Menikmati Kuliner Lawas di Kota Malang, mulai Jemblem hingga Sagon
Kuliner-kuliner lawas dan tradisional hingga kini memang memiliki ruang tersendiri di hati sebagian orang. Romantisme masa lalu menjadi salah satu penyebab populernya makanan itu di era digital sekarang.
Kota Malang tidak melulu tentang tempat wisata. Ada jajanan lawas atau kuno yang layak diburu saat berkunjung ke kota pegunungan ini.
Salah satu kudapan lawas bisa dicicipi di Kota Malang adalah aneka kue kering di Toko Majoe, Jalan Pasar Besar nomor 30B. Di toko mungil pinggir jalan ini tersedia berbagai kue-kue kering, seperti sagon, kue asam, cokelat kenari, kue mawar putih, nastar, kastengel, dan lainnya. Pembeli bisa membeli mulai 1 ons (Rp 18.000).
Toko kue Madjoe termasuk salah satu toko kue legendaris di Kota Malang. Toko sudah ada sejak tahun 1935. Mereka berjualan turun temurun hingga saat ini generasi keempat keluarga tersebut.
Baca juga: Rujak Cingur, Hibriditas Rujak Buah dan ”Djanganan” dari Jawa
Saat memasuki toko, nuansa kuno akan langsung terasa. Toples-toples kaca kuno berisi aneka kue warna-warni langsung memanjakan mata. Toples berjajar rapi beberapa tumpuk sehingga terlihat cukup estetis dan sering menjadi obyek foto pembeli.
”Silakan foto tidak apa-apa,” kata Rusiana (47), perempuan pengelola toko tersebut, saat ditemui pada Selasa (27/09/2022). Sambil tersenyum, Rusiana menjelaskan hal ditanyakan terkait toko kue tersebut.
”Saya hanya anak mantu. Kami dari generasi keempat. Tapi yang terus disampaikan dari generasi ke generasi adalah jangan sampai usaha ini terhenti. Jangan sampai toko kue ini dijual,” kata Rusiana (47), penjual di toko kue Madjoe, saat ditemui pada Selasa (27/09/2022).
Meski tokonya tidak semegah toko-toko kue kekinian, Rusiana mengaku pembelinya hingga ke luar kota. ”Sebagian besar memang membeli langsung ke sini. Namun, ada juga yang meminta dikirim ke luar kota,” katanya.
Menurut Rusiana, pembeli memiliki kesukaan kue berbeda-beda. Ada yang suka sagon karena kental rasa kelapa, kastengel karena gurih keju, atau kue jahe karena memiliki cita rasa berbeda.
Penjualan aneka kue kering, menurut Rusiana, justru melonjak hingga dua kali lipat selama pandemi. ”Mungkin saat itu masyarakat diminta tinggal di rumah dan banyak orang kerja dari rumah sehingga banyak orang memaksimalkan gawai untuk melakukan banyak hal termasuk membeli makanan via online. Kenaikan jumlah pelanggan itu pun bertahan hingga sekarang,” katanya.
Baca juga: Wow, Soto Berusia 120 Tahun Ada di Pasar Turen Malang
Toko kue Madjoe buka pukul 10.00-17.00. Toko tersebut terletak di kawasan Pasar Besar Malang, yaitu sebuah pusat perdagangan lama (Pecinan) di Kota Malang. Saat ini, Pemkot Malang juga tengah mengkaji kemungkinan merevitalisasi Pasar Besar Malang tersebut.
Di tempat berbeda, jajanan lawas (lama/kuno) diminati lain berada di kawasan Kayutangan. Toko Riang, sebuah toko di Jalan Basuki Rahmat, Kota Malang, tersebut saat ini menjual jemblem, yaitu jajanan dari singkong tumbuk yang dicetak bulat, lalu di bagian tengahnya diberi gula merah. Sebelum disajikan, jemblem harus digoreng terlebih dahulu.
Di Toko Riang, pembeli akan bertemu dengan Endang Sumarni (67), perempuan pemilik toko yang meski sudah berumur, tetapi masih tampak sehat. Dengan ramah, ia akan menyambut pembeli dan menanyakan maksud kedatangannya. Apakah membeli jemblem beku (siap goreng) atau jemblem goreng siap konsumsi, atau membeli singkong bumbu siap goreng.
Baca juga:Menikmati Kuliner Serba Pedas Warung Tangkilsari Malang
Tanpa basa-basi, Endang pun langsung mencontohkan pada pembeli bagaimana caranya menggoreng jemblem agar hasilnya nikmat. ”Saya tunjukkan caranya menggoreng agar nanti suatu saat bisa menggoreng sendiri di rumah dan hasilnya tetap nikmat,” katanya sambil terus menebar senyum.
Jajanan jemblem tersebut menurut Endang mulai dijual sejak tahun 1993. Sebelumnya, Toko Riang sudah ada sejak tahun 1950-an. Saat itu, pemilik asli menjual aneka barang termasuk daster Malangan. Berikutnya, bangunan itu juga sempat menjadi toko buku. Seiring berjalannya waktu, kini Endang berjualan jemblem. Endang sudah dianggap anak oleh pemilik asli bangunan tersebut, yang meninggal tahun 2001.
Harga sebuah jemblem buatan Endang adalah Rp 2.000. Dengan harga tersebut, kita sudah bisa menikmati legitnya jemblem dengan sensasi aroma mentega di dalamnya. Nikmat.
”Kalau tidak bisa datang langsung ke sini, pelanggan biasanya menelepon untuk bisa dikirim. Dan kalau mereka datang ke Malang, akan membeli jemblem ini untuk oleh-oleh,” kata Endang.
Baca juga:Merayakan Imlek dengan Semangkuk Soto
Semakin tertatanya kawasan Kayutangan, menurut Endang, akan membuat tokonya mudah ditemukan oleh pembeli. Harapannya, revitalisasi kawasan Kayutangan juga akan berdampak pada kemajuan usahanya ke depan.
”Saya akan terus menjaga bangunan ini seperti wasiat orang tua. Tidak boleh dijual atau disewakan. Semoga bangunan ini terus terjaga,” katanya.
Adapun kawasan Kayutangan saat ini terus dipoles oleh Pemkot Malang. Salah satu perubahannya adalah median jalan dipindahkan guna memperluas jalur. Ke depan, Pemkot Malang merencanakan jalur tersebut akan difungsikan satu arah.
Kuliner-kuliner lawas/kuno dan tradisional hingga kini memang memiliki ruang tersendiri di hati sebagian orang. Romantisme masa lalu akan makanan kuno dinilai menjadi salah satu penyebab populernya makanan itu di era digital sekarang.
”Sebenarnya fenomena orang kembali memburu makanan lawas itu tidak bisa dibilang tren. Sebab, sejak dulu, makanan ini memang disukai dan punya segmen pembeli tersendiri. Namun, bisa jadi kini dengan peran medsos dan dunia digital yang meringkas jarak dan memudahkan kita mengakses segala sesuatu, terkesan bahwa sekarang sedang mengarah pada tren kuliner masa lalu. Dunia digital memudahkan pemberitaan, maka seolah-olah sekarang sedang tren,” kata Ary Budiyanto, pakar kuliner Universitas Brawijaya, Malang.
Baca juga:Bertabur Hidangan ala Thailand di Hotel Tugu Malang
Ary menambahkan, tidak bisa dimungkiri bahwa sebagian orang akan merindukan hal-hal tertentu di masa lalu (romantisisme masa lalu). Termasuk, salah satunya, kuliner. Karena itu, tak heran jika ada orang memilih membeli makan di lokasi bernuansa tradisional ketimbang di restoran, atau membeli menu masa lalu/tradisional daripada menu kekinian.
”Penjual bakso Malangan juga mulai ada yang kembali memikul dagangannya. Tidak lagi didorong. Katanya, lebih laris. Jadi, memang ada juga kasus seperti ini, di mana orang lebih suka makan bakso pikul daripada beli di warung,” katanya.
Baca juga: Soto, dari Kisah tentang Cinta, Perang, hingga Kebersamaan
Sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, mengatakan bahwa munculnya acara-acara ”Tempoe Doeloe” yang sering digelar di beberapa daerah menjadikan masyarakat lebih tahu dan kenal hal-hal di masa lalu, termasuk kulinernya.
”Bagi anak-anak muda atau orang-orang kota modern yang tidak pernah tahu kuliner masa lalu, jelas acara seperti itu sangat menarik. Makanya, ketertarikan itu terbawa seterusnya dan akhirnya mereka mencari-cari. Apalagi, di satu sisi, kuliner tradisional itu dinilai lebih sehat dan asyik,” kata Luluk.
Begitulah kenapa kue sagon dan jemblem menempati ruang khusus di hati masyarakat dan pengunjung Kota Malang. Kuliner lawas yang berlokasi di kawasan bersejarah adalah perpaduan pas untuk memuaskan romantisisme masa lalu, dan mewadahi narsisisme diri di era digital sekarang. Apakah jajanan itu akan terus bertahan? Semoga saja.