Untuk ”Martir” Tragedi Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan, kerusuhan sepak bola, yang meminta korban 125 jiwa meninggal dan 325 jiwa terluka, mengusik rasa kemanusiaan dan keadilan perlu ditegakkan karena diduga dan diyakini terjadi pelanggaran HAM.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F03%2F12e27ca1-0a43-4ce2-a785-5021d4ba91ce_jpg.jpg)
Pemain dan ofisial Arema FC berada di tengah lapangan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, untuk memberikan penghormatan bagi korban yang meninggal saat kerusuhan, Senin (3/10/2022).
Tim dan ofisial Arema FC tabur bunga di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Senin (3/10/2022). Mereka mendoakan 125 jiwa yang meninggal sebagai ”martir” Tragedi Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022) malam.
Harum kelopak bunga ditabur di depan Monumen Kepala Singa Jawara dan dilanjutkan doa. Prosesi serupa berlangsung di lapangan atau dalam Stadion Kanjuruhan. Kekalahan 2-3 dari Persebaya Surabaya sudah menyakitkan. Namun, Arema lebih tersiksa akibat tragedi Kanjuruhan yang meminta korban Aremania, yakni 125 jiwa meninggal dan 325 jiwa terluka.
Bek sekaligus kapten Johan Alfarizi dan gelandang sekaligus wakil kapten Dendi Santoso tak kuasa menahan tangis. Manajer Umum Ali Fikri terpukul sehingga meluapkan emosi duka. Arema berharap tragedi Kanjuruhan benar-benar menjadi yang terakhir. Usut tuntas horor berdarah pada Sabtu malam yang kelam itu.
Baca juga: Polri Periksa 18 Personel yang Operasikan Gas Air Mata Saat Tragedi Kanjuruhan

Cover Tragedi Kanjuruhan
Di Surabaya, umat Islam memanjatkan doa melalui shalat gaib bagi korban tragedi Kanjuruhan. Bonek atau pendukung Persebaya bersolidaritas dengan doa di Taman Apsari. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi berandai ”Green Force” kalah jika dapat mencegah tragedi Kanjuruhan. Namun, tiada hasil laga yang bisa menukar atau setara nyawa.
Segala prosesi dan doa, bagi Aji Suryadi, tak akan bisa mengembalikan anaknya, Akbar Raihan Firdaus (15), ke dalam pelukan keluarga. Jenazah sang putra tercinta telah bersatu dengan bumi. Sulit untuk mengikhlaskan kematiannya. Yang ada malah kebencian mulai tumbuh pada sepak bola. Penyesalan, trauma, dan sakit hati yang mungkin mengiringi kehidupan keluarga sampai akhir hayat.
”Berharap keadilan bisa ditegakkan,” kata Aji. Hanya keadilan sosial yang diharapkan dan semoga bisa menghibur keluarga yang masih hidup dan terluka serta berduka.
Kelamnya duka terasa sampai 440 kilometer dari Stadion Kanjuruhan. Tepatnya di Stadion Jatidiri, Kota Semarang, ribuan ”Panser iru, pendukung klub Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang (PSIS), menggelar doa bersama dan penyalaan lilin, Minggu (2/10/2022). Kegiatan itu sebagai bentuk solidaritas untuk ratusan Aremania yang menjadi korban dalam tragedi Kanjuruhan.

Di beberapa sudut di stadion sudah dipasang spanduk besar bertuliskan antara lain ”Saudaraku pergilah dengan tenang sebab duka sudah tak lagi panjang”, ”Lalu terangkat semua beban di pundak semudah itukah luka-luka terobati?”, ”Pray for Aremania”, ”God Bless who fall at Kanjuruhan, we are with you”, dan ”Stop Police Brutality”.
Anton Nuragil (25), salah satu suporter PSIS asal Kecamatan Semarang Tengah, berharap, kejadian yang menimpa ratusan pencinta sepak bola di Kanjuruhan pada Sabtu malam merupakan yang terakhir. ”Kalau tim kalah, besok bisa menang lagi. (Tetapi) Kalau nyawa yang melayang, kita tidak bisa ketemu lagi,” ujarnya.
Bandung pun diliputi ”mendung”. Semua pemain dan tim pelatih ”Maung Bandung” berlatih dengan mengenakan pita hitam di lengan. Semua itu menjadi tanda duka sekaligus solidaritas bagi korban tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022). Tim sepakat, sepak bola seharusnya membawa kegembiraan bukan mengundang kesedihan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F03%2F58559637-01b5-4863-8664-77e17bd5ed4f_jpg.jpg)
Manajemen dan suporter klub Persewar Waropen bersama Komnas HAM Papua dan Polda Papua menggelar aksi membakar lilin di Stadion Mandala, Jayapura, Senin (3/10/2022). Aksi untuk memberikan penghormatan dan turut berdukacita bagi ratusan korban jiwa dalam tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jatim, pada 1 Oktober 2022.
Pelatih Persib Luis Milla tidak menyangka duka datang dari laga sepak bola di Indonesia. Alasannya, dia tahu kepribadian yang dimiliki banyak orang Indonesia. ”Kejadian di Kanjuruhan membuat saya sedih dan kaget. Saya tahu kepribadian orang Indonesia ramah dan baik. Saya berharap, kejadian serupa tidak terjadi lagi,” kata mantan pelatih Tim Nasional Indonesia ini.
Kalau tim kalah, besok bisa menang lagi. Kalau nyawa yang melayang, kita tidak bisa ketemu lagi.
Sebelumnya, panitia penyelenggara dan personel gabungan laga Persib melawan Persija Jakarta juga melakukan penghormatan untuk Aremania, Minggu (2/10/2022). Laga besar itu belakangan batal digelar setelah kejadian di Kanjuruhan.
Sedikitnya 3.300 orang yang awalnya hendak melakukan simulasi pengamanan menjelang laga klasik itu membuat konfigurasi barisan manusia tulisan ”Arema”. Rintik hujan tidak menghalangi niat baik itu. Tidak hanya itu, mereka lantas menggelar doa bersama agar korban diberikan yang terbaik di sisi Yang Maha Kuasa.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F03%2F17247f14-a4d0-4c20-a4b7-b74a60e7f8a6_jpg.jpg)
Muhammad Alfiansyah (11), korban selamat dari kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, menunjukkan foto kedua orangtuanya saat berada di rumahnya di kawasan Bareng, Malang, Jawa Timur, Senin (3/10/2022).
Berulang
Komitmen agar tragedi jangan berulang, pandangan tiada laga sepak bola seharga nyawa, kata Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI) Ignatius Indro, jangan berakhir sebagai slogan, tetapi kesadaran yang utuh dalam berkehidupan.
Masalahnya, kematian dalam laga sepak bola, menurut Indro, berulang. Bangsa Indonesia, terutama insan sepak bola, tak pernah mau belajar sehingga mengabaikan mitigasi atau pencegahan. Kekerasan oleh suporter, aparat, panitia, pemain, ofisial, dan atau perangkat pertandingan amat sulit dikurangi apalagi dihentikan mungkin karena sudah membudaya.
Padahal, setidaknya pandangan YLBHI, Kontras, dan Komnas HAM, dalam tragedi Kanjuruhan diduga bahkan diyakini terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Jika tiada pelanggaran HAM, bagaimana menilai kematian 125 jiwa dan 325 jiwa terluka? Menurut undang-undang, penghilangan nyawa adalah tindak pidana atau kejahatan.
Baca juga: Mahfud MD: Ungkap Pelaku Pidana dalam Tragedi Kanjuruhan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F02%2F3bba44a6-9915-45ce-8f9e-fe2ea42c590f_jpg.jpg)
Lilin dinyalakan pencinta sepak bola yang berkumpul di pintu masuk Asia Afrika, Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (2/10/2022) malam. Mereka mengadakan aksi tabur bunga, menyalakan 1.000 lilin dan doa bersama untuk menghormati kawan-kawan Aremania yang menjadi korban tragedi Kanjuruhan seusai laga Arema FC melawan Persebaya. Tragedi Kanjuruhan mengakibatkan 125 orang meninggal dan 180 orang menjalani perawatan.
Namun, menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga Bagong Suyanto, bangsa Indonesia berkecenderungan cepat melupakan dan memaafkan. Kematian 125 jiwa dan korban terluka 325 jiwa jangan-jangan kembali dianggap sebagai deret angka alias statistik. Catatan kelam itu dicemaskan gagal menggugah rasa apalagi membawa perubahan yang signifikan dalam sistem sepak bola Indonesia.
Mengutip pernyataan manajer legendaris Liverpool FC, William ”Bill” Shankly, sepak bola lebih serius daripada masalah hidup mati. Bertebaran juga pernyataan dan pengakuan sepak bola ibarat dan diperlakukan layaknya agama. Jika demikian, sepak bola bukan sekadar tontonan, melainkan tuntutan.
Dalam laga Sabtu malam itu, lebih dari 42.000 orang memadati Stadion Kanjuruhan. Mereka bersuka saat Arema mencetak gol sekaligus menebar makian teror ketika Persebaya membalas bahkan unggul. Kekalahan yang mengakhiri 23 tahun Arema selalu menang di kandang dari Persebaya itu akhirnya dibayar secara berlebihan oleh pendukung dan petugas. Pembayaran dengan darah dan air mata alias nyawa. Padahal, meski sepak bola dianggap lebih serius daripada persoalan hidup dan mati, tetapi apakah sepadan dengan nyawa?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F03%2F8643acf3-7815-4f76-a8b0-bb4fd9deaaed_jpg.jpg)
Salah satu korban kerusuhan Stadion Kanjuruhan, Akmal, menjalani pemeriksaan di RSUD Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Senin (3/10/2022). Setelah sempat pulang, Akmal kembali dibawa ke rumah sakit akibat mengeluhkan sesak napas dan dada sakit jika bernapas.
Guru Besar Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Ahmad Zainul Hamdi mengatakan, ia amat prihatin dengan tragedi Kanjuruhan. ”Seberapa dalam kekecewaan seseorang sehingga bertindak nekat berujung kematian massal? Seberapa kuat kesetiaan fans sehingga batas dukungan adalah titik darah penghabisan? Sekuat apa cinta pada tim hingga hidup dan mati dipertaruhkan?” ujarnya menggugat.
Menukil pendapat filsuf Karl Marx bahwa agama sebagai candu atau kemabukan masyarakat sementara sepak bola diperlakukan seperti agama, candu apa yang membuat suatu laga berakhir dengan kerusuhan dan kematian massal? ”Tak ada satu pun olahraga yang bisa dibenarkan atas jatuhnya korban jiwa. Biarlah Tuhan saja yang menjadi Tuhan karena sepak bola bukanlah agama,” kata Ahmad.
Dari sinilah mungkin bisa direnungkan dan diyakini, ada yang lebih besar daripada sepak bola yang seperti agama atau lebih serius dari hidup mati. Kemanusiaan. Ahmad meyakini, cuma karena kemanusiaan, nyawa diperlakukan secara bermartabat semoga dengan adil dan beradab.