Harga beras naik di wilayah Kalimantan Tengah. Kenaikan itu menyumbang inflasi di daerah yang digadang-gadang menjadi lumbung pangan nasional tersebut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Beras menjadi komoditas penyumbang inflasi tertinggi di Kalimantan Tengah. Padahal, Kalteng adalah salah satu daerah yang diproyeksikan menjadi lumbung pangan nasional.
Kalteng masuk dalam tiga wilayah dengan inflasi tertinggi di Indonesia pada 12 September 2022, dengan nilai inflasi 6,9 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng pada Senin (3/10/2022) mengumumkan nilai inflasi sepanjang tahun ini sebesar 5,94 persen.
Kepala BPS Kalteng Eko Marsoro menjelaskan hanya ada dua sampel kota untuk penentuan inflasi dari 14 kabupaten dan kota di Kalteng, yakni Kota Palangkaraya dan Sampit di Kabupaten Kotawaringin Timur. Dari dua daerah tersebut, beras menyumbang nilai inflasi tertinggi.
Beberapa komoditas yang menyumbang inflasi antara lain bahan bakar minyak (BBM) beras, pasir, daging ayam ras, kacang panjang, dan bahan bakar rumah tangga.
Eko menyebutkan, andil inflasi sepanjang tahun ini di Kota Palangkaraya mencapai 6,13 persen dan Sampit (5,62 persen). Hal itu sejalan kenaikan harga sejumlah komoditas di pasar-pasar tradisional.
Sejauh ini, harga beras menunjukan tren kenaikan. Pedagang di Pasar Besar Kota Palangkaraya, Rahmat (44), menjelaskan terjadi sejumlah kenaikan harga sejumlah jenis beras. Harga beras siam arjuna, misalnya, naik dari Rp 14.000 per kilogram menjadi Rp 17.000 per kg. Selain itu, harga beras tilang juga naik, dari Rp 11.000 per kg menjadi Rp 14.000 per kg.
”Semua beras di sini dari Banjarmasin. Harga sudah naik dari sana,” ungkapnya.
Sebelumnya, Pemprov Kalteng melakukan operasi pasar di sejumlah daerah. Sekretaris Daerah Kalteng Nuryakin mengatakan, banyak faktor memengaruhi kenaikan harga beras. Salah satunya, gagal panen akibat banjir dan hama tungro di Kabupaten Kapuas.
”Faktor lainnya adalah karena kenaikan harga BBM, kami akan evaluasi terus melakukan operasi pasar,” ungkap Nuryakin.
Kondisi ini terjadi saat Kalteng selama dua tahun terakhir ikut program strategis nasional (PSN) food estate atau lumbung pangan dari Kementerian Pertanian. Setidaknya, ada 44.000 hektar lahan masuk dalam intensifikasi dan 16.000 hektar di lahan ekstensifikasi.
Heriyanto, petani dari Sumber Makmur di Desa Belanti Siam, penerima program, mengungkapkan, harga gabah kering naik dari Rp 5.500 menjadi Rp 6.000 per kg. Sementara gabah basah naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.000 per kg. Kenaikan itu, menurut Heriyanto, terjadi karena tingginya permintaan.
”Di sini jualnya itu siapa cepat dia dapat, juga lihat-lihat harga. Biasanya dari Kalsel datang beli sampai ke sini,” ungkap Heriyanto.
Heriyanto menjelaskan, saat ini, pihaknya sudah kembali ke pola tanam yang normal dan tidak lagi mengikuti anjuran pemerintah. Tahun pertama program itu, para petani diminta untuk menanam tiga kali setahun. Saat ini, Heriyanto dan seluruh anggota kelompok taninya hanya tanam dua kali setahun.
”Enggak mau balik lagi ke tiga kali, dulu sudah pernah dan hasilnya sedikit,” ungkap Heriyanto.
Kenaikan harga gabah itu sejalan dengan meningkatnya indeks harga yang diterima petani. Data BPS Kalteng, nilai tukar petani (NTP) menurun sebesar 0,09 persen hingga ke nilai 115,98. Namun, NTP dengan nilai di atas 100 artinya biaya produksi petani masih tinggi dibandingkan harga yang diterima.
”NTP tanaman pangan, seperti padi dan palawija, mengalami penurunan karena harga gabah yang naik dan tingginya permintaan konsumen,” ungkap Eko Marsoro.