Transformasi Ekonomi Jadikan Kalimantan Poros Pertumbuhan Ekonomi Hijau
Kalimantan perlu segera bersiap diri melakukan transformasi ekonomi.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Transformasi menuju ekonomi hijau perlu segera dilakukan provinsi-provinsi di wilayah Kalimantan, yang selama ini mengandalkan industri ekstraktif sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Pulau Kalimantan dianggap memiliki semua potensi yang dibutuhkan untuk menjadi poros pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia.
Gagasan mengenai Kalimantan sebagai poros ekonomi hijau mengemuka dalam seminar internasional dengan tema ”Strategi Pembangunan Hijau untuk Kalimantan Baru” di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (19/8/2022). Seminar secara daring dan luring itu terlaksana atas kerja sama Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalsel dengan Pemerintah Provinsi Kalsel.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Indonesia merupakan salah satu dari 40 negara yang ikut menandatangani deklarasi Transisi Batubara Global Menuju Energi Bersih pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pemimpin dunia tentang perubahan iklim ke-26 di Glasgow, Skotlandia, 2021. Hal itu secara langsung ataupun tidak langsung berdampak pada Indonesia, khususnya Kalimantan sebagai penghasil batubara terbesar di Indonesia.
”Mengantisipasi berbagai permasalahan dan tantangan di masa depan, Kalimantan perlu segera bersiap diri melakukan transformasi ekonomi. Dalam hal ini, Kalimantan memiliki semua potensi (sungai, hutan, dan angin) yang dibutuhkan untuk menjadi poros pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia,” kata Luhut yang hadir secara daring.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi hijau di Kalimantan, pemerintah sudah memulai proyek pembangunan kawasan ekonomi hijau Indonesia di Kalimantan Utara. Kawasan industri dan pelabuhan internasional di Bulungan, Kaltara, itu dibangun di atas lahan lebih kurang 30.000 hektar dengan investasi 132 miliar dollar AS.
”Kaltara merupakan salah satu provinsi yang diproyeksi akan menjadi motor hilirisasi. Kawasan industri di sana akan menjadi kota baru dan embrio masa depan, yang bisa mempekerjakan sekitar 160.000 warga Indonesia di Kaltara,” ujarnya.
Menurut Luhut, Indonesia harus bergerak memanfaatkan kekayaan sumber daya mineral yang dimiliki untuk menuju ekonomi hijau. Saat ini, Indonesia memiliki cadangan dan produksi nikel terbesar di dunia sebesar 21 juta ton, bauksit 1 juta ton, tembaga 28 juta ton, dan timah 0,8 juta ton.
Keempat sumber daya tersebut merupakan mineral kunci yang dibutuhkan dalam memproduksi energi yang lebih bersih. ”Dengan melakukan hilirisasi keempat mineral kunci tersebut, Indonesia juga bisa memeratakan investasi, yang selama ini banyak di Jawa dan Sumatera,” katanya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan, Kalimantan perlu segera bersiap diri melakukan transformasi ekonomi dengan meningkatkan peran sektor-sektor potensial selain pertambangan, melalui sebuah pendekatan yang lebih holistik didukung dengan paradigma baru yang lebih ramah lingkungan.
”Dalam rangka mendukung transisi menuju ekonomi dan keuangan hijau, BI telah aktif melakukan inisiatif hijau sejak sekitar 10 tahun lalu. Inisiatif itu dilakukan BI melalui kerja sama dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri,” tuturnya.
Menurut akademisi Universitas California, Davis, Profesor Wing Thye Woo, Kalimantan tidak perlu berkorban untuk menyelamatkan dunia dan mentransisikan dirinya ke ekonomi hijau. ”Tidak diperlukan pengorbanan untuk pembangunan ekonomi hijau yang dinamis jika Kalimantan bisa mendapatkan dana untuk membiayai investasi,” katanya.
Akademisi Colorado State University, Profesor Edward B Barbier, mengatakan, transformasi hijau harus sejalan dengan penanggulangan kemiskinan serta kondisi struktural pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang. Transformasi itu membutuhkan kebijakan yang mudah diimplementasikan, hemat biaya, dan inovatif, terutama mengingat kendala fiskal dan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
”Tiga kebijakan yang memenuhi kriteria, yaitu menggunakan dana kekayaan tak terbatas untuk mendanai transisi hijau, pertukaran subsidi bahan bakar fosil, dan pajak karbon tropis,” katanya.
Berkomitmen
Gubernur Kalsel Sahbirin Noor mengatakan, pemerintah daerah berkomitmen mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Upayanya melalui transformasi sektor ekstraktif menuju industri yang memuat keanekaragaman sumber daya hayati yang berbasis jasa lingkungan. Di Kalsel, misalnya, sudah terbangun pabrik biodiesel B30 yang mampu melakukan substitusi energi fosil sebesar 810 ton per hari.
”Dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, kami juga membangun ekosistem biodiversitas ekonomi dengan rencana transformasi kawasan industri berbasis keanekaragaman hayati, yang memproduksi berbagai kekayaan sumber daya hayati dan jasa lingkungan menjadi produk-produk unggulan yang memiliki nilai ekonomi tinggi,” katanya.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalsel Imam Subarkah mengatakan, Kalsel merupakan produsen batubara terbesar kedua setelah Kalimantan Timur dengan sumber daya dan cadangan batubara sebesar 15,03 miliar ton. Sebagai upaya mencapai pembangunan ekonomi hijau, salah satu perusahaan batubara di Kalsel sedang menjajaki pengembangan proyek gasifikasi batubara.
Selain itu, Kalsel juga merupakan salah satu daerah sentra penghasil sawit. Hilirisasi minyak sawit mentah (CPO) di Kalsel telah berjalan dan mampu menghasilkan produk turunan berupa minyak goreng dan biodiesel. Berdasarkan data Pusat Sumber Daya Geologi, Kalsel juga merupakan provinsi dengan potensi sumber daya bijih besi yang sangat besar dan melimpah.
”Dengan segala potensi sumber daya alam yang dimiliki Kalsel serta perkembangan energi dunia yang mengarah pada energi yang ramah lingkungan, Kalsel perlu menyesuaikan strategi pembangunannya untuk mencapai ekonomi yang tumbuh tinggi, stabil, dan berkelanjutan,” katanya.
Menurut Imam, Kalsel dapat mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, stabil, dan berkelanjutan dengan melakukan transformasi ekonomi melalui tiga strategi, antara lain transformasi manufaktur dan hilirisasi sumber daya alam, pengembangan pariwisata sebagai sumber pertumbuhan baru, serta penguatan digitalisasi usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM.