Membedah Ketimpangan Program Bedah Rumah di Palembang
Pembenahan kawasan kumuh melalui program bedah rumah di Palembang, Sumatera Selatan, masih belum merata. Masih banyak warga yang pantas mendapatkan bantuan malah belum mendapatkan haknya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F30%2F5d5b1c2b-9618-466a-a3e3-6bba8e5c169d_jpg.jpg)
Kawasan kumuh di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/8/2022). Di kawasan ini masih banyak rumah tidak laik. Namun, warga yang sudah mengajukan diri sejak lama agar rumahnya dibedah belum mendapatkan bantuan.
Pembenahan kawasan kumuh melalui program bedah rumah di Palembang, Sumatera Selatan, masih belum merata. Masih banyak warga yang pantas mendapatkannya malah belum mendapatkan haknya. Perlu peran dari semua pihak agar tidak terjadi ketimpangan dalam pemberian bantuan.
Wiwin (36) sedang berjualan di bantaran sungai yang ada di Kawasan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Kota Palembang, Selasa (30/8/2022). Dia menjual berbagai makanan ringan, seperti gorengan, model tekwan, beserta minumannya.
Usaha ini sudah ia lakoni selama tiga tahun lalu untuk membantu suaminya yang hanya bekerja sebagai buruh serabutan. ”Dengan berjualan, setidaknya keluarga saya bisa mendapatkan uang sebesar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per bulan,” kata Wiwin sambil meracik es campur untuk pelanggannya.
Warung yang terbuat dari papan itu, ia buat di sempadan sungai. Menurut dia, tempat itu cocok baginya untuk membuka usaha. Tidak hanya Wiwin, beberapa warga juga membangun rumah semipermanen di sempadan anak sungai yang terhubung langsung dengan Sungai Musi.
Baca juga: Kawasan Kumuh di Perkotaan Bertambah
Rumah Wiwin hanya berjarak 500 meter dari warungnya. Rumahnya itu pun berdindingkan papan serta beratap seng. ”Seng saya juga banyak yang bocor, dinding kayu pun sudah banyak yang lapuk. Kalau tidak segera diperbaiki mungkin akan segera roboh,” ucapnya.
Karena kondisi rumahnya itu, dia pun berinisiatif mengajukan diri untuk mendapatkan bantuan bedah rumah. Saat itu, sejumlah persyaratan sudah ia penuhi, seperti melampirkan kartu keluarga, foto kondisi rumah, dan juga kartu tanda penduduk.
Namun, sudah dua tahun berlalu ia mendaftarkan rumahnya, bantuan tersebut tidak kunjung datang. ”Saya sudah capek ajukan persyaratan terus-menerus tapi tidak ada realisasinya,” ucapnya. Di lingkungannya, ada beberapa rumah yang sudah mendapatkan bantuan. ”Ya saya hanya pasrah. Yang lain dapat bantuan, saya cuma kebagian infonya saja,” kata Wiwin.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F30%2F053e0e27-d522-48d5-90e0-03a2d9c350e5_jpg.jpg)
Kawasan kumuh di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/8/2022). Di kawasan ini masih banyak rumah tidak laik. Namun, warga yang sudah mengajukan diri sejak lama untuk mendapatkan bantuan bedah rumah belum mendapatkan bantuan.
Begitu pun Trisnawati (26) yang telah mengajukan syarat agar rumahnya diperbaiki tetapi hingga sekarang, rumah papannya belum diperbaiki. Dia mengira, belum datangnya bantuan tersebut karena dirinya belum mengurus kelengkapan kepemilikan rumah. ”Rumah saya tidak memiliki sertifikat hak milik hanya surat keterangan dari RT,” ucapnya.
Dia pun tidak mampu mengurus administrasi kepemilikan rumah karena biaya yang dibutuhkan sangat tinggi. ”Saya dengar untuk mengurus surat tanah dibutuhkan uang sekitar Rp 3 juta. Daripada ngurus surat tanah lebih baik uang itu untuk makan,” ucap ibu dua anak ini.
Ya, jika nanti ada penggusuran itu merupakan risiko yang harus mereka ambil.
Kondisi lingkungan tempat Wiwin dan Trisnawati tinggal jauh dari kata laik. Sampah plastik masih terlihat di sepanjang sungai. Bangkai kapal dengan hiasan ilalang juga teronggok di pinggir sungai. Meskipun begitu, warga masih tampak melakukan aktivitas cuci di sungai.
Menanggapi hal ini, petugas keamanan di RT 055 Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Erlan, menjelaskan, memang kebanyakan rumah yang ada di bantaran sungai tidak memiliki status kepemilikan yang jelas. ”Sebagian besar hanya memperoleh surat keterangan dari RT,” ucapnya.
Erlan yang sudah 35 tahun tinggal di kawasan itu semula juga tinggal di bantaran sungai. Namun ketika ada penertiban pada tahun 1994, warga yang tinggal di kawasan bantaran sungai diminta pindah dan diberi kompensasi ganti rugi sekitar Rp 2,5 juta.
Uang tersebut kemudian ia gunakan untuk membeli rumah yang memiliki kejelasan status lahan. Namun sekarang masih banyak yang tinggal dan membuka usaha di bantaran sungai. ”Ya, jika nanti ada penggusuran itu merupakan risiko yang harus mereka ambil,” ucapnya.
Erlan juga menuturkan, sebenarnya ada beberapa penduduk yang mendapatkan bantuan bedah rumah. Hanya saja, banyak di antara mereka yang tidak bisa membangun rumah dengan optimal karena tingginya biaya tambahan yang harus dipenuhi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F30%2Fbb03c1e3-aaeb-4841-b934-44a28c9fbc63_jpg.jpg)
Salah satu rumah papan di Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/8/2022). Di kawasan ini masih banyak rumah tidak laik. Namun, warga yang sudah sejak lama mendaftarkan diri agar rumahnya dibedah belum mendapatkan bantuan.
Warga penerima bantuan hanya memperoleh material dan upah tukang. Namun, biaya pengiriman material ke lokasi rumahnya ditanggung sendiri. ”Jalan untuk masuk ke rumah warga sangat sempit sehingga untuk memasukkan material bangunan butuh tenaga buruh panggul,” ucapnya.
Alhasil, warga yang harus berutang bahkan menjual material yang diterimanya untuk membayar upah buruh tersebut. ”Inilah yang membuat bantuan perbaikan rumah tidak tuntas seperti yang diharapkan,” ucapnya.
Hal ini sangat wajar karena jangankan untuk membayar upah tukang, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja, mereka harus membanting tulang. Di kawasan 3-4 Ulu, ujar Erlan sebagian besar warga bekerja sebagai buruh, seperti tukang becak, tukang ojek, dan tukang parkir. Semestinya, ujar Erlan, program bedah rumah tidak hanya memberikan upah dan membelikan material semata, tetapi juga biaya operasional agar warga tidak terbebani.
Lain halnya dengan Zainuddin Haris (55) yang terbilang lebih beruntung. Warga Lorok Pakjo, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang, ini baru tahun lalu mengajukan rumahnya untuk diperbaiki. Segala persyaratan ia berikan kepada ketua RT. Tahun ini, pengajuan perbaikan rumah disetujui dan dalam waktu tiga bulan rumah Zainuddin sudah terlihat kokoh.
Sejak tinggal di kawasan itu pada 1970, ujar Zainuddin, sudah dua kali rumah papannya roboh. Penyebabnya, setiap tahun kawasan itu selalu dilanda banjir sehingga rumah yang berdinding kayu itu pun roboh. ”Sekarang saya tidak khawatir lagi karena rumah saya sudah berdinding batu bata,” ucapnya.
Kawasan kumuh
Kepala Bidang Perumahan Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kota Palembang Bambang Wicaksono menuturkan, program bedah rumah merupakan salah satu program yang dikeluarkan pemerintah untuk membenahi rumah tak laik di Palembang.
Sebagian besar rumah yang tidak laik itu berada di bantaran Sungai Musi. Biasanya rumah tidak laik adalah yang kondisinya semipermanen dan juga tidak memiliki sarana sanitasi yang baik. Jika kondisi tersebut dibiarkan, dikhawatirkan akan berpengaruh pada kondisi kesehatan pemiliknya.
Bambang menuturkan, sejumlah upaya perbaikan terus dilakukan dengan menggandeng sejumlah instansi, utamanya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), yang memiliki program bantuan stimulan perumahan swadaya.
Baca juga: Kembangkan Potensi Sungai, Palembang Diminta Contoh Bangkok
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F23%2F8948a824-802a-4c56-a7bd-ed9c1eadf2b8_jpg.jpg)
Kawasan rumah susun Palembang yang tampak kumuh, Kamis (22/6/2022). Kawasan ini akan menjadi tempat pemasangan jaringan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) Palembang tahap pertama. Jaringan IPAL ditargetkan beroperasi pada awal 2023 mendatang.
Dari hasil inventarisasi di lapangan, untuk tahun 2023, ada sekitar 1.564 unit rumah yang diusulkan untuk diperbaiki hingga dinyatakan laik dengan total dana bantuan hingga Rp 3 miliar.
”Tahun 2022 ini ke 1.564 unit rumah itu akan diusulkan ke Kementerian PUPR, setelah itu adakan diverifikasi. Jika disetujui, rumah tersebut akan diperbaiki pada tahun 2023 mendatang,” kata Bambang. Tentu sejumlah hal menjadi pertimbangan, seperti kepemilikan rumah, kondisi rumah, dan juga kelaikan peserta mendapatkan bantuan.
Dana yang dikucurkan untuk pembangunan baru Rp 35 juta, sedangkan untuk peningkatan kualitas Rp 20 juta, yang terdiri dari Rp 17,5 untuk biaya material dan Rp 2,5 juta untuk upah pekerja. Proses penyaluran bantuan pun akan langsung ditujukan kepada pemilik rumah dan nantinya akan diawasi sehingga uang yang dikirimkan benar-benar digunakan untuk pembangunan rumah.
”Sistemnya langsung dari APBN kepada pemilik rumah dengan skema nontunai. Pengawasan pun dilakukan dengan menggandeng rembuk warga dan fasilitator kelurahan,” kata Bambang.
Sebagian besar penyumbang tengkes di Palembang ada di kawasan kumuh.
Selain dari APBN, program bedah rumah juga diterapkan dengan bekerja sama dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Untuk kerja sama ini, ujar Bambang, tujuh rumah tak laik yang diperbaiki dengan dana sekitar Rp 151 juta.
Dana tersebut diperoleh dari amil zakat dari aparatur sipil negara Pemerintah Kota Palembang dan masyarakat umum. ”Khusus program ini ada 107 rumah yang ditargetkan dapat diperbaiki, tentu secara bertahap,” ucap Bambang.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F26%2F1a0664f0-f63a-4d6a-b6c4-922a4a854d12_jpg.jpg)
Aktivitas di Tempat Pemrosesan Akhir Sukawinatan, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (25/8/2022). Di TPA ini ditampung sekitar 800 ton sampah per hari. Sebagian besar sampah merupakan sampah rumah tangga.
Dengan perbaikan rumah tak laik ini diharapkan kehidupan pemilik rumah bisa lebih baik. Bambang menuturkan, perbaikan rumah tak laik ini merupakan salah satu cara untuk mengatasi kawasan kumuh di Palembang. Namun, upaya itu membutuhkan peran serta dari semua instansi.
”Karena pemberantasan kawasan kumuh tidak hanya terkait rumah warga, tetapi sarana penunjang lainnya, seperti akses jalan, air bersih, dan sarana sanitasi,” ucapnya.
Kepala Dinas Pengendalian Kependudukan dan Keluarga Berencana Kota Palembang Altur Febriansyah menyebut perbaikan dan penataan kawasan kumuh termasuk perbaikan rumah tak laik sangat diperlukan untuk menekan risiko penyakit, termasuk tengkes. ”Sebagian besar penyumbang tengkes di Palembang ada di kawasan kumuh,” ucapnya.
Saat ini angka tengkes di Palembang mencapai 16,1 persen atau jauh lebih rendah dari angka tengkes nasional yang menyentuh 24,4 persen. Namun, Pemerintah Kota memiliki target untuk menekan angka tengkes sesuai dengan target nasional, yakni 14 persen pada tahun 2024 mendatang.
”Butuh peran semua pihak untuk dapat menekan risiko penyakit yang dapat menghambat pertumbuhan anak,” ucapnya.
Karena itu, untuk membenahi kawasan kumuh perlu peran semua pihak. ”Warga yang mampu harus membantu mereka yang tidak mampu. Jika ini berjalan, tentu kemiskinan dan juga kawasan kumuh dapat diselesaikan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Yuliusman mengatakan, pembenahan kawasan kumuh harus dilaksanakan secara berkesinambungan dari hulu hingga hilir. Di hulu, perlu ada edukasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F09%2F13%2F827747b6-7099-45bf-9c0e-4285af47e7ba_jpeg.jpg)
Tumpukan sampah ditemukan di aliran Sungai Jeruju, Ogan Komering Ilir, Sumsel, Kamis (13/9/2018). Di muara sungai ini ditemukan anak tangga bersejarah yang diduga buatan zaman Kesultanan Palembang.
Di sisi lain, ujar Yuliusman, pemerintah harus memastikan semua sarana yang dibutuhkan warga bisa terpenuhi. Mulai dari ketersediaan tempat sampah hingga sarana air bersih.
”Nyatanya, masih banyak warga yang membuang sampah sembarangan karena tidak tersedianya tempat sampah,” ucapnya.