Kenaikan harga gandum bisa menjadi pemantik kesadaran pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mulai mengurangi ketergantungan terhadap gandum dan mengoptimalkan penggunaan bahan pangan lokal.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·6 menit baca
Kabar perihal kenaikan harga mi instan sebagai imbas naiknya harga gandum dunia akibat perang Rusia-Ukraina sempat menjadi salah satu topik hangat yang dibicarakan masyarakat Indonesia. Keberadaan bahan pangan alternatif pengganti gandum untuk bahan baku utama pembuatan mi perlu dioptimalkan. Mi dari pati garut salah satunya.
Dalam sebuah webinar pada Senin (8/8/2022), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, harga mi instan bakal naik tiga kali lipat dalam waktu dekat. Menurut data Kementerian Perindustrian, harga mi instan kuah di tingkat konsumen telah mengalami kenaikan dua kali pada rentang waktu 2019-Mei 2022. Pada 2019, harga mi instan kuah Rp 2.500 per kemasan, meningkat menjadi Rp 2.750 pada 2021, dan menjadi Rp 3.000 per Mei 2022 (Kompas, 11/8/2022).
Terus naiknya harga mi instan sebenarnya bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk mulai mengurangi ketergantungan terhadap terigu yang terbuat dari gandum impor. Salah satu upayanya ialah menggali potensi pangan-pangan lokal yang bisa dijadikan bahan alternatif pengganti untuk membuat mi instan.
Pada tahun 2019, Muhammad Afif Maulana, mahasiswa Universitas Negeri Semarang, meneliti pembuatan mi kering dengan substitusi tepung pati garut. Melalui penelitian itu, Afif mencoba mengurangi komposisi terigu dan mengoptimalkan penggunaan tepung pati garut (Maranta arundinacea).
Tanaman garut merupakan suatu jenis umbi, tegak, berumpun, dan merupakan tanaman tahunan. Di sejumlah daerah, garut dikenal sebagai sagu banban (Batak Karo), sagu rare (Minangkabau), sagu andrawa (Nias), sagu (Palembang), larut/ patat (Jawa Barat), arut/jelarut/irut/larut/garut (Jawa Tengah dan Jawa Timur), labia walanta (Gorontalo), dan huda sula (Ternate).
Untuk membuat garut menjadi tepung, ada sejumlah tahapan yang dilakukan oleh Afif, yakni memilih garut, membersihkan, mencuci, menghancurkan, menyaring, mengendapkan, mengeringkan, mengayak, dan menyimpannya. Setelah tepung pati garut siap, bahan-bahan lain termasuk terigu ditambahkan kemudian diaduk. Seusai semuanya tercampur rata, adonan mulai dibentuk menjadi lembaran-lembaran. Lembaran-lembaran itu lantas dibentuk menjadi pipih panjang seperti mi pada umumnya.
”Tepung pati garut saya pilih karena di daerah Sragen tanaman garut ini melimpah. Sayangnya, diversifikasi produk pangan dari tepung pati garut belum banyak. Saat itu, tepung pati garut hanya diolah menjadi emping dan bubur. Oleh karena itu, saya tertarik untuk mencoba menggunakan pati garut sebagai bahan pembuatan mi kering,” kata Afif, Kamis (11/8/2022).
Melalui penelitian tersebut, Afif ingin mengetahui pengaruh mi kering terigu substitusi tepung pati garut, ditinjau dari aspek warna, rasa, aroma, dan tekstur. Untuk mengukur ada beberapa sampel yang diuji, antara lain, 100 persen terigu, 80 persen terigu dan 20 persen tepung pati garut, 75 persen terigu dan 25 persen tepung pati garut, serta 70 persen terigu dan 30 persen tepung pati garut.
Penelitian
Afif menggunakan terigu sebagai variabel kontrol. Sebab, terigu memiliki kemampuan untuk membentuk gluten, sedangkan tepung pati garut memiliki kandungan gluten yang lebih rendah. Gluten dalam pembuatan mi diperlukan agar mi tidak mudah putus pada proses pencetakan dan saat memasak.
Sampel mi tersebut diuji dengan metode penilaian subyektif dan penilaian obyektif. Penilaian subyektif dilakukan melalui pengujian inderawi dan pengujian kesukaan. Metode analisis data untuk pengujian inderawi menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan untuk pengujian kesukaan menggunakan analisis deskriptif persentase. Sementara itu, penilaian obyektif dilakukan dengan pengujian laboratorium. Pengujian itu untuk mengetahui kandungan protein dan kadar air dari tiap sampel.
Hasil uji inderawi menunjukkan, sampel mi dengan komposisi 100 persen terigu menunjukkan rasa mi yang agak tawar, berwarna kuning tua, bertekstur cukup keras dan rapuh, serta memiliki aroma cukup langu. Sampel mi dengan komposisi 80:20 menunjukkan rasa mi yang gurih, berwarna kuning tua, bertekstur agak keras dan mudah rapuh, serta aromanya tidak langu.
Pada sampel dengan komposisi 75:25, rasa mi gurih, berwarna kuning muda, bertekstur agak keras dan mudah rapuh, serta tidak beraroma langu. Kemudian, hasil pengujian untuk sampel dengan komposisi 70:30 menunjukkan, rasa mi cukup gurih, warna mi kuning muda, tekstur agak keras dan mudah rapuh, serta aromanya agak langu.
Untuk hasil uji kesukaan, sampel mi dengan komposisi 80:20 mendapatkan persentase penilaian yang tertinggi, yakni 87,44 persen. Pada posisi kedua, mi dengan komposisi 75:25, yang disukai sebanyak 85,87 persen. Mi dengan komposisi 70:30 juga tergolong agak disukai dengan persentase 82,63 persen.
”Yang mengejutkan malah hasil uji kesukaan pada mi biasa yang menggunakan komposisi 100 persen terigu. Mi dengan komposisi tersebut mendapatkan nilai paling rendah, yakni 77,06 persen,” ucap Afif.
Dari hasil pengujian laboratorium, sampel dengan komposisi 100 persen terigu mengandung protein sebesar 2,21 persen dan kadar air sebesar 3,59 persen. Untuk sampel 80:20, proteinnya sebesar 1,18 persen dan kadar airnya 2,21 persen. Sampel ketiga dengan komposisi 75:25 menunjukkan kandungan proteinnya sebesar 1,36 persen dan kadar airnya 2,78 persen. Terakhir, sampel dengan komposisi 70:30 persen menunjukkan kandungan protein sebesar 0,01 persen dan kadar air sebesar 2,60 persen.
Dalam penelitian tersebut, sampel dengan komposisi 80:20 menjadi yang paling disukai. Jumlah tepung garut yang dipakai pada sampel sebagai bahan tambahan dinilai paling pas atau mendekati mi instan di pasaran. Kendati demikian, kadar protein yang terkandung dalam mi pati garut masih jauh dari yang ditetapkan dalam standar nasional Indonesia, yakni sebesar 8-10 persen. Oleh karena itu, perlu adanya protein tambahan, seperti telur atau bayam.
Afif berharap, melalui penelitian tersebut, masyarakat bisa menyadari bahwa umbi garut dapat dijadikan sebagai bahan substitusi pembuatan mi terigu. Dengan demikian, diversifikasi makanan dari bahan tepung garut bisa lebih banyak dan perekonomian masyarakat penanam garut bisa terangkat.
Penggunaan tepung pati garut bermanfaat bagi kesehatan. Selain bisa digunakan sebagai sumber serat pangan, tepung pati garut juga memiliki indeks glikemik lebih rendah sehingga bisa untuk menekan peningkatan gula darah.
Tepung pati garut memiliki enzim polifenol yang cukup tinggi dan bermanfaat sebagai antioksidan. Garut juga mudah dicerna sehingga ramah untuk lambung.
”Pati garut itu memiliki kandungan senyawa khas yang belum diketahui namanya apa, tetapi itu dipercaya dapat membantu penyembuhan penyakit lambung. Ini cocok bagi orang- orang yang gemar makan mi, tapi punya penyakit lambung. Biasanya, orang yang punya sakit lambung cenderung menghindari mi instan,” tutur dosen Program Studi Pendidikan Tata Boga Universitas Negeri Semarang, Bambang Sugeng Suryatna.
Selain tepung pati garut, ada pula bahan pangan lain yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti terigu untuk pembuatan mi, antara lain sorgum, porang, sagu, gembili, dan ganyong. Bahan pangan lokal tersebut, menurut Bambang, mempunyai zat-zat yang baik untuk tubuh, salah satunya mengandung zat antikanker.
”Potensinya sudah ada, tetapi yang masih jadi masalah adalah belum ada keberpihakan pada produk lokal. Dalam kondisi sekarang ini, pertanyaannya cuma kita mau mengembangkan produk lokal atau tidak,” imbuhnya.