Terbukti Bersalah, Pendiri Sekolah SPI Kota Batu Divonis 12 Tahun
Pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu, Julianto Eka Putra (50), divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta dalam perkara kekerasan seksual pada anak.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia di Kota Batu, Jawa Timur, Julianto Eka Putra (50), divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta, serta dihukum membayar restitusi pada korban sebesar Rp 44,7 juta. Julianto dinyatakan bersalah dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya secara terus-menerus. Terkait putusan itu, terpidana memilih banding.
Sidang vonis kasus kekerasan seksual di sekolah SPI Kota Batu tersebut digelar pada Rabu (7/9/2022) pukul 10.00-12.30. Persidangan dipimpin oleh Herlina Reyes dengan anggota Guntur Kurniawan dan Syafrudin.
Adapun jaksa penuntut umum terdiri dari Yogi Sudarsono yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kota Batu dan Edi Sutomo, Kepala Seksi Intel Kejari Kota Batu. Penasihat hukum JE terdiri dari Hotma Sitompul, Dito Sitompul, Philipus Sitepu, Jefry Simatupang, dan Geofany.
Persidangan digelar secara hibrida, yakni daring dan luring. Julianto mengikuti persidangan di LP Lowokwaru Kota Malang. Adapun hakim, jaksa, dan kuasa hukumnya menjalani persidangan langsung di Pengadilan Negeri Malang. Adapun korban dalam kasus ini adalah SDS (28), saat itu siswa berprestasi di SMA tersebut.
Sidang pembacaan vonis tersebut digelar secara terbuka. Hadir dalam sidang tersebut perwakilan Komisi Yudisial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta dihadiri Komnas Anak.
”JE telah terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya secara terus-menerus. Menjatuhkan pidana pada terdakwa dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 300 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Menghukum terdakwa membayar restitusi pada korban SDS sejumlah Rp 44,7 juta, dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang restitusi paling lama satu bulan sesudah keputusan pengadilan mendapat kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar restitusi sesuai ketentuan,” kata Herlina saat membacakan vonis.
Vonis tersebut lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa, yakni 15 tahun penjara, denda Rp 300 juta, dan restitusi pada korban sebesar Rp 44,7 juta.
Mendengar vonis tersebut, kuasa hukum Julianto meminta izin langsung kepada majelis hakim untuk berbincang dengan Julianto. ”Mohon izin majelis. Dengan hormat, kami para penasihat hukum tidak dapat menerima putusan ini. Meski demikian, untuk banding, kami minta izin sekarang ini untuk bisa menghubungi terdakwa melalui teleconference ini,” kata Hotma Sitompul.
Ketua majelis hakim pun memberikan izin. ”Pak Julianto, kami tidak bisa menerima keputusan ini. Namun, semua kembali pada Pak Julianto, apakah mau banding atau tidak,” kata Hotma. JE pun langsung menjawab, ia menginginkan banding.
”Alasan banding salah satu adalah banyaknya keterangan saksi dari kami, sekitar 10, dikesampingkan oleh majelis hakim. Itu yang akan kami pertanyakan. Sementara di pihak saksi pelapor, saksi berjumlah 2-3 justru menjadi pertimbangan sehingga kami melihat, ini masalah perspektif,” kata kuasa hukum Julianto, Philipus Sitepu.
Adapun terkait putusan itu, jaksa mengaku masih berpikir-pikir dahulu. ”Kami penuntut umum masih berpikir dahulu, Yang Mulia,” kata Yogi Sudarsono mewakili tim jaksa.
Dalam persidangan tersebut, majelis hakim mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya keterangan yang tidak bersesuaian antara saksi korban, terdakwa, dan saksi-saksi lain. Misalnya dalam hal kunjungan Julianto ke SPI selama kurun periode terjadinya peristiwa itu, yaitu 2009-2011. Beberapa saksi meringankan menyebut bahwa Julianto hanya sekali berkunjung ke SPI pada tahun 2009.
Namun, keterangan itu dibantah sendiri oleh asisten Julianto (saksi) yang mengatakan bahwa JE beberapa kali ke sana. Bahkan, Julianto sendiri mengatakan dia ragu-ragu mengakui apakah saat itu ia sekali atau dua kali berkunjung ke sekolah berasrama itu. Kepastian tingkat kunjungan Julianto tersebut penting mengingat korban mengaku beberapa kali disetubuhi Julianto pada 2009.
Penjelasan itu ditambah fakta bahwa meski sekolah setiap pukul 22.00 secara resmi sudah dikunci, rupanya ada celah di atas jam itu orang masih bisa keluar masuk. Fakta itu juga penting karena aksi Julianto, menurut korban, sering dilakukan di atas pukul 22.00.
Adapun alat bukti dari kubu Julianto, misalnya soal kehidupan pribadi korban dengan teman dekatnya oleh majelis hakim dikesampingkan dari persidangan (tidak dipertimbangkan sebagai bukti). Sebab, hal itu dinilai terjadi setelah korban keluar dari SPI.
Dalam kasus ini, jaksa menuntut Julianto pidana penjara 15 tahun. Ia dinilai melanggar Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Mendengar vonis tersebut, SDS, korban Julianto, mengucap syukur dan berterima kasih pada pengadilan, majelis hakim, dan masyarakat yang mengawal kasus ini. ”Saya berterima kasih dengan hakim yang memutuskan dengan bijak dan adil. Saya sebelumnya khawatir kalau Julianto bebas. Meski putusannya lebih rendah dari tuntutan JPU, tetapi itu sudah lumayan. Setidaknya membuktikan bahwa Julianto bersalah,” kata SDS.
SDS merasa lega karena tindakan Julianto tersebut terungkap dan bisa dihentikan. Namun, SDS berharap, dalam proses banding, nantinya tidak terjadi pengurangan hukuman untuk Julianto, dan kalau mungkin hukumannya ditambah.
”Dengan adanya kasus ini, saya berharap jangan ada lagi kasus serupa ke depan, apalagi di lingkungan pendidikan. Saya juga berharap masyarakat lebih menyadari lagi dan jangan sampai menutupi kejahatan seperti ini. Kalau ada korban, harusnya kita membantunya untuk mendapat keadilan dan mengawal kasusnya,” kata SDS.
Dan untuk orang di luar sana yang mungkin menjadi korban kekerasan seksual sepertinya, SDS mendorong mereka untuk berani bicara. ”Kalau ada yang mengalami seperti saya sebagai korban kekerasan seksual, saya paham betapa malu dan sakitnya hal itu. Memang sulit. Tapi korban tetap bisa mencari orang terpercaya atau terdekat seperti ortu, pembina, guru, yang bisa dipercaya untuk diajak omong. Kalau ada kepolisian terdekat, lebih baik ngomong dan melapor, meski butuh waktu. Ini harus dilakukan agar kasus tidak berulang,” katanya.
SDS mengalami kekerasan seksual oleh Julianto sejak umur 16 tahun (saat SMA) dan baru berani mengungkap kasus tersebut saat berumur 27 tahun. Kasus ini terungkap saat beberapa korban, yang didampingi Komnas Perlindungan Anak, melaporkan kasus tersebut ke Polda Jatim pada 29 Mei 2021. Hanya saja saat sidang, korban dicantumkan hanya SDS dan lainnya sebagai saksi.