untuk merasakan kepelanan, kelambatan, dan keheningan dalam mencari sesuatu yang berharga, yakni jarum jahit. Jarum jahit sering tak terlihat atau tak diacuhkan, tetapi justru penting untuk masa depan (untuk menjahit pakaian), salah satunya budaya matrilineal Minangkabau.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Ditjen Kebudayaan, Kemdikbudristek Ahmad Mahendra mengatakan, Minangkabau merupakan penganut sistem matrilineal atau garis keturunan melalui ibu. Melalui festival ini, pihaknya ingin melihat sejauh mana budaya matrilineal masih diterapkan di Sumbar.
”Matrilineal ada di Minang, tetapi sejauh mana diterapkan saat ini. Ada mungkin yang menganut kuat, setengah-setengah, atau ada yang sudah jauh. Itu sebetulnya ingin kami lihat,” kata Ahmad, yang hadir dalam konferensi pers secara daring.
Dengan pemetaan itu, lanjut Ahmad, pemerintah sebagai fasilitator bisa memperkuat kebudayaan yang ada dalam rangka pemajuan kebudayaan. Dari peta yang ada, dapat diambil langkah-langkah ke depannya agar kebudayaan itu tidak tercerabut atau memudar.