Prembun di Kebumen, Jawa Tengah, menyimpan eksotika sejarah yang unik. Lewat jelajah sejarah, peserta dikenalkan dengan bangunan peninggalan Belanda hingga wayang golek menak khas Kebumen.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·6 menit baca
Kecamatan Prembun di sisi paling timur Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, biasa dikenal dengan deretan penjual bengkoang di tepi jalan bagi pelintas arah Yogyakarta-Jakarta yang melalui jalur selatan. Lewat wisata Prembun Heritage Walk bertajuk ”Jelajah Lawang Wetan”, eksotika bangunan-bangunan lawas peninggalan zaman kolonial serta keunikan seni budaya Wayang Golek Menak dikenalkan kepada peserta jelajah sejarah.
Bermula dari titik kumpul di rumah makan Joglo Prembun, sebanyak 15 peserta jelajah sejarah mulai berjalan kaki pada Sabtu (24/9/2022) pukul 08.22. Rombongan yang didampingi Komunitas Pusaka Prembun yang disingkat Kupu juga Biro Wisata Milangkori ini melangkahkan kaki ke utara menyeberangi jalan nasional.
Titik pertama yang dikunjungi adalah kios pedagang tembakau yang berada persis di seberang Joglo Prembun. Sang penjual, Aam (25), mengenalkan sejumlah tembakau yang berasal dari wilayah Kebumen di mana terdapat Mbako Sayangan yang disebut paling laris atau digemari para penikmat rokok tembakau. Di tempat ini, peserta diperkenankan untuk menyentuh tekstur tembakau serta mencium aroma tembakau tersebut.
Selanjutnya, di tengah terik mentari yang mulai menyengat, para peserta yang terdiri dari pelajar SMP hingga orang dewasa dari sejumlah wilayah di Kebumen mulai memasuki jalan desa serta gang-gang perkampungan. Di Desa Bagung, lokasi kedua yang dikunjungi adalah rumah Ki Dalang Kuswanto Sindhu (67). Selain dalang, Kuswanto juga merupakan perajin Wayang Golek Menak.
Wayang ini dikenal sebagai wayang khas wilayah Kebumen atau pesisir selatan Jawa serta dahulu digunakan sebagai sarana syiar agama Islam. ”Saya ini hanya meneruskan tinggalan dari mbah-mbah saya dulu. Alur ceritanya mengambil dari Arab, Persia. Biasanya dikenal lokalan, berbeda dengan wayang kulit yang sudah menasional dan mengambil cerita dari India,” kata Kuswanto.
Di rumah Ki Dalang Kuswanto, para peserta antusias menyentuh dan juga menggerak-gerakkan wayang golek karya Kuswanto. Jika ingin membelinya, wayang ini dibanderol mulai Rp 500.000 hingga Rp 1.250.000 sesuai kerumitan pembuatannya. Tidak lupa para peserta juga mengabadikan foto bersama dengan wayang golek juga dengan Kuswanto.
”Pertama kali pegang, aku malah kagum. Ketika tanganku gerak dikit, lalu kepala (wayang) bisa gerak. Ini unik, baru tahu, dan ini pertama kali. Aku juga kagum dengan ukirannya, dan bajunya keren. Kalau aku main boneka barbie, itu kan aku menggerakkan tangannya dengan dipegang, nah kalau ini ada tongkat kayunya jadi seakan-akan gerak sendiri padahal aku yang gerakin,” papar Anja (17), siswi kelas 3 SMA salah satu peserta jelajah sejarah.
Kemudian, setelah berpamitan dengan Ki Dalang Kuswanto, rombongan kembali melangkahkan kaki menuju titik berikutnya berupa rumah tua yang dulu dipakai untuk kantor penyalur tenaga kerja dari Hindia Belanda menuju ke Suriname.
”Kantor ini pernah beroperasi pada 1890 sampai 1939 untuk mengirimkan tenaga kerja dari Jawa ke Suriname. Mereka diiming-imingi kehidupan yang lebih baik daripada di sini, tapi nyatanya sama saja,” tutur Sekretaris Komunitas Pusaka Prembun Eli Aprilia saat memandu rombongan.
Sambil melepas lelah, para peserta juga dipersilakan mampir membeli gorengan atau camilan di warung milik warga sekitar. Di warung milik Sarmini (54), para peserta bisa membeli tahu isi, gandos semacam ketan jadah goreng, carang gesing atau pisang santen yang dikukus, serta ketan bertabur parutan kelapa.
Perjalanan pun dilanjutkan menuju rumah tua khas peninggalan Belanda yang hingga kini masih terawat dengan baik. Rumah yang dikenal dengan rumah Mbah Joko Sumitro dengan istrinya, Wasiyah, itu kini dirawat oleh Elda Lestariningsih (64), putri kelima dari sembilan anak pasangan tersebut.
”Bangunan ini peninggalan dari simbah-simbah kami. Sejak 1901 sudah ada. Orangtua kami pernah berpesan bahwa rumah ini harus dijaga dan dirawat,” ujar Elda.
Di rumah ini, Elda mempersilakan para tamunya masuk melihat suasana di dalam rumah. Dengan tembok tebal sekitar 40 sentimeter serta pintu-pintu besar dan jendela yang khas melengkung, suasana sejuk cukup terasa kontras dibandingkan saat berada di luar rumah.
”Salah satu kekhasan rumah ini adalah ada bathtub dari marmer. Banyak orang telah menawarnya, tapi karena pesan orangtua, maka marmer ini tidak kami jual,” tutur Elda.
Di sini ada era Mataram, transisi saat perang Jawa, era kolonial: kolonial tanam paksa maupun kolonial era swasta atau industri kolonial.
Lokasi berikutnya yang menjadi titik kunjung adalah Kantor Kecamatan Prembun yang dulu merupakan kantor kawedanan. Di sini terdapat pendopo serta rumah dinas yang juga khas peninggalan Belanda.
”Dari penelusuran sejarah, bangunan ini diperkirakan sudah ada sejak 1875,” kata pegiat sejarah Prembun, Bahrun Munawir.
Dari pendopo yang saat ini banyak dikunjungi anak-anak SD untuk bermain game online sepulang sekolah, rombongan bergerak kembali menuju Masjid Agung Baitul Haq, rumah lurah kedua Bagung yang bergaya kolonial tapi sudah rusak dan tidak terawat, dan melihat sisa-sisa Pabrik Gula Prembun yang kini telah menjadi kolam ikan. Jejak pabrik gula yang luasnya diperkirakan mencapai 4 hektar itu masih tampak pada bangunan yang kini dipakai sebagai kantor Kepolisian Sektor Prembun.
Pemandu Wisata Milangkori, Sigit Asmodiwongso, menyampaikan, Prembun memiliki jejak sejarah yang relatif lengkap.
”Di sini ada era Mataram, transisi saat perang Jawa, era kolonial: kolonial tanam paksa maupun kolonial era swasta atau industri kolonial. Wayang Golek Menak itu mewakili era Mataram, pendopo kawedanan mewakili era transisi. Kemudian era tanam paksa diwarnai dengan pengiriman tenaga kerja ke Suriname, dan industrial adalah pabrik gula 1890-1936,” papar Sigit.
Setelah berkunjung ke Polsek Prembun, rombongan berjalan kembali ke titik awal dengan menyusuri bangunan berupa rumah-rumah pegawai parbik gula. Di salah satu rumah tua yang kini dipakai untuk gudang oleh warga sekitar, di sisi kamar utama, pada sudut ruangan terdapat kerangka brankas besi yang tingginya mencapai 1 meter.
”Di setiap rumah khususnya di kamar utama ada brankas seperti itu. Biasanya untuk menyimpan senjata atau kelewang (pedang),” tutur Sigit.
Founder Komintas Pusaka Prembun Fajar Eliyas menyampaikan, di Prembun terdapat sekitar 19 bangunan yang berpotensi menjadi bangunan cagar budaya. Salah satu bangunan yang sudah dinyatakan sebagai cagar budaya adalah bangunan SMP Negeri 1 Prembun.
Dengan biaya registrasi Rp 90.000 per orang, sejumlah peserta mengaku senang dan menikmati perjalanan kaki menempuh jarak sekitar 3 kilometer tersebut.
”Kegiatan ini seru karena kita jadi tahu Prembun menyimpan seribu makna atau cerita. Kita tidak tahu karena mungkin keterbatasan literasi atau kurang jalan-jalan,” kata Sudewi Kadarsih (50), guru Sejarah SMA Negeri 1 Klirong yang juga menjadi peserta jelajah sejarah ini.
Dengan peluh yang bercucuran di wajah, para peserta pun akhirnya tiba kembali di Joglo Prembun pukul 13.25. Minuman segar dan nasi goreng telah menyambut para peserta.
Lewat 5 jam perjalanan dengan menyusuri berbagai lokasi di sudut-sudut Prembun, terbentang eksotika Prembun dari masa ke masa. Mungkin kini jika Anda sebagai pelintas hanya melihat bengkoang di tepi jalan sebagai penanda perjalanan sudah sampai di Prembun, lewat wisata sejarah ini tampak bahwa Prembun sebagai pintu sebelah timur ke Kabupaten Kebumen ini lebih dari sekadar penghasil bengkoang.